Chereads / Billionaire Looking for Wife / Chapter 9 - Rumah yang terlalu dingin

Chapter 9 - Rumah yang terlalu dingin

Ve keluar dari mobil setelah Andika turun dan membukakan pintu untuknya. Mobil berhenti di depan gerbang. Karena waktu sudah malam, ia tidak mengantar gadis itu ke dalam karena takut mengganggu anak-anak panti yang mungkin sudah tertidur.

"Tidak masuk dulu?" tanya Ve.

"Sudah malam. Sampaikan salam untuk ibu dan kak Astari. Jangan lupa! Besok harus pergi bekerja," kata Andika sambil mengedipkan sebelah matanya kepada gadis itu.

"Siap, Pak!"

"Tch! Sekalian buatkan sarapan untukku," ucapnya sambil menyalakan mesin. Mobil melaju pergi.

Dari kaca jendela kamarnya, Astari melihat mereka dengan hati terluka. Seandainya ia tidak mengalami kecelakaan, gadis yang berada di sampingnya, mungkin adalah Astari. Seharusnya dia yang menjadi sekretaris Andika, bukan Ve. 

'Dia tidak seharusnya berada di sana. Akulah yang seharusnya di sana.'

Astari, gadis yang selama ini sangat menyayangi Ve, kini dibutakan oleh kecemburuan. Rasa iri merasuki pikiran gadis itu, sehingga kasih sayang selama belasan tahun itu bagai buih yang hilang tertiup angin. Ia merasa semua ini tidak adil baginya.

'Aku lebih cantik, lebih tinggi, lebih berpendidikan daripada Ve. Tapi, kenapa nasibku jadi gadis yang cacat seperti ini? Kenapa?! Aku belajar dengan sangat giat agar aku bisa mewujudkan impianku, menjadi wanita karir yang sukses. Tapi, apa …. Aku hanya berakhir di atas kursi roda dengan kaki yang cacat.'

Astari menangis terisak. Ia mengingat kembali kejadian naas itu. Dalam hitungan detik setelah turun dari bus, sebuah truk yang mengalami rem blong, menghantam tubuhnya. Tidak hanya itu, kakinya juga terlindas ban mobil truk besar itu. Karena tulang kakinya remuk dan hancur, ia terpaksa kehilangan kedua kakinya sampai sebatas lutut.

Awal kehancuran hidup Astari dimulai sejak insiden kecelakaan itu. Kini, gadis itu tidak bisa lagi mencari pekerjaan, dan selamanya akan duduk di kursi roda. Jodoh? Heh, bahkan gadis itu tidak lagi memimpikannya, tapi perasaannya bergolak saat melihat orang yang menggantikannya tersenyum bahagia bersama pria yang  dicintai diam-diam selama bertahun-tahun.   

***

Baru jam enam pagi, tapi Ve sudah sibuk berkutat dengan peralatan masak di dapur. Gadis itu memang sudah terbiasa membantu Nurlena memasak untuk anak-anak panti, tapi kali ini ia bangun lebih pagi dari biasanya. Meskipun terkesan dipaksa, tapi Ve melakukannya dengan tulus.

"Ekhem! Tumben sudah bangun, Ve?"

"Iya, Ma. Ve sedang membuat sarapan untuk anak-anak," jawab Ve dengan gugup. Ia tidak pernah memasak untuk seorang laki-laki sebelumnya, selain anak-anak panti tentunya. 

"Oh. Itu, buat siapa?" tanya Nurlena sengaja menggoda gadis itu. Tentu ia tahu, untuk siapa bekal makanan itu disiapkan.

"I … ini buat Ve, kok," jawabnya dengan tergagap. Ia segera mengambil kotak bekal makanan itu dan berlari ke kamar.

'Ya Tuhan. Apa yang harus kulakukan? Ve sangat bahagia dengan Andika, tapi anak kandungku sedang menderita. Mereka semua sama-sama anak yang berarti bagiku. Aku menginginkan mereka semua mendapatkan kebahagiaan.'

Astari keluar dari kamar dengan mata sembab. Nurlena tentu khawatir melihatnya. Namun, gadis yang biasanya sopan itu justru bersikap dingin terhadap ibunya. Ia melihat mereka berbicara tadi, itu membuat Astari berpikir ibu kandungnya itu lebih menyayangi Ve.

"Kamu mau sarapan, Sayang? Biar mam siapkan," ucap Nurlena.

"Tidak perlu! Urus saja anak kesayangan Mama!"

Astari mendorong roda sendiri, tidak ingin didorong oleh ibunya. Ia kembali ke kamar dan mengunci pintu. Sementara di dapur, Nurlena masih membatu setelah mendengar kata-kata kasar yang keluar dari bibir putri kandungnya.

"Astari …." Mulut wanita paruh baya itu menganga. Kemarin, gadis itu masih baik-baik saja. Dalam semalam, dia berubah drastis. Bagaimana ia tidak terkejut?

Hal itu dilihat juga oleh Ve yang keluar dari kamar dan hendak pergi bekerja. Ia menghampiri ibunya yang menangis tertahan. Tidak tahu, mengapa kakaknya menganggap Ve menjadi anak kesayangan. Setahunya, Nurlena selalu membagi adil kasih sayangnya. Tidak hanya untuk Ve dan Astari, tapi anak-anak panti lainnya. Bagi Nurlena, mereka semua adalah anak-anaknya.

"Ke … kenapa kakak tiba-tiba seperti itu, Ma?" tanya Ve dengan kedua alis bertaut.

"Mama tidak tahu. (Sebaiknya kamu jangan tahu)." Nurlena mengucap dalam hati.

"Coba Ve tanya kakak," ucap Gadis itu.

"Jangan, Ve! Biarkan kakakmu tenang dulu. Mungkin, dia sedang butuh sendiri," ujar Nurlena mencegah gadis itu menemui Astari. Jika mereka bertemu, keadaannya juga tidak akan lebih baik. Apalagi alasan Astari bersikap seperti itu adalah karena Ve.

"Ya sudah. Ve akan tanyakan nanti sepulang bekerja saja. Mama sabar, ya. Jangan menangis lagi. Ve sedih lihat Mama seperti ini," ucapnya sambil menyeka air mata Nurlena dengan kertas tisu yang diambil dari dalam tasnya.

Nurlena hanya mengangguk. Ia mengantar Ve ke teras, lalu melambaikan tangan. Gadis itu masih memiliki senyum tulus dan polos yang sama seperti saat gadis itu masih kecil.

Tidak terasa, sudah belasan tahun berlalu. Gadis itu sudah berusia dua puluh tiga tahun sekarang. Dulu, ia melambai seperti itu saat mengantar Ve yang hendak berangkat sekolah. Kini, ia mengantar gadis itu pergi bekerja.

"Hah," desah Nurlena dengan berat. Rasa sesak di dadanya, membuat ia menarik napas panjang berulang kali, mengembuskan pelan. Berharap hal itu bisa meringankan beban yang seakan menimpa dadanya, tapi hal itu tidak berpengaruh apa-apa.

***

Tok! Tok! Tok!

"Masuk!"

"Maaf, Tuan. Hari ini mau sarapan apa?" tanya Odah. Ia adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Andika. Usianya empat puluh lima tahun dengan status janda ditinggal mati suaminya. Wanita itu sudah cukup lama bekerja di rumah Andika, juga satu-satunya asisten rumah tangga yang tinggal di rumah itu.

"Tidak perlu menyiapkan sarapan, Bi. Masak untuk Bibi saja sendiri. Saya sarapan di kantor hari ini," jawab Andika sambil merapikan ikatan dasi di lehernya.

Odah mengambil sepatu dan menaruhnya di dekat tempat tidur. Ia juga mengambilkan tas kantor milik sang majikan. Jika saja Andika sudah menikah, yang melakukan pekerjaan itu pastilah istrinya.

"Terima kasih, Bi."

"Sama-sama, Tuan. Maaf, Tuan, kalau saya lancang. Apa Tuan tidak ada rencana untuk menikah?" tanya Odah dengan hati-hati.

"Kenapa? Bibi sudah bosan membantu saya?" Andika bertanya kepada Odah dengan nada bercanda. Senyumannya sangat cerah pagi ini, membuat asisten rumah tangga itu bahagia.

"Tentu saja tidak, Tuan. Bibi hanya merasa, rumah ini terlalu dingin. Sepertinya, jika ada sosok seorang istri, akan terasa hangat."

"Saya sedang mencoba mencari calonnya, Bi. Tapi, kalau saya tidak dapat istri di luar, Bibi saja yang menjadi istriku," kelakar Andika. "Aw!"

Odah memukul bahu laki-laki itu karena berbicara sembarangan. Andika sudah menganggap wanita itu seperti ibunya, begitupun sebaliknya. Odah menyayangi Andika lebih dari sekedar pembantu dan majikan. Usia laki-laki itu sama dengan usia putrinya, membuat ia mengingat putrinya yang sudah meninggal karena penyakit lupus.

*BERSAMBUNG*