Chereads / True Love : Senior! I Love U / Chapter 17 - TUJUH BELAS

Chapter 17 - TUJUH BELAS

Jakarta, tiga tahun kemudian.

Bandara Soekarno-Hatta.

Seorang pria tampan berseragam pilot dengan garis tiga di pundaknya berdiri di samping kopernya, menatap ke arah orang-orang yang berlalu lalang seperti mencari seseorang aktivitas itu telah dia lakukan selama tiga tahun terakhir dan sampai sekarang. Tapi dia masih belum menemukan wajah orang yang di carinya.

Pria itu menghela napas berat dan akan kembali menyeret kopernya ketika dia melihat siluet bayangan yang di rindukannya. Pria itu segera berlari mengejarnya meninggalkan kopernya begitu saja.

Dia sangat yakin, gadis tinggi ramping memakai seragam warna coklat itu adalah orang yang selama ini dia cari. Meskipun dia tidak bisa melihat wajahnya tapi tidak apa-apa sekarang dia tahu kalau gadis itu baik-baik saja. Pria itu masih mencari tapi gadis yang di kejar telah menghilang di pintu ruang tunggu.

"...Di mana dia! Kenapa cepat sekali menghilangnya.." Pria itu bergumam. Saat dia hendak masuk ke ruang tunggu ponselnya berdering. Langkahnya tertahan, sebelah tangan kirinya mengeluarkan ponsel dari saku celana sebelah kiri dan melihat nama di layar, terlihat di wajahnya bahwa kehadiran telepon itu sangat mengganggunya. Tapi dia masih tetap menerima panggilan tersebut.

"Ada apa!" katanya ketus dengan mata terus menatap ke ruang tunggu.

"...Ada apa??? Kau yang ada apa! Kenapa kau meninggalkan kopermu di tengah-tengah jalan seperti ini! Di mana kau sekarang! Cepat ke sini kita juga harus persiapan untuk terbang!"

Pria itu mengerut kening "Di mana dia?".

"...Apa lagi yang kau tanyakan! Arsen cepat ke sini sekarang juga!" teriak suara di ujung telepon.

Pria yang di panggil Arsen itu menjauh kan ponselnya dai telinga dan menatapnya tajam "Kenapa kau sangat suka berteriak! Sudah aku tutup!".

Arsen melihat jam di pergelangan tangannya, tidak ada waktu lagi. Dia sepertinya memang harus kembali, mungkin pertemuan itu masih belum ada untuk mereka. Arsen pun melirik gelang di pergelangan tangan kanannya.

"Sampai sekarang aku masih belum melepasnya, seperti janjiku!" lirihnya lalu berbalik pergi.

****

"Iya! Aku sudah membelinya! Kakak kenapa kau sangat cerewet! Aku selalu ingat untuk membelinya jangan ingatkan aku terus! Sudah jemput aku dua jam lagi, sebentar lagi aku akan naik pesawat! Iya kakak!"

"Elise beli yang banyak!" kata suara di ujung ponsel kembali mengingatkan.

"Iya kakak! Sudah semuanya!" ucapnya sabar. Dan mematikan telepon.

Gadis itu memakai jaket abu-abu untuk menutup baju seragam kerjanya, dia hampir lupa sebenarnya jika saja kakak keduanya tidak nyinyir seperti perempuan untuk terus mengingatkannya. Sekarang dia hampir terlambat dan tidak sempat berganti pakaian, hanya sempat menarik kopernya keluar dari kamar asrama dan berlari ke bandara.

Sekarang dia menjadi tatapan banyak mata karena baju kerjanya dan itu terasa tidak nyaman menjadi tatapan banyak mata. Gadis itu pun pergi ke kamar mandi mengeluarkan jaket abu-abu dari ranselnya dan memakainya.

"Beruntung sebelumnya aku sudah menyusun ulang jadwalku! Jika tidak sekarang aku pasti masih di kantor dan melupakan janji yang telah aku buat!"

Siang itu Elise harus segera kembali ke kota X, untuk memperingati hari meninggalnya kakak tertuanya, kakak tertua yang tidak pernah berbincang dengannya sekali pun, tapi rela memberikan jantungnya untuk hidupnya.

Saat dia akan berjalan kembali ke ruang tunggu dia melihat bayangan seorang pria yang sangat dia kenal, tapi karena sudah sangat lama keraguan kembali muncul. Dia menggelengkan kepala sambil bergumam.

"Itu tidak mungkin dia..! Dia sangat cerdas mungkin saja dia memilih berkarir di luar negeri seperti yang pernah Tori ceritakan! Sudahlah, ini sudah tiga tahun berlalu, mungkin dia sudah melupakanku!" ujarnya tersenyum sedih, dan kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang tunggu.

****

Arsen memasang wajah masam, sahabatnya Daniel yang satu profesi dengannya menjadi bingung. Apakah dia sudah melakukan kesalahan?

Seorang pramugari cantik incaran Daniel bernama Desi datang mendekatinya dan bertanya "Dia kenapa lagi?"

Daniel menatap gadis itu dengan wajah sedih "Aku harus bertanya pada siapa? Aku juga tidak tahu kenapa dia menjadi marah seperti ini!".

"Kau membuatnya marah lagi mungkin!" tebak Desi.

Daniel termenung dan memikir ulang kejadian sebelumnya tidak ada apa pun kecuali dia meneleponnya, dan mendesaknya untuk segera datang, selain itu tidak ada. Seketika Daniel menatap Arsen dengan tatapan heran penuh tanya, biasanya dia juga melakukan itu tapi kenapa kali ini Arsen terlihat sangat marah, apakah benar karena itu?

"Aku memang meneleponnya tadi, karena aku melihat kopernya di tengah-tengah jalan tanpa ada pemiliknya, setelah aku meneleponnya wajahnya sudah seperti ini, sekarang aku mengingatnya, sepertinya kau benar! Dia sedang marah padaku!" ujar Daniel pasrah.

"...Apakah dia melakukan itu lagi?" tebak Desi lagi.

Daniel terdiam sejenak "Mungkin saja, atau apakah dia melihat orang itu dan aku meneleponnya!"

Desi mengangguk dan menepuk bahu Daniel sambil menghela napas prihatin "Turut berduka!" Desi pun kembali ke rombongannya, merapikan pakaian dan mengecek barang bawaannya satu persatu. Daniel yang di tinggalkan dengan perasaan tertekan sambil melirik ke arah Arsen. Melihat wajah galak Arsen tanpa sadar Daniel terkejut dan mundur ke belakang.

Tapi Daniel tahu, jika dia diam terus tidak akan mendapatkan jawaban dan Arsen akan terus diam, sebaiknya dia bertanya langsung.

"Aku minta maaf! Aku tidak tahu kalau kau.."

"Sudahlah! Masih banyak cara untuk ku menemukannya.." sahut Arsen cepat memotong kata-kata Daniel. Arsen menarik napas dan menghembuskan nya perlahan, kemudian kembali melihat jam di pergelangan tangannya "Sudah waktunya. Ayo semuanya bersiap-siap!".

Daniel melirik gelang di tangan kanan Arsen dan bertanya "..Aku selalu penasaran di mana kau membeli gelang itu, terlihat sangat menarik! Kau tahu diam-diam setiap keluar kota aku selalu menjelajahi pasar suvenir untuk mencari gelang yang sama sepertimu.."

Arsen yang mendengar itu mengangkat tangan kirinya dia juga melihat gelang dan tersenyum tipis "...Aku tidak membelinya! Ini hadiah!"

Daniel yang berjalan di sisi Arsen terkejut dia segera menarik tangan kanan Arsen untuk melihat gelang tersebut lebih jelas lagi. Dia bahkan meletaknya sangat dekat dengan matanya, seketika keningnya berkerut dan kepalanya mengangguk-angguk.

"Sekarang aku mengerti kenapa tidak bisa menemukan gelang yang sama seperti mu.. ini di buat sendiri.. tidak di produksi secara massal.." ujarnya kecewa, dia melepas tangan Arsen dan menatap sahabatnya seolah memohon "Katakan siapa yang memberikannya padamu!"

"Kenapa?"

"Aku juga ingin memesan gelang yang sama! Dengan ukiran nama seperti itu!" ujarnya sedikit melirik gelang di pergelangan tangan Arsen dengan tatapan cemburu " Ukiran pesawatnya sangat menarik, di tambah ukiran nama itu, apa dia kekasihmu? Kenapa aku tidak pernah mendengarmu menyebutnya!".

Arsen mendengus "Kau sangat cerewet!"

"Hei! Aku juga ingin berkenalan dengan kakak iparku!".

"Siapa yang menjadi kakak iparmu! Tidak! Sejak kapan aku menjadi kakakmu!" tanya Arsen terkejut.

Daniel tersenyum malu "Kau tidak tahu saja! Ibuku sangat mengidolakan mu! Bahkan aku yang anak kandungnya sendiri sering di banding-bandingkan denganmu! Tapi aku tidak cemburu karena aku sudah menegaskan kalau kau akan menjadi kakakku! Jadi tentu saja aku memanggil kekasihmu dengan sebutan kakak ipar! Kalau tidak aku takut di sebut pemberontak!".

Arsen menatap Daniel dengan tatapan aneh, kemudian dia menggeleng dan melanjutkan langkahnya menuju pesawat yang akan mereka terbangkan.