Chereads / Emergency Marriage 2 : On My Heart / Chapter 7 - The Real Hot Daddy (18+)

Chapter 7 - The Real Hot Daddy (18+)

Warning! Bocil minggir dulu

___________***___________

Rea yang memang belum siap akan serangan dadakan itu menjadi gelagapan sendiri. Kedua tangannya memegang tepian bath tube erat, menyangga tubuhnya yang hampir saja tenggelam. Sementara Satria di atasnya terus saja mencecah bibir istrinya tanpa ampun.

Ini di luar dugaan. Bahkan Rea tidak sadar kapan Satria masuk kamar mandi. Lelaki ini benar-benar membikin Rea kena serangan jantung dadakan. Rea mencoba mendorong tubuh liat suaminya dengan satu tangan. Meskipun itu usaha yang sia-sia. Dugong tampan ini semakin matang usianya semakin gila jika sudah menyangkut urusan bercinta.

Satria baru melepas ciumannya ketika Rea nyaris kehilangan pasokan udaranya. Dia menyeringai puas, saat mendapati napas Rea yang tersengal.

"Kamu mau bikin aku mati, ya?!" pekik Rea mendorong tubuh Satria dengan sekuat tenaga. Hingga lelaki itu menjauh dan masuk ke dalam air. Satria malah terkekeh melihat reaksi Rea.

Wanita itu bergerak keluar dari bath tube. Namun, belum sempat itu terjadi, Satria sudah menariknya kembali. Sehingga tubuh Rea jatuh menindihnya. Tidak menyiakan kesempatan itu, tangan dan bibir Satria mulai beraksi kembali menunaikan tugasnya.

Awalnya Rea memberontak, tapi lama-lama dia pasrah menerima perlakuan suaminya, dan mulai membalas apa yang Satria lakukan. Rea tidak memungkiri kesempurnaan Satria, di usianya yang semakin matang, lelaki itu semakin membuatnya gila. Tubuh atletisnya yang basah mengukung Rea di bawahnya. Hampir-hampir Rea tidak pernah bisa menolak jika Satria sudah memainkan perannya.

"Bang, aku–"

"Lepaskan, Sayang. Nggak perlu ditahan." Satria menyambar kembali bibir istrinya yang ranum. Rea selalu membuat kewarasannya hilang. Beberapa detik kemudian, dia bisa merasakan tubuh Rea menegang, bahkan suara pekikan tertahan wanita itu ikut mengiringi. Padahal Satria belum melakukan hal apa pun, tapi Rea sudah mendapat pelepasan pertamanya. Tangan besarnya dengan cepat menangkap pinggang Rea ketika tubuh wanita itu hampir luruh. Dengan sekali sentak, Satria langsung mengangkat tubuh Rea, dan membawanya keluar dari bath tube. Dia bergerak keluar kamar mandi, dan merebahkan istrinya di atas tempat tidur big size yang terletak di tengah kamar.

Rea selalu suka cara lelaki itu memuja tubuhnya. Memabukkan. Dari dulu, selama enam belas tahun pernikahan, Satria tidak pernah membuatnya merasa kecewa dalam urusan ranjang. Performa dan primanya selalu membuatnya kewalahan. Seperti saat ini, dia seolah diajaknya terbang tinggi melintasi awan.

Satria itu the real hot daddy now.

Tubuh kekar lelaki itu merebah di sisi Rea, dengan napas yang memburu. Setelah berhasil menetralisir napasnya, tangannya terulur merapikan rambut Rea yang berantakan, dan beberapa kali mengecupnya sayang.

"Kamu tetap saja hebat," bisiknya.

Mata Rea yang terpejam sontak terbuka, tangannya menarik ujung selimut, menutup tubuhnya yang masih polos. Jujur, seharian ini dia sangat lelah. Rasa kantuknya saat ini sudah tidak tertahankan lagi. Rea menyurukkan kepalanya ke dalam pelukan Satria, lantas matanya memejam kembali.

***

Satria keluar dari walk in closet seraya mengancing lengan kemejanya. Seperti biasa, dia akan selalu bangun lebih awal daripada istrinya yang gemar bangun kesiangan. Bahkan saat ini Rea masih mendengkur teratur di atas kasurnya yang empuk. Selimut yang menutupi tubuhnya entah ke mana. Sehingga tubuh indahnya terpampang dengan jelas di depan mata Satria. Seandainya, Satria tidak harus berangkat pagi, mungkin dia akan memilih kembali bergumul dengan Rea di balik selimut.

Gila,csih. Tubuh Rea bagi Satria selalu menantang untuk dijamah. Wanita 37 tahun itu, bukan membuatnya bosan, malah semakin menjadi candu yang sulit Satria elakkan. Perlahan lelaki itu mendekat. Susah payah dia menelan ludah, saat aroma tubuh istrinya menguar. Sehingga tanpa sadar punggung tangannya menyusuri kulit Rea yang lembut. Sial, tubuh bagian bawahnya kembali mendesak.

"Sayang, bangun. Ini sudah pagi," bisik Satria serak tepat di telinga Rea. Dan sialnya, dia tidak tahan untuk tidak mengigit telinga Rea.

Bukannya bangun, Rea malah menggeliat, dan melentangkan tubuhnya hingga membuat kedua aset di dadanya seolah sedang menantang Satria. Dan itu terang saja membuat kepala Satria mendadak berdenyut. Satria buru-buru menarik selimut untuk menutupi pemandangan indah itu. Pagi-pagi imannya sudah tergoda. Dia beringsut menjauhkan badan. Tidak mau terpancing hasratnya sendiri.

Namun, bukannya tenang, dia malah gelisah di tempat. Mengusap wajah, dia mengambil ponsel dan menghubungi Ruben.

"Ya, Pak. Apa Anda sudah siap?" tanya Ruben di seberang.

"Begini, Ruben. Apa kamu bisa menunda meeting kita satu jam-an lagi?"

"Apa, Pak? Tapi–"

"Ini darurat." Satria tahu Ruben pasti akan kesal.

"Apa terjadi sesuatu?" tanya Ruben lagi.

Satria melirik Rea yang masih saja terlelap. "Tidak ada, hanya saja–kamu pasti tidak akan tahan jika dalam posisi sepertiku. Aku tutup teleponnya."

"Tapi, Pak–"

Satria memutuskan sambungan, dan melempar ponselnya begitu saja. Detik berikutnya dia sudah melepas kembali kemejanya dan menghampiri Rea, masuk ke dalam selimut bersama wanita itu.

"Hanya satu jam saja, nggak lama."

***

Ada Ruben di meja makan menemani anak-anak. Satria dan Rea muncul dengan wajah yang lebih segar pagi ini.

"Morning, Children," sapa Satria yang langsung dijawab secara bersusulan oleh anak-anaknya. Dia melirik Ruben yang tengah berdiri di belakang Nicko. Tampang assistennya itu sudah mirip kanebo kering. Pasalnya, dia lagi-lagi harus mencari alasan yang masuk akal untuk menunda rapat pagi dengan investor Tiongkok, yang sudah sejak kemarin datang ke Indonesia. Untung saja pihak mereka tidak mempersoalkan ini.

"Mom, besok ada pertemuan wali murid di sekolah," ujar Nicko memberitahu.

"Besok? Pukul berapa?" tanya Rea.

"Pukul sepuluh pagi."

Rea mengangguk, lantas menoleh pada Satria. "Kamu bisa datang 'kan ke sekolah Nicko?"

"Kenapa aku? Kamu saja yang berangkat," tolak Satria.

"Aku ada perjalanan ke Pasuruan dan Makassar, Bang."

"Tunda."

"Ya, nggak bisa gitu dong, Bang," protes Rea sebal.

"Apanya yang nggak bisa? Kamu bebas melakukan apa pun. Kamu pimpinan."

"Memang kamu sendiri ngapain?"

Satria melirik Ruben. "Jadwalku hari itu apa aja, Ruben?"

Ruben di posisinya langsung membuka tablet. Menggulir layarnya untuk melihat jadwal Satria besok pagi.

"Sudahlah, kalian nggak usah ribut. Aku akan menghubungi Uncle Axel," ujar Nicko kemudian.

"Axel? Buat apa kamu menghubungi dia?" Mendengar nama Axel disebut, Satria langsung mengerutkan kening, tak suka.

"Aku akan memintanya untuk datang ke sekolahku. Tidak perlu dipaksakan kalau Mom dan Dad tidak bisa," jawab Nicko.

"Itu nggak perlu, Son. Dad akan datang nanti."

Satria tidak suka Nicko masih berhubungan dengan Axel. Namun, dia juga tidak bisa melarang anak itu agar tidak menemui lelaki itu.

"Mom, minta maaf, Sayang," ucap Rea menatap Nicko.

"No problem, Mom." Nicko kembali fokus menyantap sarapannya.

"Aku selesai." Aariz menyelesaikan sarapannya. "Aarash, ayo kita berangkat, kita sudah telat," ajaknya pada saudara kembarnya.

"Oke." Aarash juga menyudahi sarapannya. Mereka berdua lantas pamit.

"Aku juga berangkat." Nicko menyusul.

"Kak, aku ikut mobil kamu, ya," pinta Serena, dia bergegas menyandang tas sekolah.

"Boleh, Bisma mau ikut juga?" tanya Nicko pada adik nomor empatnya.

"Aku akan berangkat sama Ceera bareng Mom and Dad," jawab Bisma. Anak itu kemudian melanjutkan sarapannya.

"Okay." Nicko dan Serena pun pamit pada Satria dan Rea.

"Take care, children." Satu per satu Rea mencium pipi mereka. Dia memandang haru kepergian mereka berdua. Anak-anaknya tumbuh sangat cepat. Dia tidak pernah menyangka bisa sampai pada titik ini.

"Oke, are you ready?" tanya Satria pada Bisma dan Ceera.

"Yes, Dad!" seru Bisma dan Ceera kompak.

"Sayang, kita berangkat sekarang?" Satria menoleh pada Rea. Sementara Bisma dan Ceera sudah berlarian keluar mansion bersama pengasuhnya.

"Oke." Rea meletakkan gelas dan berdiri.

Satria langsung menarik pinggang Rea mendekat begitu dirinya mulai beranjak. Kepalanya mendekat dan berbisik pada Rea. "Please, jangan telat pulang lagi."

"Kita lihat nanti, oke?"

"Enggak terima alasan."

"Kenapa sih kamu menyuruhku pulang cepat terus?" Rea berdecak sebal.

"Karena aku selalu merindukanmu." Satria mengerling lantas membenturkan pelan kepala mereka.

"Gombal banget, sih. Udah tua juga."

"Apa kamu bilang?" Satria melotot. Rea buru-buru melepas pelukan Satria dan berlari mendahului lelaki itu seraya tertawa geli.

"Udah tua, Bang. Inget umur. Malu sama anak-anak yang udah pada gede."

Satria menggeram. "Bilang sekali lagi."

"Bang Sat, udah tua." Rea tergelak seraya membalikkan badan. Kemudian dia berlari kembali.

"Jangan lari kamu, Rea!" Satria mengejar istrinya yang masih saja terus menertawakannya.

Ruben di belakang hanya bisa menggeleng melihat kelakuan atasannya itu. Sudah tua tapi masih seperti anak kecil.

Satria berhasil menangkap Rea. Dia menarik perut Rea dari belakang dan mengangkatnya tinggi-tinggi, membuat wanita itu memekik.

"Ayo, bilang sekali lagi!"

"Bang Sat, udah tua!" seru Rea tidak peduli dengan tubuhnya yang Satria putar-putar.

"What are you doing, Mom?!" teriak Bisma dari dalam mobil. Kepalanya menyembul.

Mereka lantas langsung berhenti bercanda. Satria menurunkan tubuh Rea segera.

"C'mon! Kita bisa terlambat!" teriak Bisma lagi.

"Okay, Son!" balas Satria. Tangannya belum lepas dari pinggang istrinya. Setelah membuat Bisma tenang, Satria merapatkan jarak dan diciumnya pipi Rea lembut. "Tua-tua begini, tapi masih hot 'kan?"

Sontak tawa Rea pecah kembali. Dasar dugong tampan.