Mobil milik Ryshaka berhenti di depan sebuah gedung apartemen tempat tinggal Dashi.
Manik mata Aletha mengarah pada sahabatnya yang masih belum juga sadarkan diri.
Aletha membuang napasnya kesal.
Huh!
Kalau seperti ini mau tak mau Aletha harus kembali merasakan dadanya yang sesak menahan kecemburuan.
Pandangan Ryshaka memaku pada wajah cantik Aletha yang sedari tadi duduk diam di tempat duduknya dan bukannya bergegas keluar.
"Kenapa kau diam saja? Tolong bawakan tas jinjing milik Dashi dan antarkan saya menuju unitnya!" Perintah Ryshaka.
"Saya tunggu di sini saja, Bapak bisa ke atas sendiri, 'kan?" Tolak Aletha tak mau menuruti perintah Ryshaka.
"Nampaknya hanya kamu saja satu-satunya bawahan yang selalu menentang perintah atasannya." Ucap Ryshaka muram karena Aletha yang lebih banyak menolak daripada mematuhi perintahnya.
"Selagi ada pilihan lain kenapa tidak? Lagipula semua perintah yang saya tolak itu adalah sesuatu yang saya anggap tidak ada korelasinya dengan jobdesk saya sebagai seorang assisten." Ucap Aletha membeberkan alasannya.
"Seperti biasa, kau sungguh pandai dalam membuat alibi!" Ucap Ryshaka dengan nada sedikit jengkel.
Ryshaka pergi meninggalkan Aletha disertai dengan Dashi yang berada dalam gendongannya. Setelah sebelumnya Aletha memberitahukan pada Ryshaka dimana letak unit sahabatnya tersebut.
Aletha kontan saja melemparkan manik matanya ke arah lain, ia tak ingin kejadian kecil yang tak sengaja terjadi tersebut mempengaruhi mood Aletha menjadi lebih buruk lagi.
Aletha menunggu dalam kebosanan menanti Ryshaka yang tak kunjung keluar dari unit milik Dashi.
"Apa aku harus menyusulnya ke atas?" Ucap Aletha retoris pada dirinya sendiri.
"Aish! Kau ini bodoh sekali! Selalu saja menyesali keputusan yang sudah dibuat! Padahal kamu sendiri yang menolak untuk ikut ke dalam saja!" Rutuk Aletha jengkel. Jari telunjuknya teracung mengarahkan pada dirinya sendiri.
Ceklek!
Bunyi sebuah handle pintu yang hendak dibuka menyadarkan Aletha dari rasa bosannya.
Sepersekian detik sebelum Aletha membukanya, manik matanya melirik pada siluet tubuh seseorang yang ia yakin bahwa siapapun sosok itu bukanlah atasannya, melainkan,
"Adam?" Gumam Aletha pelan disertai jemari tangannya yang tiba-tiba saja terasa basah dan gemetar. Ketakutan dalam dirinya merambat cepat menuju dadanya yang berdetak kian kencang.
"Penguntit sialan!" Maki Aletha.
Sebelah tangannya dengan cepat meraih ponsel untuk menghubungi Ryshaka agar lelaki itu segera kembali ke mobil.
"Tapi bagaimana kalau Adam justru berbalik arah dan malah menyerang Ryshaka?" Batin Aletha kalut atas keputusan apa yang harus ia ambil.
Brak! Brak!
Terdengar bunyi kaca yang dipukul kuat oleh kedua tangan kekar milik Adam.
Untung saja lelaki tua itu tidak membawa serta senjata tajam yang akan membuat keadaan semakin tambah runyam.
Manik mata Aletha dapat melihat dengan jelas eksperi penuh amarah yang terpampang nyata dalam diri lelaki itu.
Selalu saja seperti itu.
Aura penuh amarah yang menguar dalam diri Adam membuat Aletha meringkuk penuh ketakutan.
Tak ada lagi sosok Aletha yang independen dan gigih dalam menyerukan kalimat sangkalan, apalagi untuk sesuatu yang ia pandang tidak ada korelasinya dalam tugas yang ia emban.
Sosok itu kini telah sirna.
Digantikan oleh seorang wanita dengan bahu yang terkulai lemah dan kepala yang sudah tak sanggup lagi untuk ia dongakkan.
Terlalu banyak beban yang harus ia emban.
Atau lebih tepatnya, sampai beban mana yang harus ia pikul. Ia tak tahu.
Seluruh waktu dan tenaganya telah ia abdikan. Namun tak ada hasil yang ia peroleh.
Jika boleh jujur, ia sudah lelah.
Sangat.
Menghadapi keadaan yang seperti ini.
Bukan seperti ini yang ia inginkan!
Sungguh!
Jika saja waktu itu ia mengubur dalam-dalam keinginannya, pasti keadaan tidak akan serunyam ini.
Kepergian Aletha dari tempat kediaman asalnya ia sangka dalam merubah keadaan seperti sedia kala.
Namun nyatanya ia salah besar.
Keadaan perekonomian yang tidak kunjung membaik, serta tubuh renta ibunya yang tak kuasa menahan kerinduan terhadap Aletha, menjadikan tubuh itu semakin lemah hingga akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya.
Sudut bibir Aletha terangkat membentuk senyum yang sarat akan ironi.
Lagi-lagi masalah uang.
Yang keberadaannya dianggap segalanya oleh sebagian orang.
Jika boleh jujur, Aletha pun menahan rasa kerinduan yang teramat melihat sosok lelaki yang menjadikannya ada di dunia ini.
Namun karena ia yang salah mengambil langkah, menjadikan keadaan serumit ini.
Mungkin karena ia terlalu lelah upayanya tak juga membuahkan hasil hingga membuat Adam melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana.
Aletha dapat menangkap jelas semua itu.
Punggung lebar ayahnya yang pernah ia jadikan sebagai sandaran saat berada dalam gendongannya. Lalu tangan kecil milik Aletha yang akan memegang erat-erat lehernya agar tak terjatuh. Rasanya nyaman sekali.
Tubuh ringkih Aletha merosot mengingat semua itu.
Sebelah tangannya ia tekan kuat ke arah degup jantung yang masih berdetak kencang.
"Tarik napas Aletha!" Tenanglah! Si brengsek itu tak akan bisa menyakitimu lagi!" Ucap Aletha penuh nada penghiburan pada dirinya sendiri namun tak urung manik matanya matanya mengeluarkan cairan bening.
Ia tak tahu cara apa yang dipergunakan oleh ayahnya tersebut, hingga dimanapun ia berada, keberadaan dapat dengan mudah ditemukan olehnya.
Aletha yang terlalu larut oleh lamunannya hingga tak sadar bahwa sedari tadi Ryshaka telah sampai di carport.
Cklek! Cklek!
"Apa yang ada dalam pikiranmu? Kenapa lama sekali membuka pintunya?" Tanya Ryshaka beruntun.
Aletha memutarkan bola matanya jengkel.
Aletha memutuskan bahwa ia tak menyukai Ryshaka dalam mode pendiam maupun mengomel seperti ini.
Jika lelaki itu mengatupkan rapat-rapat mulutnya, maka lirikan mata tajamnya yang akan menyulut emosi dalam diri Aletha. Tak jauh berbeda bila lelaki itu banyak bicara, sama-sama mengesalkan.
Ryshaka seketika memakukan pandangannya pada sudut mata Aletha yang mengeluarkan cairan bening.
"Apa ini?" Tanya Ryshaka disertai tangannya yang terulur untuk menghapusnya.
"Kau menangis?" Tanya Ryshaka kembali, pancaran matanya menyorotkan rasa kekhawatiran yang dalam.
"Saya? Menangis?" Ucap Aletha retoris.
"Ini saya Aletha!" Ucap Aletha seraya menepukkan telapak tangannya ke arah dadanya sendiri.
"Yang sanggup menghadang musim pancaroba tak menentu sekalipun, tak mungkin menangis tanpa alasan yang jelas." Ucap Aletha.
"Bagus kalau begitu, saya suka dengan wanita yang tidak dengan mudahnya menjatuhkan air matanya, mungkin jika sesekali boleh saja, itu menandakan bila mereka memiliki nurani, namun jika terlalu sering," Ryshaka tiba-tiba saja menghentikan kalimatnya untuk menaruh perhatian penuh pada wanita di depannya.
"Malah akan terlihat seperti drama." Pungkas Ryshaka.
Seperti tersihir oleh kalimat Ryshaka, kepala Aletha spontan mengangguk-angguk setelah mendengar petuah itu.
"Saya tidak akan menangis untuk suatu alasan yang tidak jelas!" Ucap Aletha lebih kepada dirinya sendiri.