Chereads / Eight Letters / Chapter 2 - Effrayè

Chapter 2 - Effrayè

If I was afraid of everything, would you believe me?

All the sincerity is the time left.

Setelah menikmati kopi dan berbincang dengan Sam tentang bagaimana perkerjaanku nanti, aku dan Jessica pun pamit pulang. Sebenarnya Jessica lah yang ingin pulang karena tidak tahan melihat interaksi ku dengan Sam yang tertarik dengan kopi.

Aku pun membaringkan badanku di sofa dan melihat jam menunjukkan pukul 7 malam. Aku membuka handphoneku dan melihat notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab dari Aldy.

Aku pun menghela nafas dan menaruh kembali handphoneku tanpa ada niat untuk menjawab pesan dan panggilan Aldy. Karena merasa gerah, aku pun memutuskan untuk mandi.

Setelah aku selesai mandi dan berganti pakaian, aku melihat ada notifikasi pesan yang masuk ke handphoneku.

Sinta

Dimana lo?

Sibuk gak?

Baru selesai mandi gue

Kenapa Ta?

Sebelum aku menaruh kembali handphoneku, tiba – tiba handphoneku bergetar dan ada panggilan masuk dari Sinta.

"Halo Ta"

"Hi Ra. Gaya bet dah ni anak"

"Lah apaan si. Lo kali yang sirik mulu sama gue"

"Cape banget gue. Padahal baru mulai ngampus"

"Iya anjir. Lo disana gimana Ta? Seru gak?"

"Santai. Gue enjoy kok disini"

"Oiya. Gue tadi dikampus udah dapet temen orang Indo tau Ta"

"Seriusan lo? Terus gimana anaknya? Asik gak?"

"Asik kok. Tadi gue sempet nongkrong pas pulang ngampus. Gue di ajak ke coffee shop punya temen dia. Suka banget gue sama tempatnya. Terus nih ya mereka punya menu best seller yang gue juga suka banget tau Ta"

"Temen cewek apa cowok Ra?"

"Cowok. Namanya Sam. Asik banget anaknya"

"Ciee.. modus lo Ra. Suka tempatnya apa suka orangnya?"

"Apaan dah Ta. Gue aja baru kenalan anjir"

"Loh itu dia permulaannya Ra. Nanti makin deket makin deket. Hahaha"

"Gajelas lo. Dan lo tau gak? Gue bakal part time disana. Seneng banget gue"

"Wah cepet juga progress lo Ra"

"Progress apaan dah lu"

"Lo, happy Ra?"

Aku pun terdiam mendengar pertanyaan Sinta. Aku juga bertanya kepada diriku sendiri.

"Apa ini buat gue bahagia?"

"Ra?"

"Eh, uhmm. Gue happy kok Ta. Betah gue disini, viewnya bagus – bagus"

"Ra. Kenapa?"

Aku pun menghela nafas panjang lalu menjawab.

"Gue takut Ta"

"Apa yang lo takutin?"

"Lo tau, dulu gue selalu mikir Cuma Maura yang bisa ngertiin gue, Cuma Maura yang bisa temenan sama gue. Bertahun – tahun gue menutup diri karena takut gue gak di terima, gue takut terluka. Tapi kemudian gue ketemu Vita, Lisa dan lo. Disana gue mulai sadar, orang kayak Maura Cuma satu dan masih ada orang lain yang juga peduli dan ngertiin gue. Gue seneng banget Ta. Tapi kenapa SMA yang rasanya indah buat sebagian orang, sedangkan itu rasanya menyakitkan banget buat gue? Berulang kali gue berusaha memaafkan dan berulang kali membuka diri gue mikir kalo semua orang pernah ngelakuin kesalaha. Tapi kenapa gue juga berulang kali terluka? Gimana.. kalo kali ini gue gagal lagi? Gimana kalo nanti endingnya bakal sama?"

Sinta pun terdiam mendengar pertanyaanku. Ia menghela nafas panjang.

"Ra, gue mungkin gak bisa bilang kalo gue ngerti apa yang lo rasain. Tapi lo gaperlu takut Ra. Dimana pun lo sekarang, walaupun kita jauh, bukan berarti lo sendiri Ra. Lo masih punya kita yang ada buat lo. Gue tau ini gak gampang buat lo, tapi lo gaperlu takut Ra. Apapun yang terjadi kemarin, hari ini, ataupun besok, itu semua udah rencana Tuhan buat lo. Gue yakin kok, lo pasti bakal ketemu sama kebahagiaan lo. Gimana lo mau melangkah maju kalo lo sendiri takut Ra? Lo jangan jauh – jauh kesana ngorbanin banyak hal, Cuma untuk sedih sendiri okay? Gue tau lo bisa lewatin semuanya"

Tanpa aku sadari, air mataku mengalir mendengar semua kata – kata Sinta padaku. Hingga ia selesai bicara pun, aku masih merasa tak sanggup menghentikan air mata yang terus mengalir di wajahku.

Akhirnya malam itu pun aku menangis cukup lama. Menangisi semua beban yang aku rasakan selama ini.

***

"Ah sial" aku pun berkaca sambil memegang mataku yang membengkak pagi ini.

"Parah banget gue nangis kejer gitu semalem"

Lalu aku pun segera bangkit dan mengompres mataku.

Untung gue kelas siang hari ini

Saat aku sedang asyik berbaring sembari mengompres mataku, aku merasakan hapeku bergetar. Aku menoleh dan melihat panggilan masuk dari Aldy.

Ah iya. Gue lupa gak bales chat dia dari semalem.

"Halo Al"

"Kyra. Lo kemana aja? Lo baik – baik aja kan?"

"Gue fine kok tenang aja. Nih liat gue lagi rebahan gini"

"Kirain lo kenapa Ky. Chat gue lo anggurin dari semalem"

"Iya sorry. Gue capek banget kemaren terus ketiduran"

"Itu mata lo kenapa? Lo nangis semalem?"

"Enggak kok. Ini gue kurang tidur aja sama baru bangun mata gue agak bengkak keliatannya"

"Beneran lo gapapa Ky?"

"Iya ih bawel. Gapercayaan banget lo sama gue"

"Terus lo hari ini gaada kuliah Ky?"

"Ada. Tapi nanti jam 1 siang"

"Lo gimana disana Ky?Happy?"

"Happy kok. Gue suka banget sama view disini. Keren – keren banget"

"Gue seneng lo bahagia Ky"

"Apaan sih. Sok manis lu"

"Gue serius Ky. Jangan sedih – sedih lagi ya Ky"

Aku pun hanya terdiam. Tidak tau harus bagaimana. Maksudku, aku benar – benar berusaha keras disini untuk melupakan dia. Tapi kenapa dia seakan tidak membiarkan ku pergi? Kenapa ia bersikap seakan – akan menahanku untuk tetap berada disisinya?

"Ky? Lo ngelamun?"

"Eh, hmm udah jam segini nih. Gue harus siap – siap dulu. Gue matiin ya bye!"

Tanpa menunggu jawaban Aldy, aku pun segera mengakhiri panggilan itu.

Aku pun meletakkan handphoneku dan memejamkan mataku sejenak.

Ting!

Aku menoleh dan melihat notifications pesan dari Aldy.

Aldy

"Kalo ada masalah, lo bisa omongin sama gue Ky"

"Gue gasuka kalo seandainya diatara kita ada masalah dan lo hindarin gue kayak gini"

"Kita bisa omongin baik – baik kan Ky?"

Aku hanya menghela nafas melihat pesan Aldy.

Egois.

Baru aku sadari, kalau Aldy itu egois. Dari dulu ia sering berkata padaku kalau dia tidak suka berjauhan ataupun canggung dengan mantan apalagi temannya. Dia berpikir kalo ada masalah harusnya diomongin baik – baik bukan saling menghindar.

But hey, gue bukannya menghindar. Gue dan Aldy udah jelas bicarain apa yang terjadi diantara kita. Bukannya wajar kalo aku membutuhkan waktu untuk berpikir?

Bagaimana bisa aku menata perasaanku kalau dia bersikap seperti ini?

Aku menoleh ke arah meja belajarku dan melihat fotoku dan Aldy terpajang disana.

Gue kangen Al. Gue kangen banget gimana dulu kita setiap hari bareng – bareng. Lo selalu nemenin gue kalo lagi badmood atau bete di rumah. Lo selalu tau harus ngapain buat balikin mood gue.

Taman itu.. Gue kangen kita yang sering duduk disana dan ngobrol tentang banyak hal. Tentang aku, tentang kamu, namun tidak pernah ada kita.

Tentang kamu dan kehidupanmu, tentang aku dan hidupku, tanpa tau bahwa aku menahan perasaan gembira kita bisa menghabiskan waktu bersama.

Perpisahan itu, rasanya sakit sekali. Saat kamu datang, besar keinginanku untuk bertahan disana bersamamu.

Tapi aku tau, akan lebih sakit jika aku bertahan disana. Jadi aku melepas gengamanmu dna melangkah pergi.

Itu yang terbaik. Apabila waktu dapat diulang, aku pun akan melakukan hal yang sama.

Karena aku tau, bagaimanapun juga, pada akhirnya kita tidak akan bisa bersama.

So please, don't smile on me, light on me. I can't reach you.

You know that I can't, show you me, give you me.

I can't show you a poor look.