Kiana masih saja mengurung diri di kamar, bahkan tak mau ke luar sama sekali. Ketika Ali, omnya berkunjung ke rumah, Kiana juga tak mau ke luar. Bi Asih pun bingung harus membujuknya dengan cara apa lagi.
"Ana masih di dalam kamar sampai sekarang?" tanya Ali pada Bi Asih.
"Iya Tuan. Saya gak bisa membujuknya. Dari kemarin Non Kiana gak ke luar dari kamar dan gak mau makan juga," ucapnya.
"Astaga! Kenapa gak hubungin saya aja malam tadi? Biar saya langsung ke sini."
"Maaf Tuan, dilarang sama Non Kiana soalnya," jawab Bi Asih.
Ali pun mencoba menghampiri keponakannya. Ia ingin membujuk Kiana agar tak berdiam diri di dalam kamar terus seperti ini. Ia hendak membuat keponakannya itu kembali tersenyum dan bangkit. Ali bergegas menaiki anak tangga dengan langkah panjangnya. Pria dengan tubuh kekar itu tak mau terjadi apa-apa pada keponakan tersayangnya.
"Ana, ini Om, Nak! Buka pintunya. Om mau masuk nih," ucap Ali sambil mengetuk pintu kamar.
Tak berlangsung lama, muncullah Kiana dari dalam kamar. Gadis itu bermata sembap karena terlalu banyak menangis. Ali terkejut melihat keadaannya. Ia langsung memeluk keponakannya itu.
"Ya ampun, Ana!"
Kiana langsung menangis tersedu-sedu di pelukan Ali. Gadis itu menumpahkan rasa sedihnya pada Om tersayangnya. Ia tak tahu lagi harus mengadu pada siapa. Pria itu langsung merasa sedih dan membelai lembut rambut panjangnya.
"Jangan sedih, Nak. Om ada di sini buat kamu."
"Aku gak kuat ditinggal Ayah dan Ibu," ucap Kiana sambil memandang ke arah wajah Ali.
"Kamu pasti bisa tanpa mereka." Ali berusaha meyakinkan keponakannya itu. Ia mengusap pelan air mata Kiana agar berhenti menangis.
Ali terus berusaha menguatkan Kiana agar tak terlihat lemah. Gadis itu harus kuat tanpa kedua orang tuanya.
"Kamu harus kuat, Nak. Kan kamu calon pewaris tunggal selanjutnya," ucap Ali.
Kiana sama sekali tak merasa tertarik dalam hal mengurus perusahaan. "Tapi, Om–"
"Kenapa?"
"Aku gak mau. Gak tertarik."
Ali langsung menawarkan diri untuk memegang perusahaan milik almarhum kakaknya itu. "Gimana kalau Om aja yang memegang perusahaan tersebut sementara waktu?"
Kiana tampak terdiam sejenak. Ia bahkan tak langsung mengiyakan ucapan omnya.
"Ana, kamu gak percaya ya sama Om?" tanya Ali.
"Hmm, bukannya gitu, Om. Tapi, apa Om yakin bisa memegang perusahaannya Ayah?"
Ali mengangguk dengan cepat. "Om bisa kok. Pasti bisa!"
Alhasil, Kiana pun setuju kalau Ali menggantikan posisi sang Ayah di perusahaan. Ia pun senang melihat omnya seperti ini.
"Makasih, Nak. Om janji gak akan pernah ngecewain kamu. Om pasti akan terus memajukan perusahaan Ayah kamu."
"Iya, Om."
Ali langsung mencium kening keponakannya yang cantik itu. Ia sudah menganggap Kiana seperti anaknya sendiri. Maka dari itu, ia berjanji akan membuat Kiana bahagia.
"Kalau begitu, kamu harus makan dulu. Om temenin deh."
Kiana langsung menggeleng pelan. "Aku gak mau makan, Om. Gak laper."
"Jangan begitu sayang. Pokoknya kamu harus makan ya." Ali terus membujuk keponakan kesayangannya untuk makan bersama.
Ali akhirnya berhasil membujuk, melihat Kiana mengangguk patuh terhadap ucapannya. Gadis malang itu lalu menuruni anak tangga bersamanya menuju ke meja makan. Ali memberi kode lewat kedipan mata agar Bi Asih segera menyiapkan makanan untuk Kiana. Wanita paruh baya itu pun segera menyiapkannya.
"Nah, kamu duduk dulu di sini ya. Bi Asih lagi nyiapin makanan tuh."
"Iya, Om."
Kiana berusaha untuk tak menangis lagi di depan omnya. Ali selalu menguatkannya dalam keadaan seperti ini. Pria itu menyayangi dirinya begitu besar.
Tak berapa lama, meja makan pun sudah terisi penuh dengan banyak hidangan yang menggugah selera. Kiana bahkan tak akan sanggup untuk menghabiskannya seorang diri. Hari ini Bi Asih memang sengaja memasak makanan dalam jumlah banyak.
"Sebanyak ini kah?" tanya Kiana.
"Iya, pokoknya keponakan Om harus makan yang banyak."
"Aku gak akan sanggup, Om."
"Dimakan dulu sayang. Ini semua makanan favorit kamu loh."
Ya, memang benar yang tersaji di meja makan adalah makanan favoritnya Kiana semua. Ada opor ayam, telur balado, dan ada juga aneka makanan seafood. Namun, ia tak akan mungkin menghabiskan makanan ini hanya seorang diri.
"Kiana!"
Kiana langsung menoleh karena namanya dipanggil. Ternyata ada Rosa, Linda, dan Adel datang kemari. Ketiganya lekas menghampiri dan memeluknya.
"Tante ...."
Rosa memeluk tubuh Kiana dengan penuh kehangatan. Wanita itu datang ke sini bersama dengan dua anak perempuannya, bernama Linda dan Adel. Kiana langsung menyambutnya dengan ramah.
"Ayo, mari makan!" ajak Kiana.
"Makanannya banyak banget ya, Mas," ucap Rosa pada suaminya.
"Iya, supaya Kiana makannya juga banyak." Ali terdengar bercanda pada keponakannya itu.
Kiana merasa senang melihat keluarganya tampak berkumpul seperti ini, walaupun Ayah dan ibunya tak ada lagi. Namun, dengan melihat pemandangan akur ini membuat hatinya sedikit tenang. Kiana lebih merasa sedikit bernyawa lagi karena ada mereka semua, ada Om, Tante, dan sepupunya.
Bi Asih yang ikut serta menyaksikan kebersamaan ini tampak merasa senang juga. Akhirnya, Kiana kembali bisa tersenyum seperti dulu. Itu karena masih ada Ali dan juga istrinya. Wanita paruh baya itu merasa bersyukur bisa mengenal keluarga ini.
"Bi, ayo sini, ikut kita makan," ajak Ali pada Bi Asih.
"Gak usah, Tuan." Bi Asih menolak dengan halus.
"Gak apa-apa, Bi. Ayo, sini sama kami."
Bi Asih tampak malu-malu di hadapan mereka. Ia jelas tak enak kalau harus ikut makan bersama.
"Bi, ayo sini. Gak apa-apa," ucap Kiana.
Akhirnya, Bi Asih ikut menyantap makanan bersama dengan mereka. Wanita itu melihat wajah-wajah berseri penuh kebahagiaan di meja makan ini.
"Sini, biar aku aja yang nyiapin buat Bibi," ucap Kiana sambil menyendokkan nasi ke dalam piring Bi Asih.
"Ya ampun, Non. Gak usah, biar Bibi aja sendiri."
Namun, ucapan Kiana tak bisa dibantah oleh Bi Asih. Gadis itu tetap akan menyiapkan makanan untuk wanita yang sudah merawat dan menjaganya sejak kecil itu. Bi Asih tinggal di rumah ini sudah cukup lama bersama keluarganya. Bahkan Kiana sudah menganggapnya seperti ibu sendiri.
"Ini buat Bibi." Kiana menjulurkan piring itu pada Bi Asih. "Dimakan ya, Bi."
"Makasih banyak ya, Non."
"Sama-sama, Bi."
Mereka semua menyantap masakan Bi Asih dengan lahap. Bahkan Kiana tampak menambah porsi makannya lagi. Ali senang melihatnya bangkit perlahan seperti ini. Ia berharap, semoga saja Kiana akan selalu seperti ini dan mulai menerima bahwa kedua orang tuanya sudah tak ada lagi di dunia ini.
'Pelan-pelan, kamu juga akan lupa sama orang tua kamu yang udah meninggal itu!'