Ali sekarang resmi menjabat posisi baru menggantikan sang kakak yaitu sebagai seorang direktur di perusahaan Wijaya Citra Corporation. Ini adalah impiannya sejak dulu yang ingin menjajakkan kakinya sebagai pemimpin di sini. Dan, ternyata terwujud juga keinginan sejak lama itu sekarang.
"Mulai sekarang yang akan menggantikan posisi Ayah saya adalah Om saya. Beliau namanya Aliansyah." Kiana memperkenalkan omnya pada semua karyawan kantor.
Karyawan di sini tampak sopan pada Ali. Membuatnya merasa betah di sini. Pun Kiana juga turut senang melihat pemandangan ini.
"Selamat datang ya, Pak, di sini. Semoga Bapak bisa memimpin perusahaan ini dengan baik," ucap salah satu karyawati.
"Iya, terima kasih banyak," sahut Ali.
Setelah perkenalan tersebut, Kiana lekas membawa omnya menuju ruangan kerja milik almarhum sang Ayah dulu. Langkahnya tampak pelan dan masih saja teringat akan kenangan itu.
"Ana, kamu kenapa?" tanya Ali yang melihat keponakannya berwajah sendu.
"Aku cuma ingat sama Ayah aja, Om. Biasanya aku main-main di kantor ini dan ke ruangannya."
"Kamu gak usah sedih lagi, ya. Ada Om di sini."
"Iya, Om." Kiana mengangguk patuh.
Setelah mereka sampai di depan pintu, Kiana lekas mengajak Ali untuk masuk ke dalam. Ruangan kerja milik kakaknya ternyata sangat lebar dan nyaman. Ali mungkin akan merasa betah berada di sini.
"Wow ... Om suka sekali sama ruangannya." Ali mencoba duduk di kursi tersebut.
Sejenak, Kiana tampak terdiam dan terus menatap ke arah Ali. Wajah pria itu sangat mirip dengan ayahnya, karena mereka berdua adalah kakak beradik. Namun, secepat kilat Kiana tersadarkan dari lamunannya.
"Semoga Om betah ya di sini," ucap Kiana.
"Iya, sayang. Om pasti akan betah sekali di sini."
Ali menatap ke sekitar ruang kerjanya sekarang. Tempat ini sangat luas dan terasa nyaman baginya.
"Makasih ya, kamu udah mempercayakan semua ini sama Om. Om janji gak akan pernah ngecewain kamu, Nak."
"Iya, Om. Aku percaya kok."
Ali bangkit dari duduk dan lekas memeluk tubuh ramping sang keponakan tersayang. Ia mengelus-elus rambut panjang milik Kiana. Perhatian dan kasih sayangnya hanya tercurah untuknya.
"Om sayang banget sama kamu."
"Aku juga sayang banget sama Om. Jangan tinggalin aku ya dan aku perlu Om di sini." Kiana menatap wajah tampan nan manis milik Ali. Pria bertubuh tegap itu tampak mengangguk ke arahnya.
"Om gak akan pernah ninggalin kamu."
Kiana merasa beruntung karena masih memiliki keluarga yang sangat peduli padanya. Masih banyak yang menyayangi dirinya dengan tulus, termasuk Ali. Maka dari itu, ia tak akan pernah menyia-nyiakan keluarganya ini. Apa pun akan Kiana lakukan untuk membahagiakan mereka.
"Ya udah kalau gitu, Om semangat ya kerjanya di sini. Kiana mau pulang dulu."
"Om akan ngantar kamu pulang ya."
"Gak usah, Om. Om di kantor aja. Biar aku naik taksi aja," ujar Kiana.
"Kamu serius?" Kening Ali tampak naik sebelah. Ia ingin memastikan keponakannya merasa baik-baik saja.
"Iya, Om. Aku serius." Kiana langsung mencium punggung tangan Ali dengan penuh hormat.
Setelah itu, Kiana langsung ke luar dari ruang kerja Ali. Ruangan ini masih mengingatkannya pada mendiang ayahnya dulu. Kiana sering sekali datang ke ruangan ini hanya untuk bercanda tawa dengan sang Ayah tercinta.
"Ayah, Ibu, aku rindu kalian," lirih Kiana sambil berjalan pelan tanpa menatap lurus ke depan.
Ia melamun dan terus memikirkan kedua orang tuanya yang sudah tiada lagi. Tanpa sadar, Kiana tak sengaja menabrak seorang office boy di kantor ini.
"Ya ampun, maafkan saya. Saya gak lihat tadi."
"Gak apa-apa, Bu," jawabnya lembut pada Kiana.
Kiana membungkuk pada pria tersebut karena usianya lebih tua darinya. Ia juga meminta maaf karena berjalan kaki tak melihat lurus ke depan. Pikirannya sedang kacau sekarang.
Saat sampai di halaman depan, Kiana tampak menunggu taksi yang sudah ia pesan terlebih dahulu. Sebentar lagi, taksi itu akan tiba di kantor.
"Taksi!" Kiana melambai-lambaikan tangan ke arah taksi yang sudah datang untuk menjemputnya.
Gadis berwajah cantik dan mempunyai lesung pipi itu segera naik ke dalam mobil. Taksi pun segera melaju ke alamat yang dituju.
***
"Non Kiana ...." Bi Asih menyambut kedatangan gadis itu dengan penuh senyuman.
Kiana tak sungkan-sungkan untuk memeluk Bi Asih. Mereka berdua sudah sangat dekat sejak dulu.
"Alhamdulillah, Bi, hari ini Om udah resmi menjabat sebagai direktur di perusahaan menggantikan posisi Ayah," ucap Kiana dengan senyum semringah.
"Apa Non yakin dengan keputusan ini? Bukannya yang berhak atas semua itu adalah Non sendiri."
"Iya, Bi. Tapi, aku sama sekali gak tertarik untuk memimpin perusahaan. Lebih baik Om aja. Aku yakin kok Om pasti bisa melakukannya."
Kiana merasa yakin kalau omnya bisa membuat perusahaan Wijaya Citra semakin maju. Pria itu tak akan membuatnya kecewa. Namun, berbeda halnya dengan Bi Asih. Wanita paruh baya itu justru merasa takut dan cemas kalau Ali malah tak bisa menjaga kepercayaannya Kiana.
"Bibi gak usah cemas ya, yakin aja sama Om Ali. Pasti dia bisa kok pegang perusahaan tersebut, sama yang kayak Ayah lakuin selama ini." Kiana mengusap-usap pundak Bi Asih.
"Iya, Non."
Kiana pun melangkahkan kedua kakinya menaiki anak tangga. Gadis manis itu sekarang sudah bisa tersenyum, walau masih menyisakan bekas luka akibat ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan. Namun, Kiana tak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Justru masih banyak yang menyayangi dirinya, maka ia harus bangkit kembali untuk menjalani hidup.
"Ya ampun, kasihan Non Kiana. Kenapa perasaanku malah gak enak ya sama Tuan Ali. Aku takut kalau perusahaan itu bukannya tambah maju, tapi malah kenapa-kenapa."
Bi Asih merasa takut kalau Ali tak bisa diandalkan. Perusahaan itu adalah satu-satunya milik almarhum ayahnya Kiana. Karena sebelumnya, Ali ingin sekali menggantikan posisi kakaknya di kantor, tapi tak disetujui dengan mudah. Ambisi pria itu pun semakin besar saja.
"Semoga aja, perusahaan tersebut berkembang di tangan Tuan Ali." Bi Asih pun kembali berlalu ke dapur.
Saat berada di dalam kamar, Kiana langsung duduk di tepian ranjang. Pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto yang tergeletak di atas meja. Di dalam foto tersebut ada wajah Ayah, Ibu, dan juga dirinya. Di foto itu menampilkan wajah-wajah yang begitu bahagia di sana. Saat itu sedang kelulusan SMA. Air mata Kiana pun tiba-tiba jatuh membasahi pipi mulusnya.
"Ayah, Ibu, aku kangen sama kalian. Kenapa semua ini harus terjadi sama aku? Kenapa aku gak ikut sama kalian aja sih di sana? Pasti Ayah dan Ibu udah tenang kan di surga."