Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Eight Letters

🇮🇩kitchenatte
--
chs / week
--
NOT RATINGS
7.3k
Views
Synopsis
Auckland. Kota Metropolitan di New Zealand. Begitu banyak hal indah yang aku temukan disini. Tidak hanya itu, Auckland University yang merupakan kampusku di New Zealand pun tak kalah indahnya. Ah.. aku rasa aku akan sangat bahagia di sini. Lihat? Pemandangannya sangat indah bukan? Aku memutuskan untuk pergi begitu jauh. Pergi menjauh dari semua masalah yang menimpaku. Pengecut. Ya. Aku memang pengecut yang lari dari masalah. Tapi.. aku tidak bisa. Begitu sesak rasanya harus bertahan lebih lama lagi disana. Tidak selamanya, namun aku tidak yakin berapa lama aku akan berada disini. Rasanya, aku begitu takut untuk kembali. Takut.. Aku begitu takut menghadapi mereka semua. Apakah aku nanti akan baik – baik saja? Apakah waktu menjadi jawaban atas rasa sakitku selama ini? Sudahlah. Itu hal yang aku tau tidak tau pasti akan terjadi. Saat ini aku akan fokus untuk menata kembali semuanya. Hatiku. Perasaanku. Hidupku. Yang aku pikir telah berakhir, namun disini aku merasa aku memiliki harapan. Harapan untuk bisa menjalani hidupku dengan lebih baik. Bertemu dengan orang – orang baru yang nantinya akan mewarnai perjalananku disini. Akankah aku menemukan kebahagiaan ku disini? Akankah aku menemukan cinta sebagai kebahagiaan dalam hidupku? Entah kenapa saat ini aku merasa hampa. Kenapa hal ini terjadi padaku? Aku terus mencari dan mencari jawaban atas semua pertanyaan yang menggangu pikiranku. Tapi mengapa semua ini terasa begitu sulit? Kenapa aku harus terus berjuang dengan diriku sendiri? Haruskah aku menunggu dan berjuang lebih lama untuk meraih kebahagiaan itu? Namun aku rasa, aku tidak kuat untuk menunggu terlalu lama. Akhirnya aku pun menyerah.. ************ I open my eyes, when the sound of my heart beating is strange. I looking at you in the mirror, the fear-ridden eyes, asking the question. Loving myself might be harder, than loving someone else.  Honestly, lets admit it. The standards I made are more strict for myself
VIEW MORE

Chapter 1 - Solitude

Full of loneliness. This blooming garden, visible.

I'm tied to this sand castle

Auckland, 07:00 AM.

Kring.. Kring..

"Ugh.." dengan mata yang masih tertutup, aku meraba sekitarku mencari handphoneku yang terus berbunyi.

Klik.

"Hoammm" perlahan aku pun duduk dan merengangkan badanku di atas tempat tidur. Aku menoleh ke jendela dan seketika menutup mata karena sinar matahari yang menyilaukan pandanganku.

Lalu aku pun perlahan bangkit dan berjalan malas ke arah dapur. Aku membuka kulkas dan melihat isi kulkasku hanya roti, telur dan susu.

"Ah iya. Harusnya gue kemarin belanja. Tapi malah asik drakoran sampe tengah malem" Karena tidak banyak yang tersedia, aku pun memutuskan untuk membuat omelette untuk sarapan.

Sambil menyantap sarapan, aku pun membuka akun instagramku. "Wah sibuk banget temen – temen gue lagi ospek"

Mereka apa kabar ya?

Aku pun juga tidak terlalu sering chat atau menelfon temanku karena kesibukan kami masing – masing.

Tiba – tiba ingatanku kembali saat aku SMA dulu. Biasanya setiap pagi Aldy akan cerewet membangunkanku, menelfonku berkali – kali hingga aku bangun lalu marah kalau aku penyebab kita sering terlambat.

Setiap pagi aku selalu terburu – buru untuk bersiap dan memakan sarapan yang disipakan bibi dalam perjalananku ke sekolah.

Di sekolah aku akan bertemu Dean yang kalo gak main game, ya tidur.

Emang bener – bener itu anak. Masih gak nyangka gue dia bisa masuk PTN lewat SNMPTN pula.

Tapi aku lihat sepertinya Dean sudah berubah. Dulu rasanya aku begitu lelah mendengar begitu banyak cerita Dean tentang perempuan yang didekatinya. Sekarang dia sudah bahagia bersama pacarnya.

Semoga mereka langgeng deh.

Namun, itu semua masa lalu.

Sekarang kenyataannya, tidak ada lagi yang akan repot – repot membangunkanku agar tidak terlambat kuliah. Tidak ada yang memasak untukku. Semua aku lakukan sendiri.

Hampa.

Namun aku tidak menyesal dengan keputusan yang aku ambil. Meninggalkan semua kenanganku disana tentu tidak mudah.

Tapi tidak ada salahnya mencoba hal baru bukan?

Beberapa minggu disini, aku belajar banyak hal. Aku menikmati waktu sendiri yang aku miliki saat ini. Dan aku menyadari bahwa aku sudah terlalu lama bergantung kepada orang lain.

Ah.. pagi – pagi gue kok melankonis gini sih. Tidak ingin bersedih sendiri lebih lama lagi, aku pun memutuskan untuk segera bersiap ke kampus.

Day one, here we go!

***

Tepat pukul sembilan pagi, aku sudah siap dan segera berangkat ke kampusku. Tidak lupa aku pun mampir di coffee shop dekat kampus dan membeli mochacino.

Aku tiba di kampus pukul 9:40. "Hmm, masih ada 20 menit lagi sebelum kelas pertama gue dimulai"

Aku memutuskan untuk berkeliling di sekitar kampusku. Saat itu aku menyadari indahnya kampus ini. Aku segera mengambil handphoneku dan mengambil foto suasana pagi itu.

Setelah selesai menguploadnya di sosial mediaku, aku pun bergegas berjalan menuju kelasku. Namun ternyata masih banyak bangku kosong yang tersisa. Aku pun duduk di salah satu bangku yang kosong dan menunggu kelas di mulai.

Ting!

Aku merasakan getaran di kantongku dan melihat Aldy membalas postinganku.

"Ciah gaya bet lu"

"Apa kabar lo ra? Sombong banget lo sekarang jarang hubungin gue"

Aku pun menghela nafas membaca pesan Aldy. Memang beberapa minggu terakhir ini aku sedikit membatasi kontak dengan Aldy.

Gimana bisa move on kalo gue sama Aldy masih chat sama telfonan kayak dulu? Yang ada gue gagal move on.

Selain itu, aku juga sibuk mempersiapkan kuliahku disini. Aku juga memutuskan untuk tidak tinggal bersama orang tuaku dan memilih tinggal di apartemen yang lokasinya dekat dengan kampusku.

Kenapa?

Well.. seperti yang sudah aku duga. Tidak akan berbeda dari sebelumnya. Mama dan papa tetap sibuk dengan urusan pekerjaan mereka sehingga aku pun lebih sering sendirian dirumah. Aku juga merasa lelah dengan sikap mama ku yang selalu mengharapkan banyak hal padaku.

"Kamu harus bisa jadi yang terbaik"

Aku selalu merasa apapun yang aku lakukan selama ini, tidak akan pernah cukup di mata kedua orang tuaku. Jadi aku pun memutuskan untuk hidup mandiri dan tidak tinggal bersama orang tuaku.

Awalnya mereka tidak setuju dan menolak mentah – mentah keputusanku. Aku ingat perkataan padaku "Emang kamu bisa apa sampe mutusin untuk tinggal sendiri? Kurang apalagi yang mama sama papa sediain buat kamu di rumah ini ra?"

Sepi. Sunyi. Perasaan itu kembali aku rasakan. Tidak peduli perkataan Mama yang katanya "membangun keluarga harmonis yang lebih baik" dan pindah jauh – jauh kesini.

Tapi kenyataannya? Tetap tidak berubah. Setelah perdebatan panjang dan aku pun tetap memaksa, akhirnya aku pun tinggal sendiri saat ini.

Tidak mudah memang. Aku masih membiasakan diri mengerjakan semua hal sendirian . Tapi aku merasa jauh lebih baik dan aku dapat pelan – pelan kembali menata perasaanku.

Ternyata aku melamun terlalu lama hingga tak menyadari seseorang berbicara padaku.

"Permisi, disebelah lo kosong kan?" aku pun terkejut dan menoleh melihat ada seorang perempuan yang sudah berdiri disebelahku.

"Oh, Sorry. Can I sit next to you?" tanpa sadar ternyata aku dari tadi hanya diam tanpa menjawab pertanyaan perempuan itu.

"Eh, iya ini kosong kok. Lo boleh duduk disini" kataku sambil tersenyum kepadanya. Dia pun terlihat lega dan duduk di sebelahku.

"Gue kira lo tadi gajawab karena gak ngerti gue ngomong apaan. Kenalin gue Jessica. Lo dari Indonesia kan?"

"Gue kyra. Iya gue orang Indo kok. Sorry tadi gue melamun" jawabku sambil mengulurkan tanganku.

"Hahaha. Gue malu dan canggung di tempat baru. Tadi gue masuk kelas dan liat lo sendirian melamun terus gue ngedeket gue ngerasa yakin lo orang Indo"

"Wah, jeli banget ya mata lo"

"Bisa aja lo. Btw lo pagi – pagi ngelamunin apaan?"

"Bukan apa – apa kok. Eh dosennya udah masuk tuh"

Begitulah pertemuanku dengan Jessica. Orang yang tak ku sangka menemani perjalanan panjangku selama aku berada disini.

***

02:00 PM.

"Huft.. bosen banget gue dengerin materi di kelas banyak banget. Masih belum move on dari suasana liburan gue"

"Gitu deh kalo dosen udah tua ngajar, ngebosenin. Mending masih muda, fresh kan lumayan jadi penyemangat" kata Jessica sambil senyum – senyum.

"Yee elo mah emang dasar genit. Gue laper banget nih. Makan yuk?"

"Yukk. Gue lagi pengen burger nih. Lo mau gak?"

"Wahh boleh – boleh. Yuk cepetan kita makan sampe kenyang!"jawabku lalu melangkah pergi bersama Jessica.

Setelah makan bersama Jessica, ia mengajakku mampir ke salah satu coffee shop tempat temannya bekerja.

Lucunya Jessica bilang ia senang ke coffee shop tapi gasuka kopi. Jadi ia selalu memesan varian susu, teh ataupun matcha.

Saat kami tiba disana, aku melihat sekilas bagian depan coffee shop yang begitu menarik. Kami pun melangkah masuk dan seorang pria menyambut kedatanganku dan Jessica.

"Hai Sam. Eh kenalin ini temen kampus gue Kyra, dia orang Indo juga. Ky kenalin ini Sam temen gue"

"Kyra" "Sam" jawab kami berdua sambil mengulurkan tangan.

Aku pun melihat bagian dalam coffee shop yang ternyata tak kalah menarik dengan bagian luarnya.

"Ky, lo suka kopi?" tanya Sam yang tersenyum melihat ku mengagumi coffee shop ini.

"Suka banget. Gue tiap hari selalu minum kopi" jawabku sambil tersenyum ke arah Sam

"Gue kira lo kayak Jessica gasuka minum kopi juga"

"Eh itu kan soal selera ya. Kopi rasanya pahit, gasuka gue. Makanya gue heran sama orang – orang kayak kalian kok pada suka sih"

"Yaelah Jes, kopi gak selalu pahit kok. Ada mochacino, cappucino, latte, caramel machiatto dan masih banyak lagi varian kopi yang rasanya manis. Kalo lo belinya Americano, ya jelas pahit lah." Kataku sambil tersenyum jail kepadanya.

"Wah, lo bener – bener suka ngopi ya Ky"

"Ya gitu deh. Ada banyak varian kopi yang bisa dipilih sesuai mood gue. Rasanya juga enak – enak kan. Oh iya kalo disini menu kopi yang best seller apaan?"

"Disini kita ada Mochacino Orange. Lo mau coba?"

"Mochacino Orange? Tumben gue denger perpaduannya. Gue mau coba deh. Kebetulan favorit gue mochacino"

"Oke tunggu bentar ya" jawab Sam lalu berlalu pergi membuat kopi pesananku.

"Kyra"

"Hmm?" jawabku sambil menoleh ke arah Jessica yang telah duduk di depanku.

"Lo daritadi senyum – senyum kenapa dah? Lo.. naksir sama Sam ya?" tanya Jessica sambil menatapku penuh selidik.

"Apaan sih lo. Ini gue daritadi liatin design coffee shopnya menarik banget. Lo tau gak, gue itu dari dulu pengen banget bisa punya coffee shop"

"Ya ampun. Gue gak nyangka lo sesuka itu sama kopi Ky. Eh, kalo gitu kenapa lo gak part time disini aja?"

"Part time? Tapi gue belum ada pengalaman jadi barista Jes"

"Ih lo tenang aja. Sam juga awalnya gitu kok. Soalnya gue denger dari Sam, mereka kekurangan orang. Lo kan bisa minta tolong Sam ajarin lo juga" kata Jessica bersemangat.

"Permisi, ini pesenan lo. Ice Mochacino Orange. Cobain Ky. Gimana menurut lo" kata Sam yang datang membawa pesanan kami.

"Ah iya. Makasi ya Sam" lalu aku pun mencicipi kopi itu.

Hmm...

"Wah. Gue gak nyangka rasanya enak banget Sam. Orangenya kerasa seger banget di mulut gue. Dan juga rasanya pas, gak terlalu manis. Padahal biasanya gue selalu minta tanpa gula kalo mesen Mochacino"

"Hahaha. Syukur deh kalo lo ternyata suka. Sering – sering mampir kesini dong Ky"

"Eh iya Sam. Btw lo masih kekurangan kurang buat di coffee shop lo?"

"Masih Jes. Emang kenapa? Tumben lo nanya ginian"

"Ini Kyra dia tertarik banget sama coffee shop lo. Kenapa lo gak rekrut dia aja?"

Sam pun menoleh ke arah ku yang hanya diam mendengar percakapan mereka.

"Tapi Sam, gue gapunya pengalaman jadi barista"

"Gaapa kok Ky. Nanti kan gue bisa ngajarin lo"

"Seriusan?" tanyaku tak percaya.

"Serius lah. Jadi gimana?"

"Gue mau. Makasi banget Sam" jawabku gembira hingga tanpa sadar terbangun dan memegang tangan Sam erat.

"Makasi tapi jangan sambil modus juga kali Ky" kata Jessica menyindirku.

Kaget. Aku pun segera melepas tanganku dan menatap Sam dengan rasa bersalah.

"Sorry"

"Santai aja kali" jawab Sam sambil tersenyum kepadaku.

"Uhuk. Ya ampun gerahgue jadi nyamuk gini" kata Jessica membuat aku dan Sam berpaling salah tingkah.