Abi membawa Rea ke sebuah restoran bertema laut. Karena restoran tersebut memang terletak di dekat laut, Kota Makassar. Rea pikir, dia akan makan malam di outdoor area dengan lantai kayu yang menghadap laut langsung. Ternyata dia salah, seorang pelayan restoran membawa mereka menuju lantai dua restoran. Abi sudah lebih dulu memesan meja.
Tidak seperti suasana di bawah yang ramai. Di sini suasananya agak tenang. Tentu saja, karena Abi mereservasi tempat yang lebih privasi. Namun, masih bisa melihat pemandangan laut dari atas sini. Tidak biasanya Abi seperti ini. Mempersiapkan segalanya demi makan berdua. Kalau mau pergi makan, biasanya ya, tinggal makan saja. Tidak perlu repot reservasi.
Mata Rea mengedar. Ada jendela kaca besar tanpa tirai di sisi sebelah kanan, dari sana dia bisa melihat pemandangan laut lepas. Crane-crane yang berdiri di tengahnya, serta kapal cepat yang berlabuh di dermaga. Not badlah. Mata Rea bergeser pada dinding berwarna cokelat kayu berpelitur. Terdapat beberapa lukisan yang terpasang. Setiap sudut ruangan ada tanaman hias.
"Ayo, Rea. Silakan duduk," ucap Abi. Lelaki itu sudah menarik kursi untuknya. Rea tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
"Gue seneng, deh. Lu manggil gue nama aja. Jadi, merasa kita seumuran." Rea terkekeh seraya duduk di kursinya.
"Kamu benar. Kamu memang tampak lebih muda dari umur kamu. Aku juga heran. Kamu pintar merawat diri," puji Abi membuat wajah Rea bersemu.
"Bisa aja lu, Bi. Mau pesan makan apa, Bi?" Rea celingukan mencari pelayan.
"Nggak perlu pesan. Sudah aku pesenin. Bentar lagi menu pembuka paling juga datang."
Rea sudah tidak terlalu alergi dengan makan malam fine dining. Lima belas tahun pernikahannya dengan Satria, dia sudah lumayan belajar banyak hidup ala-ala high class. Dia bisa konyol pada tempatnya, tapi juga bisa bersikap elegan pada situasi tertentu. Sesuaikan sama keadaan saja. Biar gimana pun juga, dia tetaplah Rea yang dulu.
Abi benar, tak lama dari itu, hidangan pembuka tiba.
"Boleh gue tau, kenapa lu ajak gue makan di tempat kayak gini. Lu tau, kita kayak lagi kencan kesannya."
Abi nyengir. "Ingin tau aja rasanya makan malam bersama seorang wanita cantik. Kebetulan aku single. Jadi, belum pernah rasain hal yang seperti ini."
Mata Rea membelalak. "Single? Yang bener, ah. Masa cowok seganteng lu masih single."
Abi tertawa. "Kalau aku ganteng mungkin sudah banyak cewek yang antri minta jadi pacarku."
"Gue serius, Abi. Cewek mana yang nggak naksir sama elu?"
Rea benar. Beberapa wanita memang terang-terangan ingin bersama Abi. Namun, entahlah Abi merasa belum tertarik. Satu-satunya wanita yang membuatnya tertarik adalah wanita di hadapannya ini. Meskipun dia tahu, Rea sudah bersuami.
Semua berawal dari majalah bisnis yang dia baca beberapa bulan lalu, sebelum memutuskan bergabung dengan Grup Wijaya. Di sampul depan majalah itu, gambar Rea sebagai pebisnis sukses, tampak cantik dan memesona. Sekali pandang saja, Abi langsung tertarik dan penasaran. Maka, ketika dia dapat kabar ada lowongan sekretaris, dia melamar pekerjaan itu, dan memaksa diterima apa pun caranya.
"Kalau ceweknya itu kamu, mungkin akan aku pertimbangkan."
Rea tertawa. "Nggak lucu bercandanya, Abi."
"Aku serius. Siapa, sih lelaki yang nggak tertarik sama kamu?"
Rea memutar bola mata. Sejujurnya dia tidak bisa membedakan mana ucapan yang serius dan bercanda. Jika Satria dengar, lelaki itu bisa mengamuk. Padahal mereka sedang bercanda.
"Kalau gue kan beda. Gue sudah punya pasangan dan memiliki banyak anak. Sementara lu, masih muda dan single."
"Kalau yang muda dan single, mau nunggu jandamu gimana?"
Rea buru-buru mengetuk-ngetuk meja. "Amit-amit tujuh turunan. Gue nggak mau jadi janda."
Abi terkekeh. "Aku bercanda."
Setelah selesai makan malam, mereka berniat kembali ke hotel. Angin laut yang berembus membuat tubuh Rea sedikit menggigil. Dia salah outfit sepertinya. Harusnya dia tidak mengenakan gaun off shoulder seperti ini. Sehingga dinginnya malam, langsung tepat mengenai kulit. Rea memeluk tubuhnya sendiri dan beberapa kali mengusap lengannya. Namun, tiba-tiba sebuah jas terselampir ke bahunya.
Rea menoleh ke belakang, Abi yang melakukannya. Lelaki itu membuka jas yang dia kenakan.
"Udara di sini terlalu dingin. Ayo, kita kembali ke hotel saja. Besok ada penerbangan pagi."
"Terima kasih."
Di dalam mobil Abi banyak bercerita tentang dirinya. Dia ternyata tiga bersaudara. Kedua saudaranya memilih tinggal di Kanada. Sementara dia lebih betah di Indonesia.
"Apa orang tua lu masih lengkap?" tanya Rea melirik sekilas pada Abi yang terlihat konsen menyetir.
"Ya, mereka masih ada semua. Tapi, mereka ada di Jerman."
"Jadi, lu di sini sendiri?"
Abi mengangguk tersenyum. "Makanya aku ingin mencari seorang istri. Bosen hidup sendiri."
Rea tertawa. Padahal Abi masih muda, seumuran dia biasanya masih banyak hal yang ingin dicapai.
"Kalau begitu, gue doakan segera dapat."
"Terima kasih, tapi aku ingin bisa mendapat wanita sepertimu, Rea."
Perut Rea mendadak geli. Entah maksud Abi apa berkata begitu, tapi itu membuat Rea tidak bisa menahan tawa. Apa dia sedang dimodusin seorang bocah? Dia tak mau ada Axel versi muda. Cukup, hidupnya tidak mau dipermainkan lagi oleh perasaan.
Mereka berdua sudah sampai ke hotel tempat mereka menginap. Abi berjalan bersisian dengan Rea seraya membicarakan masalah perusahaan. Sesekali tawa terdengar di sela obrolan mereka. Sampai-sampai Rea tidak sadar bahwa seseorang tengah memperhatikannya. Jarak orang itu semakin dekat seiring langkah Rea dan Abi yang semakin mendekati pintu kamar mereka.
Abi ternyata lebih sadar dulu ketimbang Rea. Dia kontan membenarkan sikapnya dan membiarkan Rea berjalan di depannya. Menyadari sikap Abi yang tiba-tiba berubah, membuat Rea spontan menoleh ke depan. Di sana, di depan pintu kamar hotelnya, Satria berdiri dengan mata yang menyorot tajam kepada mereka.
Rea tertegun. Kilat marah terlihat jelas di mata suaminya.
"Bu Rea, saya undur diri." Abi berpamitan dan segera mundur kembali ke kamar hotelnya.
Rea mendekati Satria. "Kamu kapan sampai, Bang?" Dia lantas memasukan card key untuk bisa membuka pintu kamarnya.
"Kamu habis dari mana?" tanya Satria dingin. Rea sadar Satria sedang menahan amarahnya. Dia beringsut masuk disusul Satria.
"Aku habis makan malam, Bang. Perutku laper."
"Oh ya? Makan malam dengan penampilan seperti ini?" Satria menunjuk penampilan Rea.
"Memang penampilan aku gimana?"
"Kamu makan mah makan aja, nggak perlu dandan dan berpakaian seperti ini. Mau kamu tunjukan sama siapa?"
Astaga, Rea memegang kepalanya yang mendadak berdenyut. Ada apa dengan Satria?
"Terus ini apa?" Satria melepas paksa jas yang terselampir di bahu Rea, lalu melemparnya ke sembarang tempat membuat Rea sedikit terperanjat.
"Bang, kamu apa-apaan, sih? Jangan kayak anak kecil, deh. Aku tuh cuma makan malam. Jangan mikir yang enggak-enggak." Rea menggeleng tak percaya. Sebegitunya Satria menaruh curiga pada Abi.
"Anak kecil? Aku kayak gini karena mau melindungi milikku. Apa itu salah?"
"Astaga, Bang. Itu cuma Abi loh, Abi sekretarisku, manajemen yang memilihnya. Dan lagi pula, kenapa Abi harus dicemburui? Kalau memang dia seperti yang kamu tuduhkan, sudah barang pasti aku pilih kamu. Aku tahu diri. Apa yang membuatmu ragu? Lima belas tahun lebih loh, Bang. Kamu masih saja kayak gini." Rea nggak habis mengerti. Dia beranjak dari posisinya, mencari pakaian ganti yang lebih santai. Rasanya percuma menghadapi Satria yang lagi cemburu buta. Semua bakal terasa salah.
"Akan aku buktikan sama kamu Rea, bahwa Abi Permana adalah orang yang patut kamu jauhi."
"Terserah kamulah, Bang. Aku capek." Rea beringsut menuju kamar mandi. Sementara Satria menggeram jengkel karena Rea terkesan tidak peduli dengan kekhawatirannya.
Di tengah rasa kesalnya, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ruben masuk.
"Pak Satria, ada kabar menarik," ucap Ruben di ujung sana.
"Ya?"
"Abi Permana adalah owner Dutamas Group."
"Dutamas grup? Kenapa aku baru mendengar nama itu?" tanya Satria.
"Ya, Pak. Sebelum jatuh ke tangan Abi Permana, Dutamas Grup bernama Jaya Putra corp. Namun, setahun belakangan nama itu diubah oleh sang owner."
Satria mengangguk. Dia cukup tahu Jaya Putra corp. Pemilik usaha di bidang perbankan, pariwisata, dan properti, kalau tidak salah. Satria tidak pernah bekerja sama dengan mereka. Lalu tujuannya apa lelaki itu menyusup di perusahaannya?
"Lalu apa tujuan Abi Permana masuk ke Wijaya?"
"Itu masih saya cari tahu, Pak."
"Aku ingin dapat kabar secepatnya, Ruben."
"Baik, Pak."
Satria menurunkan ponsel setelah panggilan berakhir. Sudah ia duga, bahwa ada yang tidak beres dengan sekretaris Rea itu.
Matanya melirik ke kamar mandi. Rea ada di dalam sana. Satria menyeret langkahnya, dan membuka pintu kamar mandi, lalu menyelinap masuk tanpa Rea sadari.
Matanya melihat Rea yang sedang berendam air yang penuh busa. Mata wanita itu terpejam, rambutnya dia gulung ke atas. Rea tampak santai menjadikan sebuah bantal kecil sebagai sandaran kepalanya. Kedua bahunya yang seputih susu terpampang dengan indah.
Satria dalam diam menanggalkan semua pakaian yang ia kenakan. Satu per satu dimulai dari kemeja, hingga terakhir pantalon hitam yang membungkus kakinya. Demi apa dia terbang dari Malaysia dan langsung ke Makassar? Dia tidak bisa berlama-lama jauh dari istrinya. Cukup satu malam dia tidur tanpa harum tubuh istrinya. Malam ini, Rea harus tidur di pelukannya seperti malam-malam biasanya.
_____________________
Yuk support cerita ini dengan menambahkannya ke dalam koleksi,
Jangan lupa tebar PS ya Gaes dan ramaikan!
yuhuuuu.