Satu jam menempuh perjalanan, kini mobil yang dibawa oleh Sekretaris Niko telah sampai di butik Ga Adis milik Jingga dan Adisty. Ini kali pertama Arseno ke butik Jingga yang sangat kecil baginya.
Arseno turun dari mobilnya, langsung menatap tajam ke arah butik yang bertulisan Butik Ga Adis.
'Ini benar butik Jingga? Kecil sekali,' batin Arseno.
"Niko, ini benar butik Jingga?" tanya Arseno seolah mencari kejelasan.
"Benar, Tuan Arseno. Ada apa?" tanya Sekretaris Niko.
"Tidak, butiknya sangat kecil," ujar Arseno.
"Memang, Tuan. Nona Jingga memang hanya bisa membangun butik kecil-kecilan, namun desain baju yang di buatnya tidaklah jelek, tapi untuk proses penjaitannya masih menyuruh orang lain," jelas Sekretaris Niko yang serba tau.
Memang, sebelumnya Sekretaris Niko sudah menyelidiki tentang Jingga sebelum menikah dengan Arseno demi keamanan Arseno, tak berniat apapun, Sekretaris Niko hanya takut jika Jingga bukan orang baik-baik, walaupun Arseno tidak meminta Sekretaris Niko untuk mencari informasi tentang Jingga.
"Baiklah, kita ke dalam sekarang," ajak Arseno.
Arseno berjalan paling depan seolah tidak sabar ingin bertemu dengan Jingga.
Pintu butik memang tidak terkunci sempurna, hingga Arseno dan Sekretaris Niko bisa membuka langsung. Dengan gerakan perlahan Arseno membuka pintu, namun Arseno tidak bisa melihat apapun disana. Semuanya gelap gulita seolah listrik tidak dinyalakan.
'Pintunya tidak ditutup, apa Jingga disini? Rasanya tidak mungkin, gelap seperti ini mana mungkin ada kehidupan disini. Lagipula Jingga adalah wanita yang penakut, jadi mana mungkin dia betah begelap-gelapan seperti ini. Atau jangan-jangan sesuatu terjadi kepada Jingga?' pikiran Arseno sudah terbayang yang tidak-tidak kepada Jingga.
"Niko, cari stop kontak dan nyalakan lampunya!" perintah Arseno.
"Baik, Tuan Arseno," jawab Sekretaris Niko.
Tak menunggu lama, lampu kini sudah dihidupkan oleh Sekretaris Niko.
Setiap sudut butik terlihat jelas oleh Arseno. Arseno melebarkan matanya seolah mencari wanita yang malam ini mengganggu pikirannya, namun dirinya tidak kunjung menemukan wanita yang dia cari.
"Apa kau melihat keberadaan Jingga?" tanya Arseno.
"Tidak, Tuan Arseno, apa mungkin di lantai 2? Butiknya ada 2 lantai, barangkali Nona Jingga ada di atas," ujar Sekretaris Niko.
"Baiklah kita ke lantai 2 sekarang." Arseno langsung melangkahkan kakinya menaiki setiap tangga yang baginya sedikit curam.
Kini Arseno melangkah ditangga terakhir, setiap sudut lantai 2 sudah dirinya lihat dengan jelas. Namun, Arseno tersentak saat melihat seseorang wanita sedang berada dilantai, tengah meringkuk seolah kedinginan. Dengan jelas Arseno mengenal wanita yang ada di lantai tersebut.
"Jingga," teriak Arseno.
Arseno langsung berlari kecil ke arah tubuh Jingga dan mengangkat tubuh Jingga, hingga kepala Jingga berada di tangan Arseno, kini wajah Jingga dengan jelas dilihat oleh Arseno. Wajah yang semalam sangat ceria namun kali ini sangat pucat seolah tidak ada darah yang mengalir di seluruh tubuhnya.
Jingga perlahan membuka matanya, menatap wajah Arseno dengan sendu.
"Jingga, kenapa kau berbaring di lantai? Kau baik-baik saja?" tanya Arseno.
Namun sama sekali tidak ada jawaban dari Jingga, dirinya hanya asyik menikmati wajah tampan dari suaminya itu.
"Hei, tolong jawab!" ucap Arseno.
"T-Tuan, m-maaf s-saya b-belum p-pulang," ucap Jingga gemetaran seolah dingin sudah menusuk sampai ke tulangnya.
Arseno melihat jika Jingga sangat kedinginan, seketika langsung memeluk Jingga dengan sangat erat, seolah memberikan kehangatan kepada istrinya. Ini pertama kalinya bagi Arseno memeluk wanita selain Selva. Ada yang beda, namun entah kenapa Arseno seolah sangat senang memeluk tubuh Jingga. Pelukan yang diciptakan oleh Arseno sama sekali tidak mendapat penolakan dari Jingga.
"Tenanglah, saya tidak akan marah. Kenapa tidak menghubungi saya jika kamu tidak bisa pulang?" tanya Arseno.
"S-saya t-tidak p-punya... " ujar Jingga terhenti, nafasnya kini tersengal-sengal seolah tidak sanggup untuk melanjutkannya.
Arseno terdiam, dirinya membenarkan ucapan Jingga. Mereka berdua memang tidak memiliki nomor ponsel masing-masing.
'Kenapa aku tidak saling bertukar nomor, ah kenapa aku merasa bersalah begini!' batin Arseno.
"Tidak apa, nanti saya akan memberikan nomor saya kepada kamu, agar kamu bisa menelpon jika membutuhkan bantuan," ucap lembut Arseno.
Jingga hanya bisa mengangguk kecil.
"Tuan, sebaiknya kita segera pulang, kasihan Nona Jingga sepertinya sangat kedinginan," ucap Sekretaris Niko.
"Baiklah." Arseno langsung mengangkat tubuh Jingga dan menggendongnya dengan sangat romantis.
Jingga yang sangat melemas tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan Arseno menggendong dirinya hingga sampai ke mobilnya.
Dengan sangat perlahan, Arseno memasukan tubuh Jingga ke dalam mobil, dan Arseno duduk tepat di samping Jingga.
Pelukan itu kembali diciptakan oleh Arseno, seolah tidak ingin Jingga merasakan kedinginan sedikitpun. Kepala Jingga pun dibuat bersandar ke dada bidang milik Arseno.
"Sekretaris Niko jalanlah, tolong kecilkan AC nya," pinta Arseno.
"Baik Tuan Arseno." Sekretaris Niko mengecilkan AC mobil dan segera melajukan mobilnya menuju ke apartemen.
1 jam berlalu, kini mobil sudah sampai di apartemen milik Arseno, sepanjang perjalanan Jingga hanya memejamkan matanya, entahlah namun Arseno tidak menggangunya sama sekali.
"Niko pulanglah, terima kasih sudah membantu mencari Jingga," ujar Arseno.
"Baik Tuan Arseno, saya permisi," ucap Sekretaris Niko.
Begitu Arseno dan Jingga keluar dari mobil, Sekretaris Niko langsung pergi meninggalkan apartemen.
Jingga masih dalam dekapan Arseno, dirinya tidak membiarkan Jingga berjalan sendiri. Arseno pun langsung membawa Jingga ke unit apartemen miliknya.
Bel sudah dibunyikan oleh Arseno, tidak menunggu lama karena pintu apartemen langsung terbuka dengan lebar.
"Jingga," teriak Nyonya Diva melihat Jingga yang sedang di gendong oleh Arseno.
"Ya Tuhan, sayang Jingga kamu sangat pucat sekali?" ucap Nyonya Diva yang histeris melihat menantunya yang sangat melemas.
"Ma, Arseno menemukan dia di butiknya, Jingga tidak bisa pulang," jelas Arseno.
"Ya sudah Arseno nanti kita bahas, sekarang kamu bawa Jingga ke kamar, kasihan dia kedinginan," ucap Tuan David.
"Iya Pa," jawab Arseno.
Arseno langsung melangkahkan kakinya menuju ke kamar tamu namun langkahnya terhenti tak kala mendengar panggilan dari Nyonya Diva.
"Arseno, kenapa kamu bawa Jingga ke kamar tamu?" tanya Nyonya Diva.
"Jangan bilang kalian pisah kamar?" tanya Nyonya Diva penuh dengan penyelidikan.
"Ma, semalam kami berdua memang tidur di kamar tamu, kalau tidak percaya nanti Mama bisa tanyakan kepada Jingga apakah kami tidur sekamar atau tidak," ucap Arseno yang berkata jujur.
"Kalau gitu bawalah Jingga ke kamar kamu, kamar tamu untuk Mama dan Papa tidur," ucap Nyonya Diva.
Arseno mengangguk dan tersenyum kecut seolah mengiyakan perkataan orang tuanya.
"Arseno, sekalian kamu ganti bajunya agar Jingga tidak masuk angin," pinta Nyonya Diva.
Arseno membulatkan matanya.
'Mengganti bajunya? Itu artinya membuka bajunya? Bahkan kami belum pernah melakukannya, bagaimana bisa Mama meminta aku menggantikan baju Jingga?' batin Arseno.
"Tidak masalah bukan? Bukankah kalian sudah tidur satu kamar? Itu artinya tidak ada hal yang harus di tutup-tutupi, sudahlah lakukan perintah Mama!" goda Nyonya Diva.
Bersambung...