Sebelah tangan Ryshaka terulur untuk mengusap penuh kasih puncak kepala Aletha.
Pandangan mereka terkunci satu sama lain. Gerak tangan Ryshaka pun melambat, disertai tubuh yang tiba-tiba saja kian mendekat.
"Kenapa suasana menjadi mengharu biru begini?" Ucapan yang keluar dari bibir Aletha memecah keheningan suasana.
Ryshaka pun menarik kembali uluran tangannya yang sebelumnya telah mengelus pelan puncak kepala Aletha.
"Tidak tahu!" Kedua pundak Ryshaka terangkat.
"Mungkin karena seorang wanita yang tiba-tiba saja menangis?" Tanya Ryshaka pada Aletha.
"Sudah saya bilang TIDAK!" Ucap Aletha sembari menaruh penekanan pada kata "tidak" agar atasannya tersebut percaya.
"Baiklah! Anggap saja saya percaya." Ucap Ryshaka final.
"Dari nada bicara bapak, sepertinya tidak sepenuhnya percaya." Ucap Aletha seraya memicingkan matanya.
"Saya tidak ingin lagi berdebat denganmu! Apalagi untuk sesuatu yang tidak penting seperti ini." Ucap Ryshaka memutuskan bahwa ia tak ingin terpancancing pada kata-kata penuh provokasi Aletha.
"Lebih baik kita pulang saja! Saya sangat lelah." Ucapnya.
"Oh, eh.." Aletha seperti ingin bicara namun tak tahu bagaimana cara untuk mencari alasan yang tepat.
"Mengapa kau mendadak gagap?" Tanya Ryshaka bingung.
"Saya ingin pulang sendiri." Ucap Aletha tak yakin, bahkan dalam pendengarannya sendiri.
Ryshaka mengulurkan tangannya untuk melihat waktu yang tertera di jam tangannya.
"Sekarang pukul dua belas lewat." Ucap Ryshaka dengan kening berkerut.
"Dan saya akan menjadi pria paling terkutuk bila membiarkan seorang wanita cantik seperti dirimu pulang sendiri." Ucap Ryshaka yang langsung menimbulkan semburat merah di pipi Aletha karena telah disebut cantik.
"Tapi saya ada urusan lain." Ucap Aletha kekeuh.
"Di malam yang larut seperti ini?" Tanya Ryshaka dengan netra tajam yang seakan siap untuk menggali kebohongan dalam diri Aletha.
"Berikan saya satu alasan yang menurut saya paling masuk akal, baru saya akan mengijinkan!" Ucap Ryshaka seraya bersedekap dan manik mata yang memaku penuh.
"Ada temanku yang ingin bertemu." Ucap Aletha pelan.
"Tidak ada alasan yang lebih baik?" Tanya Ryshaka dengan satu alis yang terangkat tinggi.
"Itu bukanlah alasan dan sekarang teman saya sudah menunggu, jadi, permisi!" Ucap Aletha sembari bersiap untuk meraih handle pintu dan segera keluar dari sana.
"Siapa bilang kau boleh?!" Tanya Ryshaka dengan tangan yang terulur untuk meraih pergelangan tangan Aletha.
Aletha berusaha untuk melepaskan cengkraman tangan Ryshaka di pergelangan tangannya.
Lelaki ini sangat tidak memandang gender saat sedang marah. Aletha yakin saat ini tangannya memerah dan mungkin saja akan meninggalkan ruam disana.
"Pertanyaan, kenapa anda melarang?" Tanya Aletha.
"Kamu wanita dan sekarang sudah larut. Keduanya merupakan perpaduan yang pas untuk suatu hal buruk yang ada dalam benak saya." Ucap Ryshaka perlahan, ia berharap kata-katanya dapat terserap dengan baik oleh Aletha yang mempunyai sifat pembangkang.
"Kalau begitu simpan saja rapat-rapat dalam benak Bapak, karena saya tidak akan menurutinya, sekian, Terimakasih!" Ucap Aletha seraya membungkukkan badannya dalam-dalam.
"Kau tetap akan pergi?" Tanya Ryshaka. Kali ini raut wajahnya datar, tak ada seulas pun senyum yang tersungging disana.
Aletha hanya menganggukkan kepalanya singkat sebagai jawaban.
"Ya sudah. Silakan keluar!" Bersamaan dengan kalimat yang tercetus di bibirnya, Ryshaka membenarkan posisi tubuhnya ke arah depan.
Aletha yang melihat perubahan drastis itu pun merasa bersalah.
Bukannya ia tak ingin mematuhi ucapannya, hanya saja saat ini ada hal krusial lain yang ingin segera Aletha urus.
Sebelah tangan Aletha meraih handle pintu mobil dan membukanya secara perlahan. Pandangan terarah sekilas pada pria di sampingnya. Bibir Aletha terangkat membentuk senyuman getir karena lelaki itu mengabaikan Aletha, semua itu terlihat dari posisi duduknya yang menghadap lurus ke depan dengan gigi yang mengetat keras. Sebuah gesture yang mengartikan bahwa lelaki itu sedang marah padanya.
Aletha pergi meninggalkan Ryshaka tanpa seutas pun kata.
Aletha mengedikan kedua bahunya acuh melihat mobil yang ditumpangi oleh Ryshaka langsung melaju dengan cepat sepeninggal Aletha dari sana.
"Ini bukan saatnya untuk memikirkan suasana hati Pak GM yang pasang surut, Aletha!" Ucap Aletha pada dirinya sendiri.
Bola mata Aletha bergerak liar kesana-kemari demi mencari sosok Adam.
"Kalau sudah begini, aku harus pergi ke arah mana?" Ucap Aletha kebingungan, ia tak tahu arah mana yang harus ia tuju untuk mencari sosok ayahnya.
Kening Aletha berkerut dalam memikirkan motif apa yang membuat Adam begitu Keukeh untuk menemui Aletha. Mungkin saja ada hal penting yang ingin lelaki itu sampaikan padanya.
"Apa aku harus naik ke atas? Tapi kemana?"
Masalahnya adalah ia tak memiliki akses apapun untuk sampai ke dalam sana.
Sebenarnya ia bisa saja menelpon Dashi dan meminta tolong pada sahabatnya tersebut, tapi mengingat Dashi yang begitu kepayahan karena mabuk berat, ia jadi mengurungkan niatnya tersebut.
Aletha berjalan tak tentu arah di area basemen tersebut, bola matanya pun memindai dengan cermat tiap gerak-gerik yang ia rasa mencurigakan. Namun karena malam yang memang telah larut, tak banyak aktifitas berarti yang terjadi. Mungkin hanya sesekali ada mobil keluar masuk dari sana, tak lebih dari itu. Karena Aletha yang sedari tadi berjalan hilir mudik kesana kemari namun tak ada hal apapun yang ia lakukan hingga ia mendapatkan pandangan tanya dari orang-orang sekitarnya.
Sadar bahwa ia telah salah mengambil langkah hingga Aletha memutuskan untuk keluar dari sana.
"Bisa bahaya kalau mereka mengira aku sebagai penguntit dan melaporkan pada pihak keamanan." Gumam Aletha sembari melangkahkan kakinya dari sana.
"Lelah sekali rasanya, hoam..." Ucap Aletha seraya menguap lebar-lebar.
"Lebih baik kau pulang saja Aletha! Besok saja kalau ingin bermain-main menjadi detektif." Ucap Aletha pada dirinya sendiri, sebelah tangannya ia gunakan untuk menggapai ponsel di tas jinjingnya.
"Apa-apaan ini?! Apakah alam semesta pun ikut campur untuk membuatku kesal?!" Ucap Aletha shock berat mendapati ponselnya dalam keadaan mati total dan berita baiknya adalah ia juga lupa untuk membawa power banknya.
"Tak usah banyak drama Aletha! Ini adalah ibukota besar pasti masih banyak taksi yang akan melewati daerah ini, mungkin bedanya kau harus menunggu dalam kurun waktu yang tak ditentukan untuk berhasil mendapat taksi." Kalimat yang keluar dari bibir Aletha memang terdengar santai tanpa beban, namun berbanding terbalik dengan tangannya yang meremat gemas ponselnya karena merasa benda tersebut tidak berguna.
Setelah sekian lama menunggu namun tak juga mendapatkan taksi kosong. Aletha pun menggerutu kesal.
"Lelah sekali, ya Tuhan!" Racau Aletha ingin meneteskan air matanya.
Aletha seketika menghentikan racauannya sendiri saat pundaknya di tepuk pelan oleh seseorang dari belakang.
Dengan gerak yang sangat perlahan Aletha memalingkan kepalanya untuk melihat siapa orang asing yang dengan beraninya menakuti Aletha dalam keadaannya kini yang bisa dikatakan kacau.