Chereads / Ratu Sejati / Chapter 20 - Pagi dan Emosi

Chapter 20 - Pagi dan Emosi

Alunan musik yang lembut dan romantis, temaram lampu yang mendukung, dan seorang pria tampan tengah melingkarkan lengan di pinggangnya dan berdansa seirama, harusnya Regina menjadi wanita yang sangat bahagia malam ini. Nyatanya itu tidak terjadi sama sekali. Bagaimana mau bahagia, kalau orang yang tengah menjadi lawan dansanya ini bahkan melakukannya karena terpaksa. Karena tuntutan ibunya.

Dan begitu lagu itu selesai, pria itu langsung pamit pergi tanpa mengatakan alasan yang jelas.

Untungnya Regina masih bisa menyusul pria itu walau sedikit terlambat. Dan pemandangan Adhinatha yang tengah mengobrol serius dengan seorang pria yang tidak Regina kenal pun masih bisa ia saksikan.

Alis wanita itu bertaut, penasaran sekali dengan apa yang dua pria itu obrolkan. Posisinya bersembunyi sulit membuatnya kesulitan mencuri dengar obrolan yang terlihat cukup rahasia itu.

Pria yang mengobrol dengan Adhinatha mendorong pelan bahu pria itu. Terlihat tidak mau mendengar apa yang Adhi jelaskan. Pria itu melangkah menuju mobil hitam yang kemudian disusul oleh Adhi.

Keduanya terlihat beradu argumen sekali lagi sebelum Adhi didorong paksa dan pintu mobil itu tertutup.

"Aku seperti tengah menonton adegan drama dan mereka seperti pasangan yang tengah bertengkar."

Regina melotot setelah mengucapkan kalimat itu tanpa sadar.

Ingatan tentang Darwin yang dulu pernah menduga Adhi seorang gay pun kembali terlintas di kepalanya.

"Tidak mungkin." Regina mengibaskan tangannya, berusaha menyangkal asumsi itu.

"Tapi bagaimana kalau benar?" Dan sisi lain dirinya masih berusaha mempertanyakan asumsi yang konyol itu.

Regina menggeleng. Mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang tidak seharusnya mengganggu dirinya. "Dia terlihat normal, kok."

Mengangguk sekali lagi, Regina berbalik dan melangkah menjauh —berusaha tidak terlalu ingin tahu dan justru membuat prasangka-prasangka yang cenderung negatif.

Begitu langkahnya kembali memasuki area pesta, Regina langsung disambut oleh calon ibu mertuanya yang terlihat lega mengetahui kalau dirinya sudah kembali.

"Dari mana, Sayang?" tanya Ayu langsung memeluk lengan Regina. "Kamu dicari banyak orang, tau? " tambahnya membuat Regina sedikit merasa bersalah.

"Habis ke ... kamar mandi, Bu. Oh, iya, banyak yang cari Gina? Siapa?" Berusaha mengalihkan obrolan, Regina berhasil membuat Ayu akhirnya membahas hal lain. Wanita itu dibawa oleh Ayu pada lingkaran kecil para orangtua yang tidak Regina kenal.

"Ini dia. Paman dan bibinya Adhi. Mereka ingin kenal sama kamu."

"Jadi ini calonnya Adhi?" tanya salah seorang wanita seusia Ayu dengan kerut yang terlihat samar.

Dan sesi dikenalkan dengan keluarga si pria pun dimulai malam itu juga tanpa Regina duga.

***

Berita menyebar begitu cepat terlebih di era digital seperti sekarang ini. Entah itu dalam konteks baik ataupun buruk, yang jelas Regina benar-benar tidak menyangka akan sebesar itu sorotan yang dia dapat dan seramai itu minat masyarakat akan berita pertunangan yang membawa serta nama dirinya.

Benar, berita tentang pertunangannya dengan Adhinatha sudah tersebar luas bahkan sepagian ini sudah mulai muncul di tayangan gosip televisi swasta.

Geleng-geleng kepala, Regina akhirnya memilih untuk mematikan tayangan televisi itu dan bersiap berangkat kerja.

Langkah membawanya turun menuju meja makan yang sudah lengkap berisi seluruh anggota keluarga.

"Wah, kakakku jadi selebrity sekarang," celetuk Darwin membuat Regina mendecih.

"Perlu aku manageri, Kak? Mungkin saja kan nanti ada wartawan yang ingin meliputmu?"

Meraih garpu, Regina mengarahkan ujung tajamnya pada Darwin yang masih asyik berceloteh sampah.

"Ngomong sekali lagi jangan salahkan aku kalau garpu ini melayang ya, Win?" ucap Regina memperingatkan.

Darwin langsung kicep myendengar kakaknya yang tiba-tiba terlihat begitu serius akan kalimatnya. Meneguk ludah kasar, pria itu pun memilih berhenti mengganggu kakaknya, menampilkan cengiran lebar dan menunduk—melanjutkan makannya.

"Bagus. Habiskan makananmu dengan tenang dan jangan mengangguku."

Adisti tersenyum melihat interaksi kedua anaknya yang selalu bisa meramaikan rumah terlebih meja makan. Melihat keduanya yang akur tapi sering bertengkar kecil membuat wanita paruh baya itu tiba-tiba dilanda kesedihan saat mengingat mereka akan pergi dari rumah pada akhirnya.

"Mama pasti akan rindu suasana rumah yang hangat seperti ini. Iya, 'kan, Pa?"

Disebut oleh istrinya, Gunawan yang sejak tadi sibuk dengan sarapannya pun mendongak pada akhirnya. Ditatapnya wanita yang puluhan tahun hidup bersamanya itu dengan lembut.

"Pasti. Papa pasti juga akan rindu suasana ramai rumah ini. Tapi meski begitu, kita tidak bisa menahan mereka untuk tetap tinggal di sini selamanya, bukan? Mereka memiliki kehidupan mereka sendiri, mereka akan membangun keluarga kecil mereka sendiri dan melahirkan anak-anak lucu yang nanti akan meramaikan rumah ini juga. Jadi kenapa harus bersedih, hum?" Mengusap kepala istrinya lembut, Gunawan benar-benar menunjukkan betapa dia menyayangi dengan amat dalam.

Ah, Regina iri. Dia ingin sekali punya pasangan seperti papanya yang begitu mencintai mamanya itu. Tapi bagaimana caranya? Calonnya saja ditentukan sama orangtuanya. Sedangkan pria yang jadi calon suaminya bahkan terlihat sama sekali tidak tertarik akan dirinya.

"Oh iya, Gin, akhir pekan kami berencana akan makan malam sama keluaganya Mas Arya lagi untuk bahas tanggal baik pernikahan kalian. Kamu bisa ikut, 'kan?"

"Sudah mau milih tanggal, Pa? Serius, tidak perlu ada acara pertunangan segala?"

Gunawan tersenyum kecil. "Tadinya ingin, tapi semalam calon ibu mertuamu kan sudah mengumumkannya. Jadi ... untuk apa lagi kita bertunangan? Langsung cari tanggal baiknya saja, tidak masalah, bukan?"

"Lagian persiapan pernikahan juga tidak sebentar. Banyak yang perlu diurus dan diatur. Jadi ... kalau cari tanggalnya jauh-jauh hari, 'kan enak persiapannya jadi tidak terlalu buru-buru," tambah Ayu menguatkan ucapam suaminya.

Kalau kedua orangtuanya sudah setuju, Regina bisa apa selain menurut?

Membuang napas panjang, Regina puna mengangguk pelan. "Atur saja, Ma, Pa. Toh, mau menolak atapun mengelak juga aku tidak bisa, 'kan? Atur saja seperti maunya para orangtua."

Meraih serbet bersih di meja, Regina pun mengusap bibirnya dan menyudahi makannya. Membahas pernikahan, dia tiba-tiba jadi tidak berselera makan karena teringat Adhinatha.

"Aku berangkat ke kantor duluan," pamitnya lalu berdiri dan meninggalkan meja makan itu.

Ada gemuruh amarah di dadanya mendengar keputusan para orangtua yang seenaknya mengatur pertemuan tanpa meminta persetujuan dirinya terlebih dahulu. "Mereka harusnya membicarakan segalanya padaku terlebih dahulu, bukannya main buat keputusan saja," ujarnya begitu duduk di kursi penumpang.

Tapi sisi lain dirinya menyangkal amarahnya sendiri. "Tapi mereka ajak aku ikut temu keluarga buat nyari tanggal. Apa itu artinya aku masih dilibatkan dalam mengambil keputusan, ya?"

Dia menggeleng lagi. "Mungkin saja keberadaanku besok hanya untuk formalitas."

Mengerang kesal, Regina memukul sandaran jok di depannya.

Suara Pak Jali yang latah menyebut nama Tuhan membuat Regina sadar kalau di mobil itu bukan hanya ada dirinya seorang. Ada supirnya yang rupanya sejak tadi mendengar semua obrolannya dengan dirinya sendiri.

"Pak Jali, saya sudah seperti orang gila, ya?" tanya Regina sudah menanggalkan semua wibawanya.

Pak Jali tersenyum kalem, khas senyum menenangkan para orangtua. "Kesal dan emosi wajar, kok, Non. Saya juga masih suka emosi kadang-kadang. Yang penting jangan terlarut sama amarah itu, Non. Dan ... jangan sampai emosi itu jadi kabut pekat yang menutupi logika."