Chereads / Ratu Sejati / Chapter 21 - Menekan Ego

Chapter 21 - Menekan Ego

Langkah wanita itu menyusuri lorong menuju ruangannya dengan langkah mantap seperti biasanya. Dimas —si sekretaris pribadi, sudah berdiri di depan pintu dengan setumpuk berkas di pelukannya. Senyumnya tipis, terlihat kurang ikhlas membuat Regina mengangkat alis keheranan.

"Kenapa dengan eskpresi itu?" tanya Regina begitu sampai di hadapan sekretarisnya.

"Saya baik-baik saja," balasnya sedikit berbohong.

"Kelihatan kusut begitu. Habis putus sama pacarmu, eh?" tanya Regina dengan senyum miringnya seraya melipat lengan di depan dadanya.

"Saya tidak habis putus, Bu. Pacar saja saya tidak punya."

"Lah, terus yang kemarin habis putus itu siapa?" Wanita itu tampak keheranan sendiri dengan kalimatnya.

"Itu aku, Kak." Muncul dari belakang punggung kakaknya, Darwin mendahului Regina untuk masuk ke dalam ruang kerja bertuliskan nama Regina itu.

Dimas mengekor di belakang atasannya, diam-diam menarik napas panjang dengan begitu lesu.

Regina sampai di meja kerjanya, menaruh tasnya di meja, dan duduk di kursi kebesarannya.

"Jadi hari ini apa saja agendaku, Dim?" tanya wanita itu siap bekerja.

Dimas berusaha tersenyum meski hatinya terasa perih seperti tercabik setelah melihat berita pagi tadi. Dia masih dalam kondisi cukup terkejut begitu mengetahui Regina sudah bertunangan dengan Adhinatha.

Padahal kemarin-kemarin dia sangat yakin keduanya masih seperti kucing dan anjing karena terus bertengkar. Dan pagi tadi, saat dirinya menghabiskan sarapan sembari update informasi yang terjadi di negeri ini, berita pertunangan Regina dan Adhinatha muncul dalam headline dan merusak mood paginya.

"Dimas?! Aku tidak menggajimu untuk melamun. Kalau tidak bisa bekerja dengan fokus, pulanglah!"

Tersentak mendengar kalimat penuh kekesalan atasannya, Dimas buru-buru menormalkan ekspresi begitu melihat tanduk tak kasat mata Regina sudah mulai keluar. Wanita itu sudah di ambang batas sabarnya dan siap menerkam Dimas yang baru saja tertangkap basah tengah melamun.

"Tumben, Dim. Ada masalah di rumah? Sampai tidak fokus begitu." Darwin menimpali dengan geleng-geleng kepala. Dia cukup prihatin melihat Dimas yang tumben sekali tampak tidak on point.

"Jangan bawa masalah di rumah ke kantor," sahut Regina membuat Dimas mengangguk patuh.

Masalahnya memang tidak di rumah. Tapi di depan Dimas —tengah duduk dan menatapnya tajam.

"Paham, tidak?"

"Iya, Bu."

Regina menghela napas. Diraihnya berkas yang tadi Dimas bawa dan mulai membukanya. "Aku akan mempelajari ini dulu. Kamu bisa keluar."

Lagi-lagi Dimas hanya bisa menurut. Pria itu pun pamit pergi menyisakan Regina yang tinggal berdua dengan adiknya.

"Dan kamu? Sedang apa di sini? Kekurangan pekerjaan sampai-sampai sepagi ini sudah nongkrong di ruangan orang?" tanya Regina tanpa repot-repot mengalihkan tatapannya dari berkas di depannya. Kalimat itu jelas ditunjukkan untuk Darwin yang entah mengapa sepagi ini sudah ke ruangannya dan hanya bermain ponsel.

"Aku tidak punya waktu untuk bermain denganmu, Dik."

Darwin memutar mata malas. "Seolah kamu pernah main denganku saja, Kak."

"Terus mau apa di sini?" tanya Regina lagi masih menyusuri tulisan di lembar yang tengah dia buka.

"Mau menemani kakakku yang kesepian di ruangannya, mungkin?"

"Sejak kapan aku kesepian, huh?" Menghabiskan satu halaman, Regina membalik lembaran lainnya guna membaca paragraf demi paragraf selanjutnya.

"Kamu tidak pernah menyadari kalau kamu itu kesepian, Kak?"

Pria itu menatap kakak semata wayangnya dengan tatapan prihatin. Sedangkan yang ditatap masih saja sibuk dengan proposal kerja sama di mejanya.

"Kamu kalau mau bicara omong kosong mending pergi saja, deh, Win. Ganggu, tahu?" Regina mulai jengkel. Dia tidak suka kalau hidupnya dinilai oleh orang secara terang-terangan.

Kesepian, katanya?

Regina bahkan sudah akrab dengan sepi, sejak lama.

"Aku bahkan tidak beranjak sedikitpun dari sofa ini, Kak. Ganggu apanya, sih?"

"Suaramu ganggu. Jadi ... bisa tidak berhenti ajak aku bicara? Aku sedang membaca proposal kerjasama yang penting, Darwin." Kalimat Regina yang dilontarkan tanpa berpikir panjang itu membuat Darwin akhirnya menyerah.

Mengangkat kedua tangannya, pria itu pun beranjak dari sofa. "Baiklah, aku kembali ke ruanganku."

Sebelum pergi, Darwin masih sempat-sempatnya mengatai kakaknya sebagai antisosial yang tidak asik. Dan apa Regina peduli? Jelas tidak. Ucapan Darwin bahkan hanya dianggapnya sebagai dengungan nyamuk yang tidak penting.

Ponsel wanita itu berbunyi begitu Regina menyelesaikan satu proposal dan menandatanganinya. Pesan dari Eza yang mengirimkan foto pemandangan hutan pinus di sebuah vila. Terlihat begitu sejuk dan nyaman.

Eza : Cantik sekali, kan? Pastikan kamu benar-benar datang, oke? Hari pernikahanku ini aku harap bisa sekali seumur hidup. So, usahakan dengan sangat untuk datang, ya?

Regina tersenyum setelah membaca pesan dari Eza.

Regina: This weekend, right? Aku akan usahakan ke sana. Tenang saja.

Eza: Sekalian bawa tunanganmu. Aku ingin lihat apakah dia pria baik atau tidak.

Pesan itu membuat Regina seketika memudarkan senyumnya dan berganti dengan tawa pahit.

"Dia sepertinya bukan pria baik, Za. Aku bahkan tidak berekspektasi apapun, bahkan bahagia sekalipun," bisik wanita itu seraya mengetikkan pesan balasan.

Regina: Stop acting like you are my dad :))

Eza: Kamu sudah aku anggap seperti Moly, Gin.

Regina mencoba mengingat-ingat Moly, dan hewan betina berbulu putih lucu itu terlintas di ingatannya.

Regina: Sialan, kamu!

Eza: Kok sialan, sih? Kamu kan tau sendiri, aku sayaang sekali sama Moly.

Regina: Moly anak anjingmu, 'kan?

Eza: Sekarang sudah bukan anak-anak lagi, sih. Sudah jadi indukan dan punya anak tiga.

Regina: Dan kamu menyamakan diriku dengan anjingmu itu. Kamu itu sebenarnya menyayangiku atau hanya mau mengataiku saja, sih?

Eza mengirimkan emoticon tertawa dengan mata berair. Tanpa sadar Regina ikut terkekeh pelan. Eza sudah seperti kakak baginya. Sahabat yang baik, yang sangat mengerti dirinya luar dalam.

Dulu, Eza, Regina dan Irisha merupakan geng tiga serangkai saat SMP. Sayangnya mereka berpisah sekolah saat SMA. Meski begitu mereka masih sering berkumpul bersama. Sayangnya, setelah lulus SMA, Irisha memutuskan melanjutkan pendidikan sarjana di Yogyakarta dan sempat hilang kontak untuk waktu yang lama. Dan tinggal Eza yang tersisa —sahabat baiknya yang pengertian dan selalu ada.

Akhirnya Eza menemukan tambatan hatinya dan akan membina keluarga. Regina yakin pria itu kelak akan menjadi suami dan ayah yang baik. Ada bahagia juga haru mendengar kabar baik itu. Tapi sudut hatinya yang lain juga merasa sedih karena pria itu perlahan pasti akan menjauh dan sibuk dengan keluarganya. Dan lagi-lagi, sepi menjadi teman sejatinya.

Tersentak karena bunyi pesan balasan dari Eza, wanita itu pun akhirnya mencari kontak Adhinatha.

Foto profil yang menampilkan pria yang tengah sibuk mendirikan tenda camping itu terlihat begitu alami candidnya. Regina mendecih, dikliknya ikon pesan dan akhirnya dia kebingungan. Rangkaian kata itu berulang kali dia ketik dan hapus setelahnya. Seolah tidak ada kalimat yang pas untuk meminta pria itu mau menemaninya menghadiri pernikahan Eza. Gensinya yang tinggi takut terluka saat meminta tolong pada pria yang kini bisa disebut tunangannya. Akan tetapi, terus menahan gengsi, dan ujungnya harus menanggung malu karena datang seorang diri di resepsi juga bukan hal bagus. Apa kata media nanti? Baru tunangan sudah tidak harmonis? Atau ... dugaan pernikahan bisnis?

Menghembuskan napas kasar, Regina akhirnya mengetik ulang pesan terakhir yang menurutnya paling baik di antara yang lain.

Dia memejamkan mata begitu tombol kirim dia tekan. Membuka sebelah mata, mengintip dengan penuh penasaran, centang satu itu sudah berubah jadi centang dua dan berubah jadi biru.

Regina menunggu dengan harap cemas. Menebak-nebak apakah pria itu bisa atau justru menolak dengan mentah-mentah.

"Harusnya sih dia bisa diajak kerja sama. Harusnya." Regina menguatkan diri, mengikis rasa was-was yang melingkupi hatinya.

"Bisa, please. Jangan bikin malu."

Dan tanda sedang mengetik itu benar-benar membuat gemas karena berulang kali hilang-tampak tanpa ada satupun pesan masuk sebagai balasan.

Regina menghela napas. Membesarkan hatinya untuk tidak terlalu kecewa saat tanda sedang mengetik itu tidak terlihat pun dengan tanda online pria itu.

"Mungkin dia sudah ada agenda."