Seperti yang di ucapkan Elise sebelumnya mereka tidak bertemu dan tidak saling menghubungi selama dua puluh empat jam itu artinya sehari semalam. Arsen menatap layar ponselnya menghidupkan kemudian mematikan lagi, ini sudah yang ke sekian kalinya dia melakukan hal itu. Tori yang duduk di sampingnya bertanya.
"Kau kenapa! Melihat jam terus apakah ada sesuatu yang aneh di sana"
Arsen menggeleng "Kami membuat permainan untuk tidak saling menghubungi selama dua puluh empat jam, yang kalah akan memberi hadiah pada si pemenang, sebenarnya aku tidak ingin menang karena aku sudah mendapatkan hadiah dari Elise.." ujar Arsen sambil mengangkat tangannya menunjukkan sebuah gelang pada Tori.
Tori yang melihat itu merasa iri sambil berkata "Kau pasti sangat bahagia karena mendapatkan hadiah dari gadis yang kau cintai!"
Arsen mengangguk "Tentu saja! Dia kekasihku! Siapa yang tidak senang saat mendapatkan hadiah dari orang yang kita kasihi.. tapi aku merindukannya!" Arsen menoleh pada Tori dan bertanya "Apa yang harus aku lakukan. Dia juga tidak hadir di kelas hari ini, Alea pun juga sama, kenapa mereka berdua sangat kompak!"
Tori menoleh ke arah lain, matanya bergerak gelisah dan terlihat serba salah "Mungkin kau harus mengaku kalah dan pergi mencarinya ke kos.."
Arsen terdiam sejenak dan berpikir kemudian pemuda itu tersenyum lebar "Kau benar! Kalah bukan berarti lemah! Itu sebagai bukti kalau aku tidak bisa hidup tanpa melihatnya sehari saja, baiklah! Aku akan pergi sekarang!"
Tori melihat jam di pergelangan tangannya, kelas mereka baru saja selesai sekarang mereka sedang bersantai duduk di bawah pohon mangga.
"Boleh aku ikut! Aku merasa tidak mood belajar hari ini!" tanya Tori tiba-tiba.
Arsen yang sedang membuka kunci pada sepedanya menatap Tori heran, sahabatnya itu paling suka belajar kenapa sekarang menjadi tidak mood? Tanpa berpikir panjang dia pun mengangguk.
"Kau boleh tapi bawa sendiri sepedamu! Aku tidak akan memberikan tumpangan untukmu! Kata Arsen ketus dan mengayuh sepedanya pergi.
Tori yang melihat Arsen pergi pun berteriak "Hei! Tungguin dong!"
****
Tori yang di tinggal jauh akhirnya sampai di kosan Elise dia melihat sahabatnya terduduk di trotoar dengan kepala tertunduk, jantung Tori berdetak kencang, hal yang di takutinya beberapa hari lalu sepertinya sudah menjadi kenyataan. Arsen terlihat tertekan, pandangannya kosong. Tori berjalan mendekati sahabatnya, menepuk pundaknya.
"Apa yang terjadi! Kenapa kau duduk di sini! Di mana Elise..?"
Arsen tidak menjawab, Tori melongok ke arah parkir sepeda dia juga tidak melihat sepeda yang biasa di gunakan Alea pergi ke kelas. Tori pun duduk di samping Arsen menatap jalan raya di depannya. Tori memilih diam dan menunggu Arsen yang membuka mulutnya untuk mengatakan apa yang terjadi, meskipun dia sudah bisa menebaknya.
"Elise.. dia pergi!" ujar Arsen lirih, kepalanya masih tertunduk menatap pergelangan tangannya yang memakai gelang warna biru langit dengan hiasan pesawat dari kayu yang di ukir.
"Pergi ke mana? Dia pasti akan kembali kan?" tanya Tori khawatir.
Arsen menggeleng "Dia tidak akan kembali.. sekarang aku mengerti dengan semua sikap anehnya beberapa hari ini, dia ingin meninggalkanku.." bisiknya lagi. bahunya bergetar. Tori menghela napas dan menepuk bahu Arsen pelan sambil berkata.
"Mungkin dia memiliki alasan untuk melakukan itu!" kata Tori.
"Alasan! Orang yang pergi tidak pernah meninggalkan alasan, Tori! Dan Elise.. telah pergi itu cukup untuk mengatakan kalau aku telah di tinggalkan! Apakah aku tidak terlalu baik! Atau aku tidak terlalu berusaha.."
"Kau telah melakukan semuanya dengan baik! Tidak ada yang tidak baik darimu! Elise pergi mungkin ingin kau melanjutkan cita-citamu!"
Arsen terdiam seketika dia menoleh pada Tori memegang bahu sahabatnya itu cukup keras membuat Tori meringis kesakitan.
"Kau! Apa kau mengatakan sesuatu padanya tentang surat itu!?" tanya Arsen setelah menyadari sesuatu.
"Bagaimana mungkin! Kau tidak mengizinkan ku untuk mengatakannya!" kata tori mengelak sambil menoleh ke arah lain, Arsen pun melepaskan cengkeramannya pada bahu Tori, menghela napas kasar dan kembali menunduk.
"Lalu kenapa dia pergi!"
Tori berkata lagi senatural mungkin "Bukankah itu jawaban untukmu! Sebelumnya kau ragu untuk pergi karena tidak mau meninggalkannya, tapi sekarang dia meninggalkanmu! Aku tidak tahu apakah kau akan mendengarkan saranku atau tidak! Tapi menurutku sebaiknya kau melanjutkan apa yang sudah kau mulai! Setidaknya kau masih bisa mencarinya setelah sukses, kita bisa meminta alamatnya pada Mr.Ben kan?"
Arsen terdiam tidak mengatakan apa pun dia berdiri dan meninggalkan Tori yang masih duduk dalam kebingungan, melihat Arsen kembali ke kosan mereka yang kebetulan bersebelahan dengan kos Elise.
Arsen berjalan gontai sambil mendorong sepedanya, Tori yang khawatir pun mengikuti dari belakang. Arsen benar-benar tidak mengatakan sepatah kata pun pemuda itu hanya masuk ke dalam kamarnya lalu menguncinya dari dalam.
Tori yang khawatir tetap siaga dari kamarnya sendiri mendengar pergerakan aneh dari dalam kamar Arsen tidak ada apa pun selain suara musik dengan volume sangat keras, Tori harus meminta maaf pada penghuni kamar yang bersebelahan dengan mereka.
Malam pun tiba sudah waktunya makan malam, Tori mengetuk pintu kamar Arsen berniat mengajaknya pergi mencari makan, tapi satu menit berlalu Arsen tidak membuka pintu kamarnya akhirnya Tori pun pergi sendirian dengan perasaan khawatir.
Di kamar Arsen duduk di sudut tempat tidurnya dengan kakai terlipat dan kepala tertunduk bertumpu pada kedua lututnya, dia memeluk kakinya erat-erat dan menangis dalam hentakan keras musik yang di putarnya. Kamarnya berserakan, buku yang biasanya rapi kini tergeletak di lantai.
Sebelah tangan Arsen memegang gelang di pergelangan tangan kirinya, dia ingat kata-kata Elise sebelumnya.
'…Jangan pernah lepaskan gelang itu, jika dia melepaskannya maka Arsen juga akan kehilangannya…' Tapi Arsen tidak pernah melepaskan gelang itu bahkan saat dia mandi sekalipun. Tetap saja Elise menghilang dari hadapannya.
"Elise! Kau ingkar janji! Seharusnya tidak seperti ini kan?" lirih Arsen menangis sambil menekan dada kirinya yang sakit karena kecewa.
****
Dua hari berlalu Arsen masih mengurung diri di kamar dengan musik keras yang menghentak. Tori sudah tidak tahan lagi. dia pun memukul pintu kamar dengan sekuat tenaga berharap bisa mengalahkan suara musik dari dalam kamar. Sekarang dia benar-benar khawatir pada Arsen, dia pikir sehari akan cukup untuknya bersedih tapi ternyata melebihi dugaannya.
Sekarang dia harus menyeret sahabatnya itu keluar dari kamar. Tori kembali memukul pintu kamar sambil berteriak memanggil namanya tetap tidak ada jawaban. Saat Tori akan mencoba lagi pintu kamar terbuka. Tori terkejut tangannya tertahan di udara menatap tidak percaya pada Arsen yang berpenampilan rapih di hadapannya, tidak lupa sebuah koper besar di sisinya.
"Kau mau pergi?" tanya Tori lagi.
Arsen mengangguk sambil melambaikan kertas bukti dia di terima di sekolah penerbangan. Mata Tori melebar kaget "Kau sungguh akan pergi?" tanyanya senang.
Arsen mengangguk lagi "Aku akan pergi! Tolong barang yang di kamar kau urus ya! Aku harus pergi buru-buru! Waktunya sudah sempit!"
Tori sebenarnya ingin bertanya apakah dia baik-baik saja tapi melihat wajah datar dan tanpa emosi sahabatnya dia mengurungkan niat untuk bertanya, karena dia sudah tahu jawabannya. Tapi setidaknya Tori senang karena Arsen melanjutkan cita-citanya.