Sesuai pesan Pak Fikri tadi malam, aku menjalankannya tugasnya membawa lembar surat tanda kelulusan sarjana jenjang pendidikan S1 milikku.
Waktu yang dimiliki Pak Fikri disini hanya 1 jam. Itupun di jam makan siang. Aku tidak ingin membuang waktuku lagi. Akhirnya aku menaiki anak tangga sebanyak 2 lantai dengan cepat. Menaiki anak tangga ini sudah menjadi rutinitasku setiap hari hanya untuk bertemu dengan Pak Fikri.
Akhirnya aku tiba di lantai 3. Kedua kakiku melangkah menuju ruangan Pak Fikri. Dan lagi, Aku lupa kalau saat ini ada Fara disana. Akhir-akhir ini Pak Fikri sering membawa rekannya.
Kalau bukan si Fara, atau pria bule yang aku lihat waktu itu. Dengan kesopanan aku mengetuk pintu ruangan Pak Fikri.
"Asalamualaikum Pak."
"Wa'alaikumussalam. Oh Afrah? Masuklah."
Aku memasuki ruangan Pak Fikri. Di hadapan Pak Fikri ada Fara yang baru saja menyelesaikan makan siangnya dengan lahap.
"Hai Afrah! Wah kita bertemu lagi."
Aku hanya menangguk. "Iya Fara. Alhamdulillah."
"Saya mau lihat surat tanda kelulusan kuliah kamu."
Aku berlalih menatap Pak Fikri dan segera memberikan apa yang dia minta. Pak Fikri menatap surat tanda kelulusan kuliahku dengan cermat.
Aku memperhatikan raut wajahnya. Ntah perasaanku saja atau bukan. Kenapa Pak Fikri terlihat serius seperti itu?
"Kamu lulusan Universitas dari Samarinda?"
Aku mengangguk. "Iya Pak."
"Kamu juga jurusan Ilmu Komunikasi angkatan tahun 2011?!" tanya Pak Fikri yang saat ini tiba-tiba raut wajahnya berubah tidak ramah.
"Iya Pak."
"Kamu-"
"Fikri. Sebentar.."
Fara pun menyela diantara kami sebelum Pak Fikri menyelesaikan pertanyaan padaku.
"Kamu.. kamu baik-baik saja kan?" tanya Fara pada Pak Fikri.
Aku melihat Fara yang sepertinya khawatir dengan Pak Fikri.
"Ya.. saya.. saya baik-baik saja."
"Kenapa kamu terlihat marah Fik?"
"Tidak." Pak Fikri menggeleng cepat. Pak Fikri beralih menatapku. "Em maafkan saya Afrah. Apakah kamu tidak apa-apa?"
Aku menggeleng. "Saya tidak apa-apa Pak."
"Oke. Sekali lagi maaf. Kamu boleh pergi."
Aku hanya mengangguk dan segera pergi. Pak Fikri semakin membuatku bertanya-tanya setiap harinya. Sebenarnya ada apa dengan semua ini?
"Huaaaaaaaaaaaa!!! KECOA!"
BRAK!
Tiba-tiba Fara panik. Fara menaiki atas meja sambil ketakutan setelah Fara menendang kursinya hingga kursi itu terjatuh kelantai. Aku dan Pak Fikri mendekatinya.
"Ya Allah Fara, Ada apa?" tanyaku panik.
"Kecoa Afrah! Kecoa! Aku takut!"
"Dimana?"
"Di bawah meja! Aku takut! Kecoa itu sempat naik ke kakiku. Usir binatang itu! Usir!"
Tanpa diduga Fara berlinangan air mata. Dengan cepat aku keluar ruangan, mencari sesuatu sebagai pengusir kecoa itu. Lalu aku melihat salah satu OB di lantai 3 ini.
"Pak!"
"Ya Mbak?"
"Saya pinjam alat pel lantai ini ya."
"Ha? Untuk ap-"
Aku mengabaikan OB tersebut dan langsung membawa alat pel lantai keruangan Pak Fikri.
"Sudah Afrah. Aku sudah membuang kecoa itu."
Aku menghentikannya langkahku yang baru saja berhenti didepan pintu ruangan Pak Fikri.
"Beneran Fik sudah? Ya Allah aku takut."
"Sudah. Tenanglah. Semuanya baik-baik saja. Ada saya disini untuk kamu."
Aku tertegun mendengar kata-kata Pak Fikri yang terakhir. Terdengar ambigu di pendengaranku. Lalu tatapan Fikri beralih kediriku. Dengan cepat aku berdeham untuk basa-basi supaya aku terlihat baik-baik saja.
"Sudah Bapak buang?" tanyaku pada Pak Fikri.
"Sudah. Kamu kembali saja ke lantai bawah."
Lalu Pak Fikri beralih menatap Fara yang sudah duduk diatas kursi. Fara menangis sesenggukan. Dengan penuh perhatian Pak Fikri meraih tisu dan memberikannya pada Fara.
Tidak hanya itu. Pak Fikri juga memberikan segelas jus yang tadinya aku buatkan karena aku ingat kata Ayah, Pak Fikri harus sering meminum jus jeruk sebagai kebutuhan vitamin C dalam tubuhnya.
Aku berinisiatif membuatkannya pada Pak Fikri. Tapi apa daya jika jus yang belum tersentuh sejak tadi itu sudah di berikan untuk Fara.
Pak Fikri terlihat khawatir dan mencemaskan Fara yang syok. Tapi tanpa dia sadari, Pak Fikri sama sekali tidak memperdulikanku yang saat ini sedang menahan rasa cemburu.
🥀🥀🥀🥀
Dua hari kemudian.
Hari ini aku off bekerja. Seharian ini aku habiskan aktivitasku dengan bersantai didepan tv sambil menonton film kartun. Ntah kenapa selama tinggal di kota Jakarta sini aku jadi menyukai film kartun yang memiliki banyak Chanel.
Rasanya begitu santai. Apalagi kali ini aku sambil menyemil rainbow jelly kesukaanku. Lalu tiba-tiba Ayah datang dan duduk disampingku.
"Ayah?"
"Kamu lagi apa Nak?"
"Nih." ucapku sambil menyodorkan sepiring rainbow jelly kearah Ayah. "Afrah lagi nyemil. Ayah mau?"
Ayah menggeleng. "Tidak. Terima kasih. Apakah Ayah mengganggumu?"
"Tidak Yah. Santai saja. Ayah mau bicara sesuatu dengan Afrah?"
Ayah mengangguk. "Iya. Soal Pak Firki."
Seketika aku menghentikan kunyahan jelly didalam mulutku. Buru-buru aku menelannya dan mengambil segelas air.
"Ya Allah Afrah.. pelan-pelan Nak minumnya. Nanti kamu tersedak."
Aku tetap meminum air segelas itu hingga tandas lalu meraih tisu untuk mengelap bibirku.
"Ada apa Yah? Apakah ada masalah mengenai pekerjaan?" tanyaku gugup.
"Bukan." Ayah menatapku serius. "Beberapa hari ini Fikri sering menghubungi Ayah lewat ponsel dan mendatangi Ayah."
"Lalu?"
"Dia bertanya semua tentangmu pada Ayah. Dimana kamu sekolah dan masalalu kamu."
Jantungku berdegup dengan kencang. Pak Fikri benar-benar membuatku gugup dan terheran-heran akhir-akhir ini.
"Ayah apakah semuanya baik-baik saja?" tanyaku hati-hati pada Ayah.
"Semuanya memang baik-baik saja Afrah. Tapi Ayah tidak bisa memberitahukan semuanya tentang masalalumu dengan Fikri."
"Kenapa?"
"Itu semua karena privasi kamu. Dia bukan siapa-siapa kamu nak."
Akhirnya aku bernapas lega. Jujur saja. Ucapan ayah malam ini benar-benar membuatku panas dingin karena cemas dan deg-degan.
"Tapi Ayah berpesan sama dia. Jika dia memiliki perasaan padamu atau ingin mengetahuimu lebih dekat, Ayah mengizinkannya dengan syarat melamar kamu dan menikahimu."
DEG.
"Ayah!" Tiba-tiba aku berdiri. Aku menundurkan langkahku dengan syok. "Ayah jangan bercanda. Pak Fikri itu sudah di jodohkan sama Fara Yah. Tetangga sebelah kita. Itu tidak mungkin terjadi."
Ayah pun berdiri. Ayah bersedekap. "Kenapa tiba-tiba kamu gugup dan bersemu merah?"
"Ha?"
"Baru di jodohkan toh? Semua itu belum tentu terjadi Afrah. Mereka akan menikah atau tidak itu menjadi rahasia Allah."
"Kenapa Nak? Jangan bilang kamu suka sama bos Ayah itu?"
"I-itu. Afrah- Ya Allah. Ayah ini ada-ada saja."
Aku memegang kedua pipiku sampai akhirnya Ayah tertawa. Ya Allah. Apa-apaan semua ini? Kenapa Ayah jadi menggodaku?
"Ah boleh Ayah jujur sama kamu?"
"A-apa?"
Aku tergagap. Raut wajah Ayah benar-benar santai. Tidak denganku yang deg-deg sejak tadi.
"Tadi pagi, Ibu Ayu mendatangi Ayah. Katanya malam ini dia ingin kerumah kita bersama suaminya dan Fikri"
Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa saat ini. Perasaanku campur aduk. Aku merasa situasi ini terlalu cepat dan mendadak. Seketika aku lemas. Aku terduduk dengan syok. Ayah mendekatiku.
"Afrah. Kamu baik-baik saja kan Nak?"
"Ayah!"
"Afrah!"
Tiba-tiba kami menoleh kearah Bunda yang berasal dari arah ruang tamu. Ayah berdiri dan memegang kedua pundak Bunda.
"Ya Allah Bu. Ada apa? Jangan tergesa-gesa gini"
"Ayah. Cepat keluar. Itu ada tamu datang. Ada Ibu Ayu dan keluarganya."
"Oh. Baiklah. Afrah..." Ayah beralih menatapku lagi. "Cepat masuk kamar dan pakai cadarmu."
Dan aku dilanda kebingungan dengan situasi mendadak ini. Perasaan antara senang dan cemas menjadi satu sampai akhirnya nama Fara dan kedekatannya dengan Pak Fikri terselip dalam pikiranku saat ini.
🥀🥀🥀🥀
Siapkan hati kalian. Siapkannnnnn!!!!!
🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian ya.
With Love 💋
LiaRezaVahlefi
lia_rezaa_vahlefii