Ivana membawa Aaron bersamanya pergi ke reunian kecil di Violin Cafe sementara Nino menjalankan rencananya di belakang Ivana yaitu bertemu dengan perempuan yang sudah agak lama menjadi selingkuhan Nino di Hotel Lavender, Lembang.
Sabtu pagi yang cerah di bulan Agustus 2012 tidak seperti hari-hari biasanya mendung atau turun hujan. Ivana memasangkan sitbelt pada Aaron, anak itu tertawa kecil saat dipasang sitbelt di tubuh mungilnya.
Aaron Alistair, usianya baru satu tahun lebih tapi dia begitu lincah dan pintar seperti balita berusia dua atau tiga tahun. Ivana sempat menyesali kehadiran Aaron ketika mengetahui Nino berselingkuh dengan teman kantor Lena.
Anna pun sekarang menyesali perbuatannya dengan Nino karena tidak ada satu laki-laki pun yang mau mendekati Anna apalagi menjadikannya calon istri.
Di tempat lain, Lena dan Andi sedang menuju ke Violin Cafe meski acara reuni baru dimulai jam 11 siang, mereka sengaja berangkat satu jam sebelumnya untuk menghindari kemacetan, juga ingin bersantai sejenak sebelum bertemu teman-teman kuliah Ivana.
Sesekali Andi melirik kepada Lena yang sedang melamun di sebelahnya. Perempuan introvert yang sekarang sudah menjadi istrinya itu nampak murung.
"Len, lo kenapa ngelamun? Ada yang lagi dipikirin, ya?" tanya Andi sambil tangan dan matanya fokus ke kemudi juga jalan raya.
"Hmm ... banyak yang gua pikirin, Di," jawab Lena datar tanpa melihat ke wajah Andi.
"Pasti lagi mikirin kapan bisa hamil, kan?"
"Ya gitu deh, kapan gua hamil kayak Anna, kak Ivana," balas Lena lalu dia mendesah.
"Tenang aja, lo pasti bisa hamil Len. Senin depan kita ke dokter kandungan lagi ok."
"Oke, Di."
Hampir setahun lamanya mereka menikah, tetapi Lena belum kunjung hamil sehingga menyebabkan rasa percaya dirinya hilang dan depresinya terkadang kambuh.
Memang mertua Lena tidak pernah mengungkit-ungkit atau membahas tentang kehamilan dengan Lena, namun tetap saja dia merasa tertekan.
Kurang lebih dua puluh menit kemudian mereka pun tiba di Violin Cafe yang berada di Jalan Bimasakti, Bandung utara.
Andi menggandeng tangan Lena seperti remaja yang sedang berpacaran dan mencium pipinya sebelum masuk ke dalam cafe.
"Kok cium-cium pipi gua? Malu tau," ujar Lena tersipu malu, wajahnya memerah bagai kepiting rebus.
"Gak usah malu-malu gitu, ah. Kita kan udah married lagian di sini gak ada yang kenal," balas Andi.
"Ya udah, kita masuk yuk ke dalem. Gua pengen minum mochachino sama makan beef steak." Lena memegang perutnya yang lapar.
"Kamu ih kayak orang ngidam aja," sahut Andi tersenyum gemas kemudian dicubitnya pipi Lena.
"Ayoo, Di. Gua lapar, nih," rengek Lena.
"Iya, Len."
Mereka berdua kemudian masuk ke dining room yang sudah ramai dikunjungi pelanggan cafe, ruangan tersebut bahkan hampir penuh sehingga mereka mengambil tempat duduk di lantai dua.
"Ya ampun, penuh amat ini kafe," gerutu Andi.
"Biasalah namanya juga weekend, pasti penuh kalo weekend gini," imbuh Lena.
"By the way Jefta itu siapa, Len?" tanya Andi penasaran.
"Hmm ... Jefta itu pengagum kak Ivana waktu dia kuliah dulu. Jefta sering dateng ke rumah tapi kak Ivana gak pernah mau ngobrol lama sama dia," jelas Lena.
"Jadi si Jefta kayak gua, ya? Sama-sama pengagum cewek judes kayak lo berdua, he, he, he."
"Enak aja gua judes, bilang gua judes tapi tetep aja suka sama gua," tukas Lena dongkol.
"Iya deh, lo mah gak judes yang judes kakak lo," timpal Andi.
"Ngomong-ngomong, jadi makan gak?" tanya Lena.
"Jadi dong, gua juga lapar nih. Padahal tadi sebelum ke sini udah makan bakmi di rumah."
"Sorry ya kalo tadi gua bangun agak siang soalnya badan rasanya cape banget, pusing lagi."
"Jangan-jangan lo hamil, Len." Andi tersenyum senang.
"Gak mungkin lagi, paling maag gua kambuh," sahut Lena ragu.
"Mau pesen apa? Maksud gua lo cuma mau makan beef steak doang atau makan makanan lain?"
"Hmm ... beef steak aja, Di. Gua cuma pengen makan itu."
"Oke, gua pesen dulu ke bawah."
"Gak usah ke bawah, panggil aja waiternya ke sini. Itu orangnya lagi ke sini."
Seorang waiter perempuan berseragam ungu-pink yang sedang membawa hidangan ke meja pelanggan lainnya segera menyajikan pesanan pada customer tersebut, lalu sesudah menghidangkan makanan dan minuman Andi pun memanggilnya.
"Mba ...." Andi melambaikan tangan sambil memangggil waiter yang berdiri membelakanginya.
Waiter pun menoleh pada Andi.
"Iya, Mas?"
"Mba, saya mau pesan makanan."
"Sebentar saya ambilkan menunya dulu."
Ketika Andi sedang menunggu waiter mengambil menu di meja lainnya tiba-tiba Lena merasa ingin muntah dan kepalanya terasa pusing.
"Huekk ...."
"Lo kenapa, Len?!" tanya Andi panik dan kaget.
"Gua mual, Di. Ho.eekk."
"Kalo gitu kita pulang aja sekarang, muka lo pucet gitu."
"Enggak, jangan pulang ... gak enak sama kak Ivana udah terlanjur janji masa pulang," sahut Lena lirih.
"Udah gak apa-apa pulang daripada lo pingsan di sini," imbuh Andi.
"Aduhh ... kepala gua pusing banget," keluh Lena.
"Lo bisa jalan, gak? Kalo enggak gua gendong ke mobil, gimana?" tanya Andi cemas.
"Bisa ... tapi pelan-pelan turunnya," pinta Lena.
"Iya, pelan-pelan. Gua juga takut lo jatuh lagi," balas Andi.
Kenapa tiba-tiba pusing dan mual ya?? Haid gua telat juga? tanya Lena dalam hati.
*****
Lena berjalan perlahan-lahan ke tempat parkir kendaraan di Violin Cafe sambil memegangi kepalanya yang pusing.
"Di ... kita ke dokter yuk sekarang. Gua gak tahan, nih."
"Dokter mana? Sabtu gini gak ada yang praktek kali."
"Adaa ... dokter Reva di Rumah Sakit Sejahtera."
"Dokter kandungan?"
"Iya ... hoeekk." Lena menutup mulut dengan tangan kanannya, dia merasa bertambah mual.
"Maag lo beneran kambuh?"
"Gak tau maag kambuh atau apa, bingung. Gua udah telat haid sebulan," jawab Lena.
"Apa? Telat haid? Jangan-jangan lo hamil, wah gua bakal punya anak nih," balas Andi tersenyum lebar.
"Ah, gak mungkin lagi gua hamil. Gua kan emang sering telat dari jaman kuliah, paling cuma stress," sahut Lena yakin.
"Periksa aja dulu ke dokter, yuk pergi sekarang," ajak Andi lalu dia membuka pintu mobil dan membantu Lena masuk ke dalam mobil sedan merahnya.
"Thanks, Di." Lena berbicara sambil memegang kepalanya pening.
"Sama-sama, Cantik." Andi menatap mesra sejenak pada Lena kemudian ditutupnya pintu mobil tersebut.
"Hooeekk ...." Lena merasa semakin mual.
Sesaat kemudian Andi sudah duduk di depan kemudi, siap mengantar Lena ke dokter kandungan di RS. Sejahtera.
"Semoga lo beneran hamil, Len. Kalo lo hamil minimal keluarga sama sepupu lo gak akan ngomongin lo lagi, mereka usil banget deh." Andi menggerutu.
"Mereka sok perfect tapi dirinya sendiri gak ada yang perfect," pungkas Lena lirih.
"Mukanya pucet banget, rebahan dulu gih." Andi cemas melihat keadaan Lena yang pucat dan lesu.
"Gak bisa rebahan, kepala makin pusing kalo kursinya diturunin."
"Ya udah terserah, senyamannya aja."
Selanjutnya mereka berdua saling diam satu sama lain, Andi menyalakan mesin mobil lalu meluncur di jalanan yang selalu padat setiap Hari Sabtu karena hari itu hampir semua orang libur kerja.
Perjalanan menuju RS. Sejahtera memakan waktu sekitar dua puluh lima menit, Lena sudah tidak dapat menahan rasa mual yang semakin menjadi di perutnya. Seolah-olah diaduk-aduk, selain lapar karena belum sarapan.
"Di, gua lemes banget ... tolong cepetan ke rsnya," ucap Lena pelan.
"Bentar lagi juga nyampe, kok. Sabar, ya," balas Andi sambil fokus mengemudi.
"Gua gak kebayang kalo beneran hamil, baru gini aja udah lemes gimana nanti? Kayaknya tubuh gua gak bisa kompromi sama kehamilan dan lainnya," keluh Lena.
"Hussh ... jangan gitu ngomongnya. Lo mesti jadi cewek kuat kalo hamil jangan lemah."
"Masalahnya gua pengen jadi cewek kuat tapi sistem di dalem tubuh gua yang gak bisa sinkron."
"Emangnya robot apa pake sistem segala ... omongan lo kayak profesor di film-film robot. Kebanyakan nonton robocop kali ya dulu," seloroh Andi.
"Hadeuh ... ngomong serius ditanggapinnya malah bercanda," gerutu Lena sambil menahan mual.
Tidak berapa lama sedan itu sampai di depan RS. Sejahtera, Andi bergegas memasukkan mobilnya ke dalam rs dan parkir di depan lobby.
"Udah sampe, yuk cepet masuk ke dalem," ajak Andi mesra.
"Tolong papah gua, ya. Takut pingsan," balas Lena."
"Siaapp, Istriku." Andi terkekeh.
Mereka pun keluar dari mobil kemudian berjalan perlahan masuk ke lobby, Andi memapah istrinya yang hampir tidak kuat berjalan.
"Tunggu bentar ya, gua mau daftarin lo dulu periksa ke dr. Reva. Semoga belum banyak pasiennya, lo duduk di sini aja," ucap Andi.
"Kalo udah penuh sama dokter lain juga gak apa-apa, tapi mungkin prakteknya agak siangan," sahut Lena.
"Gampanglah, yang penting sekarang daftar dulu abis daftar kita sarapan di kantin," imbuh Andi.
"Gua gak bisa makan ...."
"Makan dikit aja, perut lo mesti diisi."
Lena mengangguk perlahan.
*****