Adel mengingat perkataan Dava semalam. Jujur saja, ia tadinya mengira dan berharap Dava adalah single daddy. Pada kenyataannya itu memang benar.
"Sayang sekali Dava single parent. Oiya, kenapa dia tidak menikah lagi ya? Padahal kalau dipikir-pikir, aku yakin banyak wanita yang mau mengantre untuk menjadi istirnya," batin Adel.
Ia menatap ke arah pinggir jalan. Beberapa orang sedang bersepeda. Ia berada di dalam taksi hendak pulang. Tadinya Dava hendak mengantar pulang, tapi Adel menolak. Ia tak ingin membuat Dava repot.
Ditambah lagi saat Adel pergi, Theo masih tidur. Adel khawatir jika Dava mengantarnya sedangkan Theo bangun dan tidak mendapati Dava di rumah, anak itu pastj akan menangis. Kalau hal itu terjadi, Adel semakin tak enak hati.
Beberapa menit kemudian, taksi yang ditumpangi Adel pun tiba di depan rumahnya. Adel turun setelah membayar ongkos taksi.
Di depan rumah ia melihat Maya sedang duduk di teras sembari bermain game. Sesekali Maya berdecak sebal karena kalah.
Maya mendengar derap langkah kaki pun mendongak. Wanita itu menyimpan kembali ponselnya pada tas.Ia berdiri sambil bersedekap dada. Pandangannya menatap penuh selidik.
"Dari mana aja lo, Del? Gue dari tadi nungguin. Eh ternyata lo nya malah pergi."
Adel tak tahu harus menjawab apa. "Semalam, gue ada di rumah Dava." Berkata bohong pun percuma.
Jika di hadapan Maya, Adel tak bisa berbohong. Entah kekuatan apa yang sahabatnya ini miliki sehingga sangat mudah menebak Adel berbohong atau pun tidak.
Mata Maya melotot mendengar pengakuan Adel. Pikirannya ke mana-mana sekarang. Maya mendekat. "Lo serius? Demi apa? Ngapain lo ke rumah hot daddy itu? Mau jadi sugar babynya?"
Plak
Adel menggeplak lengan Maya hingga wanita itu mengaduh kesakitan. Ia sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Maya, hanya saja perkataan Maya yang ceplas-ceplos dan dengan suara cukup keras membuat Adel khawatir didengar oleh orang lain.
Meskipun di lingkungannya belum tahu istilah 'sugar baby' atau 'sugar daddy', tapi tetap saja Adel malu. Ia menggeret tangan Maya masuk ke dalam rumah. "Kebiasaan deh lo May kalau ngomong. Kecilin dikit napa."
"Santai aja kali, Del. Lagian orang sini juga kagak paham maksudnya."
Adel memutar matanya jengah. "Emang sih orang sini kagak tahu, tapi kan mereka bisa nanya. Atau mereka bisa cari di internet. Bisa salah paham nanti mereka sama gue."
"Oiya, gue nggak kepikiran, hehe. Sorry," ucap Maya. "Kenapa lo sampe nginep di sana? Lo nggak takut diapa-apain gitu?"
"Bukan ke arah takut sih, tapi lebih ke sungkan aja. Waktu gue mau pergi, tiba-tiba ujan gede. Berjam-jam. Akhirnya, gue terpaksa nginep. Makanya pagi-pagi gue udah cabut dari sana," jawab Adel. "Oiya, lo ngapain ke sini Pagi-pagi? Ada apa?"
"Biasalah, gue mau ikut sarapan."
"Ck. Kebiasaan. Yaudah, bantuin gue buat masak."
"Siap komandan."
*****
"Daddy." Theo masuk ke kamar Dava. Ia berlari sembari menangis. Theo naik ke tempat tidur Dava. "Daddy," Theo mencoba membangunkan Dava dengan rengekannya.
Dava tadi pagi-pagi sekali memang sudah bangun, tapi tak lama setelahnya pria itu merasakan kantuk. Akhirnya Dava menyerah dan memutuskan untuk tidur.
Dava mengerjapkan matanya. Ia melihat Theo berada di atas tubuhnya. Netra Dava juga menangkap wajah sembab Theo. Dava bangun dari tidurnya. "Kenapa anak daddy pagi-lagi sudah menangis seperti ini?" Dava mengusap air mata Theo.
"Theo mencari kakak cantik, tapi tidak ada. Ke mana kakak cantik Daddy? Sudah pulang ya?" tanya Theo sembari masih sesenggukan.
Benar dugaan Dava bahwa Theo akan mencari Adel. Untung saja Adel sudah pergi. Kalau belum, pasti Theo akan melarang wanita itu untuk pergi di pagi hari.
Sekarang Dava harus menenangkan Theo atau putranya itu akan menangis semakin kencang nanti. "Kenapa mencari kakak cantik hm? Kakak cantik tadi mau membangunkan Theo, tapi tidak tega. Kakak cantik juga ada urusan penting. Jadi, dia pulang."
Wajah Theo sembab dan masih menampilkan raut kesedihan. "Urusan apa Daddy?"
"Urusan pekerjaan. Theo tahu kan kalau orang dewasa harus bekerja supaya bisa membeli makanan?" tanya Dava dan diangguki oleh Theo. "Nah, kakak cantik sedang bekerja."
"Ohh." Dengan polosnya Theo percaya dan mengangguk anggukan kepalanya.
"Sekarang kita sarapan." Dava menggendong Theo menuju dapur.
*****
Tok tok tok
Suara ketukan pintu membuat Adel yang sedang mengelap meja pun terhenti. Ia berdiri dan berjalan ke arah pintu. Di saat ia membuka benda itu, ada Dava dan juga Theo dalam gendongan pria itu.
"Kenapa mereka datang kemari?" tanyanya dalam hati.
Kemudian Adel teringat dengan ucapannya kalau Theo boleh datang keesokan harinya dan sekarang anak itu datang dengan membawa Dava bersamanya.
Theo tadi merengek ingin pergi ke rumah Adel. Ia terus saja merengek dan juga merajuk. Hal itu membuat Dava pusing. Terkadang, Theo menjadi sangat menjengkelkan. Namun sebagai orang tua, Dava tak ingin memarahi atau malah membentak Theo. Walau bagaimana juga, Theo masih kecil.
Theo tersenyum ke arah Adel. "Halo Kakak Cantik." Sapaan Theo dibalas anggukan dan senyum simpul Adel.
"Maaf ya sudah membuatmu merasa tidak nyaman. Dari tadi Theo terus merengek dan bertanya kapan dia akan berkunjung ke sini. Theo tadi sempat merajuk dan menolak untuk makan. Jadi, mau tidak mau aku menurutinya."
Apa yang dikatakan Dava memang benar. Ini bukan lah sebuah trik untuk bisa ke rumah Adel. Dava bersyukur jika Theo merasa nyaman berada di dekat Adel. Itu artinya, semakin mudah ia mendekati wanita di depannya ini.
"Adel, sejujurnya aku juga ingin sekalian menitipkan Theo padamu. Aku ada rapat sedangkan ibuku sedang pergi. Aku tidak ingin dia hanya bersama pengasuh atau pelayan lainnya. Aku tidak ingin kejadian waktu itu terulang kembali." Jujur, Dava tak berani mengatakannya, tapi karena sudah terlanjut ke sini, ya sudah.
Adel tak keberatan Theo berada bersamanya, tapi ia tak begitu pandai menjaga anak kecil. Terlebih anak itu dari golongan atas. Ia takut terjadi apa-apa.
"Aku bisa saja menjaga Theo, tapi rumahku dan isi di dalamnya pasti membuat Theo tidak nyaman."
Dava menggeleng. "Jangan cemas. Theo memang manja, tapi saat dia merasa nyaman dengan orang di sekitarnya, Theo tak keberatan berada di mana saja. Ya, walau terkadang Theo masih merengek. Bagaimana, apa kau keberatan? Aku akan sangat berterima kasih jika kau mau menjaga Theo beberapa jam saja. Setelah pekerjaanku selesai, aku segera ke sini."
"Baiklah, aku setuju."
Senyum bahagia terpatri di wajah rupawan Dava. Pria itu melihat ke arah Theo. "Theo harus berjanji sama daddy kalau Theo tidak boleh merepotkan Kakak can---Kakak Adel." Hampir saja Dava memanggil dengan panggilan 'kakak cantik'.
Theo mengangguk. "Theo berjanji Daddy. Thep akan jadi anak baik."
"Good boy." Dava mengacak pelan rambut kepala Theo. Pria itu menurunkan Theo dari gendongannya. "Aku harus pergi, Adel. Terima kasih banyak karena telah mau menjaga Theo."
Adel mengangguk. Ia menatap ke arah Thep setelah kepergian Dava. "Theo sudah sarapan?"
Theo mengangguk. "Sudah Kakak Cantik."
"Begitu ya. Tadinya kakak mau mengajak Theo makan salad buah."
Theo mengangguk antusias. Ia menepuk perutnya. "Tenang saja Kakak Cantik. Perut Theo masih kuat untuk menampung kok."