Chereads / I Choose Basketball / Chapter 23 - Aula

Chapter 23 - Aula

Sore ini Zara memiliki jadwal ekstrakurikuler seni di aula sekolahnya. Karena sekolahnya juga belum memiliki bangunan yang digunakan untuk anak-anak pengikut ekstrakurikuler seni, jadi untuk sementara ini masih menggunakan aula. Sejujurnya, Zara sedikit malas untuk mengikuti jadwalnya sore ini, tapi jika tidak diikuti pasti konsekuensinya akan pada nilai rapotnya.

Nampak dari cara berjalannya saja sudah seperti seseorang yang tidak memiliki tenaga sama sekali. Jangan tanyakan kemana dua sahabatnya itu, mereka berdua tidak memilih seni untuk nilai ekstrakurikuler mereka. Tenang saja, Zara sudah biasa sendiri seperti ini.

Dia berjalan sendirian ke dalam aula. Disana sudah ada beberapa murid yang siap menerima materi seni yang akan disampaikan oleh guru seni mereka. Karena leher belakangnya terasa pegal, dia memijatnya dengan tangan, sampai tanpa sadar kalung yang ada dilehernya terjatuh begitu saja.

Tak lama setelah Zara menempatkan dirinya disana, guru seni mereka akhirnya tiba. Semua orang yang membawa peralatan gambar pun segera mengeluarkannya. Baru tiga puluh menit waktu yang berjalan, barulah dia menyadari jika kalung yang ia gunakan tidak ada pada lehernya. Hal itu membuat Zara panik setengah mati.

Perlahan tubuhnya diselimuti oleh keringat dingin. Pasalnya, itu adalah kalung pmberian ibunya, tidak mudah bagi Zara jika harus kehilangan kalung itu. Dia sampai menengok ke arah belakang siapa tahu bisa ia lihat dari jarak kejauhan. Namun nihil, Zara tak bisa menemukannya dari jarak jauh. Pikiran Zar juga sudah tidak bisa terfokus pada jadwalnya saat ini.

"Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Mendadak suara guru itu membuat Zara terpaku, dan bodohnya dia malah menggelengkan kepalanya seolah tak terjadi apa-apa. Sang guru pun kembali melanjutkan kegiatan mereka.

Aduh, bagaimana ini? Bisa dimarahi Mama jika kalung itu tidak ketemu—batinnya risau.

Kegiatan ekstrakurikuler itu berlangsung sekitar satu setengah jam lamanya, semakin membuat Zara tak tenang. Pikiran buruk pun juga melintas dikepalanya. Andai Zara bisa kabur dari tempat ini, akan Zara lakukan demi mencari kalungnya. Berkali-kali yang bisa ia lakukan hanyalah mengatur nafasnya dan berusaha untuk yakin jika kalung itu tidak hilang. Dia juga berdoa agar tak ada orang jahat yang mengambilnya.

Masih ada waktu sisa sekitar lima menit, tapi menunggu waktu itu terasa sangatlah lama. Guru yang mengajar pun masih menceritakan pengalamannya dimasa lalu sebagai selingan setiap pertemuan. Benar-benar hanya membuang waktu untuk Zara yang sedang dalam posisi yang sedang khawatir.

Akhirnya, kesabarannya terbayar setelah guru itu mengucapkan kalimat penutup pertemuan mereka semua. Tepat setelah menghilangnya sang guru dari pandangan, Zara bergegas berlari mengelilingi aula. Teman-teman dari ekstrakurikuler yang sama dengannya pun beberapa ada yang membantu Zara untuk mencari kalungnya. Tapi itu tak berlangsung lama, setelah hari semakin gelap Zara masih tak kunjung menemukannya. Pelupuk matanya sudah mulai digenangi air yang siap jatuh menuruni pipinya.

"Aaa, bagaimana ini?" rengeknya yang masih terjongkok dengan lampu ponsel yang masih menyorot lantai aula.

"Kau mencari ini?"

Zara mengangkat kepalanya, ia melihat kalung yang dicari berada ditangan orang lain. Orang itu sangat Zara kenal, bahkan beberapa hari lalu sempat membuatnya kesal. "Jadi, kau yang mengambilnya?!"

"Kau tidak tahu bagaimana caranya berterimakasih?"

Apa Zara tidak salah dengar? Bara baru saja meragukan Zara jika dia tidak tahu cara berterimakasih? Lalu bagaimana dengan dirinya, ketika Zara mengantarkan anak panti? Apa Zara menerima ucapan terimakasih dari Bara? Tentu saja tidak, jangan bicara omong kosong.

"Itulah yang aku alami ketika niat baikku tidak dihargai saat di panti," balasnya sembari memasangkan kalung pada lehernya.

Terdengar helaan nafas kasar dari Bara, laki-laki itu berjalan tepat dihadapan Zara dan kembali mengambil kalung gadis itu. Tangannya langsung melingkar pada leher Zara, dia yang akan memasangkan kalung itu pada leher Zara. "Ternyata kau masih kesal dengan kejadian itu. Aku minta maaf," kata Bara bersamaan dengan selesainya memasangkan kalung Zara.

Jangan tanya bagaimana keadaan Zara saat ini, dia sudah menahan nafasnya ketika Bara melingkarkan tangan dilehernya. Kedua bola matanya menangkap Bara yang bersikap biasa saja. Dia terdiam karena masih terkejut dengan perlakuan Bara tadi. Namun, beberapa detik setelahnya, dia menimpali ucapan Bara.

"Sudahlah, lupakan. Aku ingin pulang,"

Gadis itu berjalan mengambil tas dan semua peralatannya. Baru keluar dari pintu aula, dia terkejut ketika langit ternyata sudah gelap, dia baru melihat jam ponselnya, sudah jam enam lebih lima menit. Angkutan umum juga sudah jarang sekali yang lewat dijam seperti ini. Karena terlalu sibuk mencari kalung, Zara sampai tak melihat jam. Sial sekali hari ini.

"Bara," panggilnya dengan suara lembut dan wajah yang terlihat menyedihkan. "Kau membawa motor atau tidak?"

-

-

-

Lain kali, tak ada wajah kasihan demi mendapatkan bala bantuan dari seseorang. Zara justru merasa dirugikan, karena Bara mengharapkan balasan atas bantuannya sore ini. Ingin tahu apa yang Bara minta? Ini akan berjalan seperti drama pada televisi, dimana dia meminta Zara harus mengikuti apa yang dia mau selama seminggu. Tetapi, andaikan tadi Zara menolak, sudah dipastikan dia akan pulang dengan kedua kakinya.

"Kenapa baru pulang?" tanya ibunda Zara yang menghampiri Zara dan Bara dipekarangan rumah.

"Iya, tante. Maafin Bara, tadi ban motor Bara bocor, jadi harus ke tempat tambal ban dulu," ucap Bara.

Zara terkejut pun terheran, Bara ini sedang membantunya atau menambah hutang budi Zara? Jangan bilang, jika besok Bara akan menambah daftar permintaannya. Apa lebih baik tadi Zara pulang dengan jalan kaki saja? Tapi Zara juga akan mengucapkan terimakasih pada dia, lantaran jika ibunya tahu kalungnya sempat hilang, dia yakin kalungnya akan diambil kembali oleh ibunya. Tidak, dia sudah terlanjur menyukai kalung itu.

"Ya sudah, terimakasih ya, Bara,"

Tepat setelahnya, Bara segera pamit dan meninggalkan rumah Zara. Sedangkan Zara dan ibunya berjalan ke dalam rumah. Jantung Zara masih belum tenang saat ini, bukan hanya karena pulang terlambat, tapi ia juga takut jika ibunya tahu Bara berbohong untuk membantunya. Sampai detik ini, dia tak melihat tanda-tanda ibunya curiga. Ibunya hanya menyuruh dia untuk membersihkan diri dan segera beristirahat.

Dia berjalan menuju kamarnya guna menaruh tas dan mengambil pakaian ganti. Sembari memegangi kalungnya, dia berjalan ke arah kamar mandi dan memikirkan kejadian yang dia alami sebelumnya. Dirinya jadi teringat dengan kalimat yang tiba-tiba Bara ucapkan perihal keluarganya, padahal Zara sama sekali tidak meminta Bara untuk bercerita.

"Jika ayahku melihat diriku yang sekarang, dia pasti akan sangat kecewa. Dan itu membuatku merindukan ayahku yang dulu," kalimat Bara yang terngiang dikepala Zara.

Memangnya ada apa dengan ayahnya? Jika aku lihat, ayah Bara nampak baik-baik saja. Tak ada sikap yang menunjukkan ketidaksukaannya pada anaknya sendiri—batin Zara.