"Brengsek," umpatku, seluruh tubuhku terkepal menjadi satu otot panjang sesaat sebelum aku datang, menyembur begitu keras di dalam dirinya sehingga aku bisa merasakan percikan panas di rahimnya. "Lena-ku, pejuang." Aku meneriakkan saat aku menumpahkan dan menumpahkannya.
Aku memberinya berat badan aku, tidak mampu menahan diri setelah besarnya klimaks aku memeras aku kering. Dia menerimanya dengan senang hati, melilitku di anggota tubuhnya seperti hadiah yang dibungkus, bersenandung puas pada dirinya sendiri saat dia membelai bagian belakang kepalaku.
"Aku merindukanmu," katanya manis, hampir malu-malu.
Aku merindukanmu.
Aku menguatkan tangan di kursi untuk mengangkat tubuh aku darinya sehingga aku bisa melihat ke wajahnya. Wajahnya lembut, damai dengan cara yang jarang, putus dengan cinta dan kesenangan untuk mengungkapkan hatinya yang rapuh. Aku menyentuhkan jariku ke sudut mulut merahnya dan bertanya-tanya betapa beruntungnya aku menjadi seorang pria.