+6281xxxxxxxxx: Ini aku. Adhi.
Regina sudah hendak membalasnya tapi kemudian pesan baru muncul setelahnya.
+6281xxxxxxxxx: Jangan lupa nanti malam, jam delapan, aku jemput.
***
Wanita itu kembali menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah pesan dari Adhinatha, laki-laki yang mulai saat ini dan ke depannya akan dengan mudah memerintahnya karena perjanjian sialan itu. Kenapa sialan? Karena Regina bahkan menyesalinya di detik pertama dirinya mengatakan setuju untuk perjanjian itu. Salahkan harga dirinya yang mudah sekali tersentil hanya karena kata 'penakut' yang Adhi ucapkan lengkap dengan tatapan meremehkan yang super menyebalkan dari pria itu.
"Bagaimana kalau kita buat perjanjian?" ujar pria itu setelah Regina menghabiskan satu porsi sandwich dalam perjalanan kembali ke tempat proyek.
"Perjanjian apa?" tanya Regina seraya meneguh minumannya dan melirik sekilas pada pria yang sejak tadi menatapnya dengan lengan menyandar pada punggung kursi penumpang tempatnya duduk.
"Perjanjian pernikahan."
"Hah?"
"Kamu nggak berniat terus-meneruk menolak pernikahan ini, 'kan? Karena itu jelas sangat percuma, Regina. Orang tua kita sudah sangat cocok. Mereka pasti akan menggunakan segala cara untuk berbesanan."
"Ini gila. Tapi baiklah, aku ingin dengar akan segila apa rencanamu?"
Adhi tersenyum miring. Di dalam hati dia bersorak karena ini awalan yang bagus untuknya.
"Jadi … kita menikah, ikuti apa yang para orang tua inginkan. Lalu setelahnya kita jalani hidup masing-masing."
"Maksudmu?"
"Kamu tidak perlu melakukan hal-hal seperti yang para istri lakukan pada umumnya. Seperti mengurusi segala keperluanku, makan bersama setiap hari, bersikap manis seperti pengantin baru pada umumnya, semua itu tidak perlu." Kerutan di kening Regina kian dalam mendengar itu semua.
"Aku tidak akan melarangmu bekerja. Kamu bebas pulang jam berapapun, begitupun aku. Aku tidak akan ikut campur urusanmu, aku tidak akan melarangmu melakukan ini itu, aku tidak akan merecokimu akan banyak hal, pokoknya hidupmu tetap milikmu, begitupun diriku."
"Jadi … kita seperti tidak menikah?"
"Kamu bisa menganggapnya begitu."
"Sampai kapan pernikahan ini berlangsung?"
"Saat kita sepakat berpisah, kita berpisah. Aku tidak akan menahanmu, pun kamu juga tidak boleh menahanku."
Regina membuang bungkus sandwichnya ke kotak sampah yang tersedia di mobil itu. Diliriknya sekilas sopir tua yang duduk di kursi depan sekilas sebelum akhirnya tatapannya tertuju pada Adhinatha sepenuhnya.
"Aku tau, kamu belum siap untuk menikah saat ini. Kamu masih belum puas bekerja, bukan? Aku tau, Regina Shima Atmaja adalah wanita perfectionist dan seorang gila kerja sejati. Jadi, menikah denganku bisa jadi sebuah tameng untuk menjaga ruang gerakmu. Menikah denganku, tidak akan ada yang melarangmu bekerja dan sebagainya dan sebagainya." Pria itu lagi-lagi tersenyum miring.
"Dan aku tau lagi satu hal tentangmu. Kamu itu paling benci di atur-atur, bukan? Kamu adalah wanita independent, ratu yang pandai memimpin dan paling benci diatur akan banyak hal. Am I wrong?"
Tatapan wanita itu terlihat jengkel. "Bagaimana bisa dia tahu banyak hal?" pikirnya dengan alis berkerut.
"Jadi … deal?" desak Adhi membuat Regina menatapnya awas.
"Apa-apaan, main deal seenaknya. Biarkan aku berpikir dulu."
"Mau dipikir berapa kali pun, hasilnya tetap sama, Regina. Di sini kamu sangat diuntungkan."
"Mana ada!" Wanita itu memberi tatapan penuh ketidak setujuan.
"Kita sama-sama diuntungkan," ujarnya mengoreksi.
Adhi hanya mengangguk asal, kembali mengulurkan tangannya meminta Regina menyambutnya.
"Sepakat, 'kan?" desaknya lagi membuat Regina menatapnya curiga.
"Kenapa kamu ngotot sekali? Apa ada rencana tersembunyi di balik ini semua?"
"Apa?"
"Kamu sengotot ini, Adhinatha. Kamu tidak akan begini kalau perjanjian itu tidak sangat menguntungkan, bukan?"
"Jangan sok tahu!" sangkal pria itu membuat wanita dengan rambut diikat itu kian curiga.
"Aku yakin ada sesuatu yang kamu rencanakan."
"Astaga, susah sekali bicara denganmu, huh? Jelas-jelas ini sama-sama menguntungkan kita berua. Kita tidak perlu repot-repot datang ke kencan buta lagi. Kamu bisa lebih productif fi akhir pekan. Kamu bisa me time, dan sebagainya. Yakin kamu tidak mau?"
"Mau, tentu saja mau. Tapi sikapmu sangat mencurigakan." Adhi nyaris mengumpat mendengar kecurigaan wanita itu. Dia mengutuk sikap terlalu kritis dari calon istrinya itu.
"Tidak bisakah dia hanya setuju dan semuanya akan lebih mudah berlalu?" kesalnya dalam hati.
"Bilang saja kamu takut." Kalimat itu akhirnya meluncur dari bibir berwarna sedikit gelap itu.
"Aku tidak takut," sangkal Regina cepat membuat Adhi sontak menoleh guna menatap wanita itu. Dia menemukan celah pada akhirnya. Regina dan sisi sensitifnya akan harga diri. Adhi bisa memanfaatkan itu guna mendapat kesepakatan yang dia inginkan.
"Kamu pasti takut akan jatuh cinta padaku, 'kan, Regina?" Sengaja, Adhi menampakkan senyum miring yang membuat Regina langsung terlihat kesal.
"Menikah denganku memang penuh resiko. Kamu pasti takut nanti jatuh cinta padaku, iya, 'kan?" Pria itu berujar dengan raut super songong membuat Regina kian kesal.
"Pesonaku itu memang sulit untuk ditampik, sih. Aku akui itu. Wajah lah kalau kamu menolak. Resiko terlukanya besar."
"Siapa bilang aku takut?" Dapat. Umpan yang Adhi lemparkan akhirnya dimakan oleh wanita itu.
"Jadi … kamu tidak takut, 'kan, menikah denganku?"
"Aku memang tidak takut sama sekali, Adhi. Aku hanya tidak mau gegabah dan justru akan membuat keputusan yang nantikan akan aku sesali."
"Itu artinya kamu takut."
"Aku tidak takut!" Sedikit lagi, Adhi. Kecerdasanmu memang luar biasa.
"Wah, manusia memang suka sesumbar, ya? Bilangnya tidak takut, tapi kenyataannya? Takut sekali."
"Harus berapa kali, sih, aku bilang tidak?" Regina menatap pria itu lelah.
"Makanya buktikan, dong. Aku mana percaya kalau tidak ada bukti." Pria itu melipat lengan di depan dada. Menatap lurus wanita itu dengan tatapan seolah mengejek. "Tahan sama pesonaku, bukan? Kamu yakin tidak akan jatuh hati sekali pun kita menikah dan tinggal serumah, bukan?"
"Aku yakin."
"Kalau begitu terima perjanjian ini, dan buktikan padaku kalau ucapanmu bukan hanya bualan."
"Baiklah! Mari kita buat perjanjian yang kamu tawarkan sejak tadi."
Tersenyum puas, Adhinatha segera mengeluarkan satu lembar kertas kosong dari dalam sakunya. Dia sudah menyiapkan itu sejak tadi, dan akhirnya kertas itu benar-benar dipakai seperti tujuan awal dia dibawa.
Pria itu menuliskan dengan cepat. Sebuah paragraf dengan tulisan latin yang sedikit kurang rapi karena di tulis dengan beralaskan paha pria itu sendiri, di tengah perjalanan yang tidak stabil itu.
"Dengan ini, kami sepakat untuk mebuat perjanjian pernikahan yang isinya; satu …."
Regina benar-benar menyesali itu. Sepakat menikah dengan Adhi, dia pikir akan benar-benar diberi kebebasan apapun dan tidak akan diperintah ini itu. Nyatanya? Tidak sama sekali.
Dan tau apa pembelaan pria itu mengenai berbagai permintaannya sejauh ini? "Aku akan memberimu kebebasan dan tidak menuntut apapun itu setelah kita menikah. Sebelum menikah? Ikuti dulu aturanku."
Sial, bukan?