Chereads / Ratu Sejati / Chapter 17 - Yang Tidak Pernah Akur

Chapter 17 - Yang Tidak Pernah Akur

Taman samping rumah itu benar-benar membuat takjub siapapun yang melihatnya. Suasana romantis benar-benar terasa bahkan saat langkah pertama menapaki taman ini. Lampu-lampu warm white yang memancarkan cahaya lembutnya, mawar putih dan baby's breath yang menghias di berbagai sudut, juga suara violin dan piano yang berpadu menjadi instrumen yang indah, suasana malam ini benar-benar bisa membuat siapa saja jatuh cinta.

Regina terus mendecak kagum dibuatnya, langkahnya yang di belakang orangtuanya pun kian memelan dan justru asik sendiri melihat sekeliling dengan tatapan berbinar kagum. Dia bahkan sampai tidak sadar telah terpisah dari orangtuanya karena terlalu larut dalam kekagumannya.

"Kalau jalan jangan melihat ke atas, tapi ke depan." Teguran itu membuat Regina yang tengah menatap ke atas jadi berhenti dan menatap ke arah depan, pada sumber suara yang mulai Regina kenali. Adhinatha di sana, dengan setelan yang begitu terlihat pas di tubuhnya yang proposional.

"Aku tidak butuh komentarmu," balas Regina berjalan melalui Adhinatha begitu saja. Wanita itu terlihat begitu enggan untuk bertemu dengan pria berwajah dingin itu.

"Aku mengatakan ini bukan karena kemauanku. Melainkan itu memang perlu, Nona Arogan."

"Arogan katamu?"

"Tidak mau dikritik padahal salah, apa itu bukan arogan namanya?" Regina mendecak sebal dibuatnya.

"Terserah apa katamu. Aku tidak peduli." Wanita itu benar-benar meninggalkan Adhinatha yang masih setiap berdiri dengan satu gelas air soda di tangannya. Pria itu hanya mengangkat alisnya, kerutan di dahinya jelas menunjukkan kalau pria itu tidak mengerti dengan wanita bernama Regina itu. Mengangkat bahu pria itu berusaha acuh kali ini.

Tapi tidak. Dia tidak bisa acuh saat ingatan tentang wanita itu yang dicium oleh pria di restoran tempo hari muncul di kepalanya.

'Dicium di tempat umum? Yang benar saja!'

Adhi memaki dalam hati.

"Mereka orang berotak, 'kan? Apakah sopan hal semacam itu dipertontonkan di tempat umum?"

"Siapa yang sedang kamu maki-maki sebenarnya?" tanya pria dengan setelah serupa dengan Adhinatha. Pria itu sepupunya, Nareswara.

"Eh, pengantin baru." Nares terkekeh dipanggil begitu.

"Eh calon pengantin baru." Pria itu membalas dengan kalimat serupa membuat Adhi yang tengah menyesap minumannya reflek mendengus sebal. Reaksi yang sontak mengundang kernyitan di dahi saudaranya sepupunya itu.

"Kok mau nikah malah kelihatannya tidak senang?" Nares heran melihat raut masam pria yang lebih tua darinya satu tahun itu.

"Bagaimana bisa senang kalau menikah saja aku perlu diatur dengan siapa-siapanya."

Nares menepuk bahu kakak sepupunya menguatkan. Lalu senyum isengnya terbit. "Tapi calonnya cantik, 'kan?"

"Cantik apanya?!"

Nares masih belum merubah ekspresinya yang tersenyum menyebalkan dengan alis naik turun.

"Masa tidak cantik, sih? Perasaan cantik, deh. Aku sudah lihat fotonya. Waktu itu Tante Ayu kasih lihat."

Adhi memutar mata malas. "Ibu, tuh, suka sekali pamer. Belum apa-apa sudah pamer duluan."

"Sudah pasti jadi calon menantu, 'kan? Bukan masalah besar menurutku." Menaruh gelasnya yang sudah kosong, Nares mengedarkan pandangannya.

"Jadi ... cantik atau tidak?"

Pria itu masih belum menyerah rupanya. Mengibaskan tangannya guna menyuruh Nares enyah, yang didapat Adhinatha justru sebuah gelak tawa yang begitu renyah di telinga.

"Adhinatha dan gengsinya yang setinggi Jawawijaya."

"Dan Nareswara yang keisengannya melebihi Boneka Chucky."

"Heh! Kenapa persamaanku mengerikan sekali?!" kesal pria itu tidak terima.

"Ya memang mirip, mau diapakan lagi?"

Nares sudah berniat meraih satu potong kue untuk melempari Adhinatha. Sayangnya secepat kilat pria itu sudah kabur dari sana dengan tawa puas.

Pria itu berjalan melipir memasuki rumah, berniat untuk menghindari keramaian, Adhi akhirnya sampai di kamarnya yang pintunya tertutup. Pria itu menoleh ke sana kemari, memastikan tidak ada yang melihatnya masuk ke dalam kamar. Mendesah lega, pria itu benar-benar merasakan apa itu nyaman yang sebenar-benarnya.

"Semoga ibu tidak menyadari kalau aku sudah menghilang dari pesta itu," ujarnya lebih kepada dirinya sendiri.

***

"Eh, calon menantuku sudah datang?" Regina lagi-lagi mendapatkan sambutan hangat dari ibunya Adhi.

Sebuah pelukan sukses membuatnya tersenyum. Kalau pelukan ibunya menenangkan, pelukan dari Ayu benar-benar membuat perasaannya menghangat.

Setelah dibuat kesal dengan celetukan tidak berbobot dari pria yang merupakan putra wanita ini, perasaan Regina lebih baik sekarang.

"Happy birthday, Bu. Happy anniversary ke tiga puluh tujuh, ya?" Ayu tersenyum mendengarnya. Diusapnya lengan wanita itu lembut.

"Terima kasih, Sayang. Kamu sudah makan? Makan dulu, yuk?" Mengangguk patuh, Regina menurut saat Ayu dengan antuasias mengajaknya mengunjungi stand-stand makanan.

"Ini semua saran dari Gina, lho, Jeng." Ayu berujar pada Adis, memamerkan betapa bagusnya selera makanan Regina.

"Putriku ini memang pandai kalau disuruh merekomendasi makanan," seloroh Adis membuat Ayu tergelak.

"Oh iya, putraku kemana, ya? Kok tidak kelihatan sama sekali batang hidungnya." Ayu mendecak seraya menatap sekeliling. "Seharusnya dia menyapa calon mertuanya, bukannya keluyuran tidak jelas seperti itu," gerutunya kian kesal karena tidak menemukan putranya dimana pun.

"Sayang, bisakah kamu teleponkan Adhi? Suruh dia ke sini," pinta Ayu pada suaminya.

Arya merogoh saku jas dan celananya tapi apa yang dia cari tidak dia dapatkan. "Sepertinya aku meninggalkan di kamar kita, Boo."

Ayu mendesah kecewa mendengar itu.

"Lelah sekali sepertinya harus bolak-balik ke dalam."

"Biar Gina teleponkan, Bu," usul Regina pada akhirnya.

Seolah memang menunggu Regina mengatakan itu, Ayu langsung bersorak senang mendengarnya.

"Kalau begitu ... tolong, ya?" Regina mau tidak mau ikut mengulas senyum begitu melihat wanita paruh baya mengucapkan terima kasih dengan begitu lembut. Saat Regina menepi dari keramaian itu, Ayu pun langsung menarik Adis untuk mencari tempat duduk agar bisa mengobrol seru.

Regina mendelik sebal begitu panggilannya ditolak oleh Adhi. Panggilan ditolak, itu artinya Adhi mengetahui panggilan itu dan dengan sengaja menolaknya alih-alih mengangkatnya. Masih lebih baik panggilan tidak terjawab. Artinya, mungkin saja si penerima tidak mendengarnya atau memang ponselnya sedang tidak di dalam jangkauannya. Tapi kalau ditolak? Artinya 'kan dengan sengaja tidak mau mengangkat.

Menatap sengit pada nomor ponsel yang sengaja tidak disimpan itu, Regina tidak menyerah begitu saja. Sebanyak apapun pria itu menolak panggilannya, sebanyak itu pula Regina akan menelepon lagi dan lagi. Biar pria itu terganggu, biar pria itu tahu rasa.

Akhirnya setelah usaha ke empat, panggilan itu diangkat. Adhi menyapa dengan nada malas-malasan.

"Apa? Kenapa?" tanya pria itu dengan nada bicara yang sangat tidak bersahabat.

"Dimana? Ibumu mencarimu."

Tidak ada tanggapan dari seberang sana.

"Harusnya yang punya acara itu stand by saat acara berlangsung."

"Itu bukan acaraku, kalau kamu lupa," koreksi pria itu membuat Regina memutar mata malas.

"Terserah. Yang penting aku sudah menyampaikan pesan dari ibumu. Perkara kamu ke sini atau tidak ... bukan urusanku."

"Ya." Dan panggilan itu diputus begitu saja menyisakan Regina yang menatap tidak percaya pada layar di ponselnya.

"Pria ini benar-benar, ya."