Chereads / Dear Adam (Indonesia) / Chapter 11 - Mengenalmu

Chapter 11 - Mengenalmu

POV KHADIJAH

Ku berjalan memasuki kawasan kampus, ku lihat seorang pria yang berhasil membuatku jatuh cinta. Namun, aku masih belum sempat tau siapa namanya.

Suara pria itu berhasil mengetarkan hatiku kala itu.

Senyumannya indah bak candu, rasanya ingin selalu ku melihatnya. Mungkinkah dia tertarik mengenalku, atau aku hanya halu saja.

Ku tau jatuh cinta tuk pertama kalinya seperti ini, jatuh cinta karena akhlaknya.

Bagaimana tidak, pria sebaik dia yang hampir punah. Senyumannya saja mengetarkan hatiku, sayangnya aku hanya mampu diam-diam mencintainya, mungkin sampai waktu yang tak ditentukan.

Dia tercium bak aroma surga yang mengalir, perasaan dag dig dug saat dekat dengan dia.

"Dijah, kamu ngelihatin siapa hayooo?"

"Aku?"

"Iyalah."

Sera menatap curiga ke arahku, dia teman sekelasku yang super kepo tingkat dewi.

"Aku tau siapa yang kamu lihat."

Aku mendelik saat Sera berkata seperti itu.

"Rumi!"

Tiba-tiba Sera memanggil seseorang pemilik nama Rumi. Jantungku mendadak berhenti saat pria itu menoleh ke arah kami. Batinku sedikit berbisik "Sialan, Sera ini! tapi, apa nama Rumi apa milik dia?"

Pria itu mendatangi kami, aku hanya mampu mengigit ujung bibirku, rasanya gemetar dan nervous.

"Ada apa mbak manggil saya?"

"Hah?"

Ku lihat Sera sialan itu menghilang meninggalkan aku dan dia yang saling berhadapan. Aku pun hanya nyengir begitu saja.

"Mbak?"

"Eh, sorry tadi yang manggil temenku, tapi dia udah pergi."

Saat itu, aku sangat canggung di hadapan pria yang selama ini sungguh membuatku jatuh cinta dan mengalihkan duniaku.

Aku jadi ingat cerita cinta antara bunda dan uncle. Bunda jatuh cinta kepada uncle Haqi bukan karena ketampanan dan materi, tapi akhlak dan lantunan ayat-ayat suci. Pantas saja kalau cinta karena Allah itu luar biasa dibandingkan cinta karena nafsu yang berupa fisik dan materi bisa saja luntur.

Mungkin, aku hanya mampu berdoa untuk mencintainya, sungguh aku menginginkan dia sebagai imam impian.

Aku dan dia hanya berdiri saling menatap.

"Mbak?"

"Eh, ya."

"Saya mau pergi dulu, maklum lagi banyak kerjaan" ucapnya sambil tersenyum.

Lalu dia meninggalkan aku yang masih berdiri di sana. Sedangkan langkah bayangan dia sudah menghilang.

*

"Dijah?!"

"Duh, kenapa sich tuch anak muncul?" gumam Khadijah.

Khadijah pun membalikkan badan dan mempercepat langkah kakinya, ia memilih mengumpet di sebuah dapur cafe kampus. Sengaja ia lakukan, karena terlalu malas bertemu dengan Ridwan.

"Eheeemmm"

"Ssssttt"

"Mbak, kenapa kok terlihat ngumpet dan ketakutan?"

Khadijah kaget mendengar suara yang tidak asing itu.

"Oh, anu...."

"Apa ada yang ...."

"Khadijah kamu di mana?!"

"Please, mas. Aku nggak mau ketemu dia."

"Baiklah, saya akan mengusirnya."

Khadijah mengelus dada, seakan pria itu mampu membaca kode hatinya.

Di luar sana Khadijah melihat Ridwan sedang ngobrol dengan pria itu yang memiliki nama Rumi. Lalu, aku melihat Ridwan pergi.

"Mbak, mas di depan udah pergi sekarang sudah aman, mbak bisa keluar, tapi ini minum dulu" Rumi menyodorkan segelas air mineral untuknya.

"Thanks ya."

"Sama-sama."

"Oh, iya nama kamu siapa?"

"Rumi."

"Khadijah."

"Oh, ya yang sering adzan itu kamu ya?"

Rumi hanya tersenyum.

"Oh, ya kamu di sini kerja aja?"

"Saya itu di sini sedang menyelesaikan studi saya, itu pun karena beasiswa kalau biaya sendiri saya tidak mampu."

"Sama kalau begitu."

Senyum Rumi.

"Beasiswa S2?"

"Rumi mengangguk mengiyakan."

"Sama donk."

"Iya, namanya rezeki disyukuri."

"Di Indonesia tinggal di kota mana?"

"Magelang, mbak."

"Eh, jangan panggil mbak, panggil aja Khadijah."

"Iya, baik dech. Khadijah kayak namanya istrinya nabi Muhammad."

Khadijah pun tersenyum, "Mungkin orang tuaku lagi ngefun sama nabi Muhammad jadi beri aku nama Khadijah, semoga saja aku bisa menemukan jodoh yang berakhlak baik kayak nabi muhammad."

"Amin."

"Eh, terima kasih ya. Udah nolongin dari kejaran cowok itu."

"Sama-sama."

*

Sepulang dari kampus aku langsung saja menuju ke kamarku. Rasanya tubuhku sudah terasa berat sekali. Beberapa mata kuliah membuat kepalaku sedikit pusing. Belum lagi mengerjakan tesis yang deadline-nya sebentar lagi.

" Kenapa si Ridwan pakai datang segala ke kampus? Udah tahu aku paling sebel ngeliat muka dia yang selalu saja nampang!" Aku terasa kesal sekali dengan sikap Ridwan yang selalu saja seperti paparazzi. Dia selalu datang tak dijemput pulang tak diantar layaknya jailangkung. Dia benar-benar menyebalkan sekali selalu saja muncul di saat yang tidak tepat bahkan tidak pernah mungkin aku harapkan.

Aku mulai merebahkan tubuhku di atas ranjang tempat tidurku lalu menatap langit-langit kamar. Rasanya aku merindukan keluargaku yang utuh tapi sayangnya aku harus bisa untuk menerima sebuah takdir.

"Sungguh aku bersyukur sekali, ketika Allah masih memberikan aku sebuah kesempatan untuk bisa bertemu dengan ayahku kembali." Aku menghela nafas dengan sedikit berat sekali karena aku masih menginginkan sesuatu yang tidak akan pernah mungkin terjadi.

Aku mulai mengingat beberapa kenangan-kenangan masa laluku bersama dengan keluargaku yang masih utuh saat itu. Rasanya ingin sekali keluargaku untuk tetap menjadi utuh, tapi keadaanlah yang memberikan aku sebuah hal untuk tetap sadar dalam menghadapi kenyataan kehidupan.

Aku mulai menutup kedua kelopak mataku lalu aku merasakan bagaimana ayah dan ibuku bersama. Sebuah keluarga kecil bahagia hanya ada aku, Hasan, ayah, dan ibuku. Bahagia itu benar-benar sederhana namun sayangnya semua itu sudah berlalu begitu saja. Aku belum menemukan sesuatu yang membuat aku ingin terus bahagia, selain bersama dengan mereka yang benar-benar utuh.

"Seandainya saja waktu bisa kuputar kembali, mungkin aku hanya ingin ayah dan ibuku menjadi satu. Tapi kenyataannya. Semuanya itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Semuanya hanyalah sebatas ingin ku saja ataupun kata seandainya." Aku menggumam dalam hatiku lalu aku mulai membuka kedua mataku kembali. Semuanya memang tidak akan pernah bisa untuk diubah sama sekali.

" Aku rindu masa laluku. "