Bertemu dengan teman lama kadang menyenangkan, tapi kadang menyebalkan. Dan bertemu Daniel yang sejatinya teman masa OSPEK-nya dulu, adalah pertemuan yang lumayan menyenangkan. Anggap saja Rea sekarang sedang reuni masa-masa menjadi maba dulu. Sama seperti dirinya, Daniel juga tidak melanjutkan kuliah sampai akhir di sana. Dia lebih dulu pindah dibandingkan Rea. Lelaki itu bilang, dia pindah ke Surabaya, kembali kepada keluarga besarnya di sana.
"Jadi, Ko, kamu lagi ada bisnis apa di sini?" tanya Rea.
Daniel tertawa, dan matanya kontan membentuk garis lurus saat dia tertawa. "Saya cuma lagi ninjau pabrik aja. Ada dua pabrik garmen milik keluarga di sini."
"Wah! Garmen itu berarti produksi pakaian dong."
Daniel mengangguk. "Nah, pabrik kami di sini memproduksi pakaian yang berbahan dasar sutra dan wol. Yang nantinya diekspor ke Asia Timur dan Eropa."
Rea semakin berbinar mendengar penuturan Daniel. Dia berpikir, apakah produknya juga bisa go internasional seperti Daniel. Mungkin Abi bisa ikut memikirkan itu.
"Ko Daniel keren banget."
"Itu biasa saja, Re. Oh ya, kamu sendiri ada bisnis apa di sini?" tanya Daniel seraya mengaduk isi gelasnya.
"Aku lagi meninjau pembangunan pabrik di Malino."
"Pabrik apa kalau boleh tahu."
"Pabrik Surya Gemilang, Ko. Produksi minumah teh kemasan dan ADK."
Sejenak Daniel mengerutkan alisnya. "Surya Gemilang anak perusahaan Wijaya Grup?"
"Benar, Ko."
"Jadi, kamu kerja di sana?"
"Anggap saja begitu." Rea menarik sudut bibirnya, mengulas senyum.
Untuk sesaat Daniel menatapnya. Memperhatikan dengan seksama wajah Rea, yang sudah menarik perhatiannya beberapa saat lalu. Tadinya, dia pikir wanita yang sedang duduk sendiri itu bukan Rea, dia merasa beruntung karena ternyata mengenal wanita cantik itu. Tidak perlu ada basa basi lagi untuk memulai sebuah perkenalan.
"Kita udah lama nggak pernah ketemu lagi. Sekalinya ketemu kamu luar biasa banget, Re."
"Luar biasa apanya?" Rea mengekeh.
"Luar biasa cantiknya dong. Mungkin ini keberuntungan saya. Sepertinya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda kalau jodoh saya akan segera tiba."
Rea yang tidak mengerti maksud ucapan Daniel hanya mengaminkan ucapan lelaki itu.
"Jadi, Rea, apa kamu sekarang masih single kayak saya, atau kamu udah—"
"Dia udah punya suami. Saya suaminya." Ucapan lain tiba-tiba menyela. Kontan itu membuat Daniel dan Rea menoleh.
Satria sudah berada di dekat mereka. Lelaki itu mengambil posisi di sisi istrinya. Sementara itu, Daniel di tempatnya tampak tertegun.
"Bang, kamu udah selesai zoom meetingnya?" tanya Rea.
Satria menoleh dan mengulas senyum. Tangannya terulur menepuk puncak kepala Rea. "Udah, Sayang. Jadi, kamu mau makan apa siang ini?"
"Aku mau yang nggak terlalu berat."
"Oke. Nanti aku ambilkan." Satria beralih menatap lelaki yang tampak canggung di hadapannya. "Jadi, Anda siapa?"
"Saya Daniel, dulu teman kuliah Rea," jawab Daniel mengulas sedikit senyum.
"Oh, teman kuliah di Yogya atau Jakarta?"
"Yogya."
Itu artinya teman sebelum dirinya mengenal Rea. "Saya Satria Wijaya, suami Rea."
Untuk kedua kalinya Daniel tertegun. Tentu saja, dia tidak asing dengan nama itu. "Apa Anda Satria pemilik Wijaya Group?"
"Enggak juga sih, saya cuma pemilik saham terbesar di sana," jawab Satria kalem.
"Wah, senang berkenalan dengan Anda. Saya beneran nggak nyangka, kalau suami kamu adalah Pak Satria Wijaya, Re."
Untuk beberapa alasan, Satria merasa bangga, dirinya dikenali sebagai seorang yang hebat. Apalagi oleh lelaki yang rentan menikung dirinya soal urusan asmara. Seenggaknya lelaki di hadapannya ini, dia yakin belum ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Okelah, Satria akui Daniel-Daniel ini memiliki wajah yang lumayan. Namun, tetap saja bagi Satria, lelaki itu bukan tandingannya, bukan levelnya, dan tidak sebanding dengannya. Eham! Bolehlah ya, narsis sedikit. Bukannya sombong nih ya.
"Sama, aku juga nggak nyangka bakal memiliki suami seposesif dia." .
Jawaban Rea kontan membuat Satria menoleh padanya. Namun, Rea pura-pura tak melihat saja kalau saat ini mata Satria sedang menatapnya tak percaya.
"Baiklah, Rea. Kalau gitu saya permisi dulu. Mungkin lain kali kita bisa bertemu lagi."
"Nggak akan ada lain kali, Pak Daniel. Ini pertama dan terakhir," tandas Satria. Rea hanya bisa menghela napas dengan kelakuan suaminya.
Daniel agak sedikit melongo, tapi dia segera mengubah ekspresi wajahnya kembali. "Sepertinya suami kamu beneran posesif, Re." Daniel berdiri. Kemudian pamit, dan menjauh meninggalkan meja itu.
"Jadi, Sayang. Kalian sudah sempat saling tukar nomor ponsel belum?" tanya Satria kemudian begitu Daniel tak ada.
Rea mendengus. Sikap posesif Satria sepertinya memang sudah tak tertolong lagi. "Enggak, belum."
Satria memutar badan lurus. "Bagus. Aku ambilkan sesuatu buat makan siang, ya." Lelaki itu kemudian beranjak menuju buffet.
Mengabaikan tindakan Satria yang terkesan berlebihan, Rea lebih memilih menghubungi Abi kembali. Harusnya lelaki itu cepat menghubunginya begitu sampai Jakarta. Bikin kesal saja.
Panggilannya memang tersambung. Namun, lagi-lagi Abi di sana tidak mengangkatnya. Rea mengulang sambungan lagi. Sampai Satria kembali ke meja, Abi belum juga mengangkat panggilannya.
"Ada apa, Sayang? Mukamu masam gitu?" tanya Satria meletakkan nampan berisi dua piring makanan dan dua gelas minuman.
"Abi belum juga mengangkat panggilanku, Bang."
Satria beranjak duduk. "Sebegitu pentingnya sampe muka kamu masam begitu?"
"Ya, emang penting. Ada sesuatu yang harus aku katakan soal kerjaan." Rea mencoba mengirim pesan pada sekretarisnya itu.
"Nanti juga dia hubungi kamu. Lebih baik kita makan dulu."
Menuruti apa kata Satria, Rea meletakkan ponsel dan menarik piringnya mendekat. Keningnya berkerut melihat menu yang Satria bawakan. Matanya lalu bergeser ke piring suaminya. Serta-merta dia menatap ngeri apa yang dimakan Satria. Salad ayam. Masih agak mendingan, sih, daripada kebiasaan lelaki itu yang hanya memakai sayuran hijau saja. Tapi yang jadi masalahnya, kenapa makanan Rea juga sama dengan yang Satria makan?
"Bang, kenapa kamu ambil ini? Aku nggak doyan makanan beginian," Rea protes dengan bibir berkerut.
"Kamu katanya mau menu makan yang nggak terlalu berat. Selain enak, salad ayam ini sehat dan nggak berat, Sayang."
Rea berdecak, dari dulu sampai sekarang dia tidak bisa menyesuaikannya makanan Satria yang baginya horor itu. Meskipun Satria berusaha keras menerapkan pola makan yang sehat pada dirinya, tetap saja Rea sering mengabaikannya.
"Buat kamu aja." Rea mendorong piringnya ke tengah.
"Loh, kok gitu, sih? Ya udah, aku ambil makanan lainnya."
"Nggak perlu. Udah nggak lapar juga." Rea kembali mengambil ponsel lalu menggulir layarnya dan menghubungi Abi lagi.
"Oke, kamu mau makan apa?" tanya Satria lagi.
"Aku bilang kan nggak perlu."
Panggilan Rea terhubung, dan pada dering kedua, Abi di sana mengangkatnya.
"Abi, lo itu ke mana saja? Kenapa nggak telepon balik?" tanya Rea langsung membuat Satria di depannya melirik. Lelaki itu tampak tak suka melihat istrinya berinteraksi dengan sekretaris itu.
"Maaf, Bu. Saya takut mengganggu Bu Rea dan Pak Satria," sahut Abi di seberang sana.
Spontan itu membuat Rea berdecak. "Udahlah, gue lagi nggak mau bahas itu. Lo udah kirim emailnya ke gue kan?"
"Udah, Bu."
"Oke. Mungkin gue baru bisa masuk kerja besok. Bisa kamu tangani dulu keadaan di pabrik, Bi? Pastikan semua berjalan dengan baik."
"Ibu tenang saja. Jangankan menjaga pabrik, menjaga ibu pun saya pasti bisa."
Rea terkekeh. "Lo bisa aja. Oke, udah dulu, ya. Gue lagi makan siang."
"Maaf, ya, Bu, mengganggu."
"No problem, Bi."
Rea menutup panggilannya, menggulir ponsel untuk melihat email yang masuk. Dia tidak sadar jika dari tadi Satria memasang muka kesal mendengar percakapannya dengan Abi di telepon.
"Girang banget kayaknya," sindir Satria membuat Rea mengangkat wajah.
"Biasa aja, sih." Rea kembali memekuri layar ponsel.
"Aku nggak suka kamu menyebut sekretarismu itu Bi. Apa itu Bi? Babi?"
Selain posesif dan sentimen, Satria juga suka asal bicara.
"Namanya kan Abi. Jadi wajar kalau aku memenggal namanya dengan Bi saja. Apanya yang salah?"
"Lain kali panggil nama lengkapnya saja. Nggak perlu sok akrab sama dia."
Rea menggeleng tak percaya. Namun, dia tidak berniat menimpali lagi. Dia lebih memilih untuk pergi ke buffet mengambil makanan baru.
__________***___________
Aku up di sini seminggu sekali aja sebelum collection bertambah ya. Hehe.