"Itu tidak penting! Sekarang kau mau beli apa ke sini?" Tanya Gavin pada adiknya, Yervant karena sedari tadi adiknya itu bertanya pertanyaan yang tidak seharusnya mereka bahas.
"Ah! Tunggu, biar aku ingat-ingat dulu." Kata Yervant karena serius dia lupa tadi tujuannya ke mall itu mau beli apa.
Melihat tingkah laku adiknya yang seperti itu membuat Gavin jengah seakan adiknya itu belum mematangkan niatnya dalam melakukan sesuatu termasuk pada saat ini, sungguh kebiasaan yang buruk.
Ingin rasanya ia membuang adiknya itu ke rawa-rawa.
"Tidak heran lagi kalau itu kau, aku memakluminya karena umurmu sudah tua." Kata Gavin menganggukkan kepalanya mengerti dengan sifat adiknya yang satu itu padahal dirinya lah yang lebih tua dari Yervant.
Secara Gavin itu kakaknya, sementara Yervant itu adiknya. Dasar tidak ingat umur.
"Yak! Kau itu kakaknya bukan aku, jadi kau yang lebih tua!"
"Kalau kau lebih muda setidaknya kau tidak melupakan hal kecil seperti--" Perkataan Gavin tiba-tiba menggantung saat ia melihat sesuatu yang familiar dalam beberapa jam ini.
Ia menyipitkan matanya untuk memastikan apa yang ia lihat saat ini salah, hingga pada detik berikutnya ia membulatkan matanya dengan sempurna tidak percaya atas apa yang ia lihat di depan sana.
PUK!
PUK!
PUK!
Gavin memukul bahu adiknya saking kagetnya dan tidak mampu berkata apapun.
"Aw! Aw! Sakit, kak!" Kata Yervant kesakitan saat kakaknya itu memukul bahunya dengan tenaga yang tidak bisa dikatakan kecil.
Gavin terus memukul bahu adiknya itu sambil menuju ke arah depan tepat dimana sesuatu yang membuatnya berubah menjadi seperti itu.
"Yak! Ada apa sih? Sakit tahu! Berhenti dulu!" Kesal Yervant masih kesakitan berusaha menghindar dari pukulan sang kakak.
Sungguh pukulannya itu tidak main-main."
"Astaga! Yak! Gray!" Panggil Gavin begitu kuat berharap orang yang ia panggil mendengar suaranya yang dimana panggilan itu tentu membuat semua mata yang ada di sana tertuju padanya.
Yervant sendiri masih bingung seraya menahan rasa sakit akibat pukulan sang kakak. Ia membalikkan tubuhnya bermaksud untuk melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi karena sejak awal Yervant memang menghadap sang kakak yang tentu saja ia tidak bisa melihat apa yang di lihat sang kakak secara ia sedang membelakangi apa yang membuat Gavin menjadi seperti itu.
Sampai pada akhirnya ia juga ikut dibuat terkejut dan sukses membulatkan matanya sama seperti yang dilakukan Gavin tadi saat melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Di sana. Tepat jauh di depannya, Gray sudah berada di atas salah satu eskalator dimana hal tersebut membuatnya panik mengingat Gray tidak pernah keluar rumah dan bahkan tidak mengenal mall. Bagaimana bisa ia mengenal eskalator dengan situasi dia yang seperti itu? Satu hal yang membuatnya penasaran dan bertanya-tanya, bagaimana Gray bisa berada di sana?
Sungguh luar biasa manusia yang satu itu. Padahal seingat Yervant, Gray berada tepat di samping kanannya dan di samping kiri kakaknya.
"Yak! Turun dari dana!" Teriak Yervant berlari menuju ke arah Gray yang sebentar lagi sudah berada di lantai berikutnya dimana secara tidak langsung ia sedang menyusul sang kakak.
Tentu saja aksi kakak beradik itu mengundang banyak mata untuk melihat ke arah mereka.
Beberapa menit yang lalu...
"Woah..." Gray yang masih mengagumi tempat yang bernama mall itu tidak henti-hentinya mengucapkan kata tersebut sampai pada saat dimana matanya menangkap sesuatu yang membuatnya tertarik dan semakin mengagumi tempat ini.
"Apa itu?" Gumamnya melangkahkan kakinya ke depan sana melupakan fakta bahwa ia sedang bersama kakak beradik yang sedang berdebat masalah apa yang ingin mereka beli, lebih tepatnya Yervant, adiknya Gavin.
Kaki kecilnya itu terus melangkah ke depan sana sampai pada akhirnya ia sudah berada tepat di depan sesuatu yang membuatnya semakin terkagum.
Tangga yang bergerak membawa orang-orang naik ke atas sana sesuai dengan kemana arah tangga itu bergerak seakan sudah di setel dari sananya. Ya tentu saja sudah di setel kalau tidak, pasti tangganya sudah bergerak tidak menentu arah.
Kalau kita bilang itu eskalator yang biasanya ada di mall atau dimana pun itu yang memiliki tingkatan yang cukup banyak. Cukup aja, kalau banyak-banyak itu sudah di luar logika. Tidak mungkinkan ada manusia yang membangun gedung sampai melewati langit atau menembusnya? Kalau di dunia nyata itu mungkin saja mengingat keserakahan yang ada pada diri setiap manusia mengenai dunia bisnis.
Lupakan.
Gray yang masih diam berdiri di depan eskalator itu mulai berpikir bagaimana mereka bisa menaiki benda aneh ini, pikirnya.
Gray pun melihat setiap orang yang hendak naik ke eskalator sampai beberapa orang yang ia amati hingga pada akhirnya ia paham bagaimana caranya menaiki eskalator itu.
Saking penasarannya dengan benda tersebut, ia pun mencoba menaiki eskalator itu yang dimana ia menggunakan cara yang secara tidak langsung ilmunya itu baru saja ia dapatkan dari beberapa orang.
Sampai pada dimana ia sudah berada di tengah eskalator, ia berpikir lagi bagaimana caranya turun dari tangga bergerak itu. Gray pun mulai menggunakan cara yang tadi, memperhatikan bagaimana orang-orang itu turun dari eskalator tersebut.
Ah, sekarang ia paham caranya. Ternyata caranya sama saja dengan cara ia menaiki tangga bergerak itu. Sampai pada akhirnya ia sudah berada di puncak dan ia melangkahkan kakinya lebar-lebar untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan.
Akhirnya ia mendarat dengan sempurna.
Gray sendiri yang masih terkagum langsung melangkahkan kakinya dengan mata yang masih berbinar. Ia berjalan, melangkahkan kakinya tidak tentu arah sampai dimana ia melihat sebuah restauran yang menjual es krim. Apalagi itu es krim rasa stroberi, sungguh ia tidak bisa mengontrol dirinya untuk pergi ke sana.
Ia melangkahkan kakinya Ke sana sampai pada akhirnya ia sudah berada tepat di depan penjualan es krim tersebut.
"Stroberinya satu!" Katanya riang membuat orang yang berada di sana memekik gemas melihat tingkah lakunya padahal ia sendiri tidak bisa dikatakan anak kecil lagi.
Pelayan yang bekerja di sana langsung membuatkan pesanan Gray karena tidak adanya antrean di sana.
Gray sedari tadi melihat bagaimana cara pelayan tersebut membuat pesanannya. Sungguh hebat, pikirnya.
"Ini es krim anda." Kata si pelayan menyerahkan es krim pesanan Gray.
"Terimakasih!" Jawabnya seraya mengeluarkan sesuatu yang berada di kantong celananya.
Sebuah kertas yang tentu saja bernilai. Itu uang. Walaupun Gray tidak tahu dunia luar, ia sangat paham kalau dunia luar itu harus menggunakan kertas yang bernilai sebagai transaksi.
"Apa ini cukup?" Tanya Gray menyerahkan uang sebesar seratus ribu.
Kalau mengenai cara transaksi, jangan di tanya. Gray sangat tidak mengerti mengenai transaksi, jumlah nominal yang harus ia keluarkan untuk mendapatkan sesuatu.