Andai waktu dapat diputar kembali. Andai angin tak menyelinap masuk di celah-celah kulit.
Mungkin aku, Arsenio dan Jebran tidak bertemu pada titik kewaspadaan. Dia menatap kami seolah-olah hendak menikam dirinya. Sedangkan, tangan Arsenio memeluk erat bahuku.
Sontak, semua buyar oleh kedatangan seorang pria mendekati kami. Arga, juru kamera andal itu menyertaiku.
Hingga Jebran yang sudah berpapasan dengan kami lebih dulu pergi dari sapaan.
Arsenio dengan gesit melepaskan genggamannya dari bahuku.
"Hei!" panggilnya ke arahku.
"Ah! Kau mengagetkanku saja," gerutuku memukul bahunya.
"Siapa dia?" tanya Arga ingin tahu.
"Mau tahu saja. Eh, tolong bantu antarkan dia kepada bos kita, Jebran!" pintaku.
"Emira, aku ingin kau saja yang mengantarkanku. Lagi pula, kita jarang ketemu, bukan?" seloroh Arsenio ke arahku.
"Nah!" timpal Arga.
"Perkenalkan namaku Arga, rekan Emira." Arga menyodorkan tangan untuk berjabat.
"Namaku Arsenio. Aku juga teman lama Emira," sambut Arsenio dengan senyum manisnya.
"He he, bisakah kau meninggalkan kami sebentar?" pintaku pada Arga.
"Oh, baiklah!" Arga menyengir pelan, lalu berbalik arah dari kami. Seketika wajahku mulai mengawasi Arsenio dengan penuh tanda tanya.
"Arsenio!" sebutku dengan tegas.
"Yah, ayo temani aku!" pintanya.
"Ayo!" putusku tanpa raut ramah.
Tap
Tap
Tap
Langkahku berayun searah dengan langkah Arsenio yang berada sejajar dengan diriku. Tubuhnya tak terlalu jauh berbeda dengan diriku.
Hanya saja, pria ini lebih tinggi sedikit dariku. Aku sesekali memperhatikan sahabatku yang satu ini dengan senyuman kecil.
Ternyata, si cunguk ini berhasil mendapatkan gelar menjadi seorang Jaksa.
Aku menaruh malu dalam-dalam tenggorokan. Untuk menelan semua impianku menjadi Polisi saat usiaku masih muda.
Impianku malah tertolak mentah oleh sang ibu.
Arsenio kembali menatapku sepanjang jalan, ketika diriku memimpin jalan.
Matanya mulai terheran melihat diriku yang sudah banyak berubah.
Beginilah diriku! Aku adalah wanita yang periang, pemberani sekaligus baik hati. Dan yang pasti, aku tidak suka dibohongi oleh siapapun, termasuk sahabatku sendiri.
"Emira," panggilnya saat kami mulai berhenti pada satu pintu ruangan.
"Yah," sahutku singkat.
"Apa impianmu sudah terkubur?" tanya Arsenio pelan.
Aku hanya terdiam lalu memejam sesaat. Namun, tak sempat berbalas. Aku pun segera mengetuk pintu.
"Masuk!" Terdengar suara singkat dari dalam ruangan.
Arsenio mengikuti langkahku memasuki ruangan Jebran—CEO muda itu. Dia belum mendapatkan jawaban dariku, sedangkan aku malah berbalik menatap ke arah Jebran dengan santai.
"Maaf, Pak. Ada yang ingin mencarimu," sebutku sembari merunduk tunduk.
"Oh, silakan duduk!" sambut Jebran dengan senyuman tipisnya.
"Terima kasih, Pak." Arsenio kembali memperhatikan segala rautku yang serius. Aku melawan menatap dirinya. Namun, kuhentikan dengan ucapan pamit.
"Aku permisi, Pak." Aku membungkuk tunduk, lalu memundurkan langkah dengan perlahan. Arsenio tetap melihatku sampai di muka pintu. Dan sampai pintu itu tertutup, matanya masih memandang pintu.
"Apa kita pernah bertemu sebelum ini?" sosor Jebran memulai pembicaraan.
"Oh. Sepertinya?" ucapnya.
"Saat itu kau sedang mabuk, bukan? Aku hampir saja menabrakmu di jalanan," lontar Jebran.
"Yah, itu salahku! Aku masih baru menjadi Jaksa. Aku sedikit hilang kendali," desis Arsenio merunduk.
"Maafkan aku waktu itu," ucap Jebran.
"Ah, tidak! Itu salahku," lirih Arsenio.
"Ngomong-ngomong, ada perlu apa?" tanya Jebran mulai penasaran.
"Ku dengar kau selalu siap untuk meliput berita apapun, benar begitu?" ujar Arsenio.
"Yah, aku tidak akan menolak berita apapun. Terkadang, aku sering dicegah oleh bawahan dan rekanku. Tapi, aku tetap melakukannya," tandas Jebran.
"Aku ingin kau melakukannya untukku," pinta Arsenio.
"Apa itu?" tanya Jebran.
***
Aku kembali berjalan menuju kursi yang paling nyaman dalam hidupku. Yah, aku memaksanya untuk nyaman.
Di depan layar komputer yang sudah menyala. Aku mulai mencari bahan untuk ditulis dalam wacana berita.
Aku pun berhenti pada satu pesan yang masuk ke dalam email-Ku. Seseorang mengirim pesan singkat untukku. 'Tolong aku, Nona Emira! Aku tunggu kau di depan gedung Hijau Biru, tak jauh dari perkantoranmu. Rumahku di dalam gedung itu, nomor 313.'
Aku berhenti lalu menerobos masuk ke dalam pesan itu. Aku berpikir, siapa yang mengirim ini? Tertulis dengan jelas, anggi_diana87@gmail.com. Aku mencatat tentang pesan dan emailnya.
Aku mulai meraih ponsel milikku, lalu mencari nama seseorang. Dilan. Tiba-tiba saja aku berhenti di tepat nama Dilan.
'Apa dia akan datang menemaniku?' gumamku dalam hati.
"Hei!" panggil Arga memukul pundakku dengan kuat.
"Ah!" sergahku menatap dirinya.
"Kau ini!" gerutuku.
"Kau terkejut?" tanya Arga.
"Arga, maukah kau menemaniku sebentar?" pintaku sembari memegang pergelangan tangannya.
Arga menjadi sangat kaku, ketika diriku memegang tangannya. Tak sempat berpikir hal lain, aku segera mengambil buku catatan bersama ponsel milikku.
Aku menarik tubuh Arga agar mengikuti langkahku sampai keluar dari ruangan.
"Emira, ada apa?" pekik Arga.
"Ikut saja! Aku butuh seseorang menemaniku untuk ke sesuatu tempat," tuturku.
"Ayo, masuk!" pintaku padanya.
"Hei, kau ini tidak jelas sekali,"
Aku mulai mengendalikan kemudi untuk menuju tempat yang baru saja kudapat.
"Kau mau ke mana?" tanya Arga penasaran. Segala raut bingungnya menghantui Arga.
Akan tetapi, aku tetap memegang kemudi untuk segera tiba di tempat itu.
Tiba-tiba perasaanku merasa kurang nyaman. Entah kenapa? Aku seperti terpanggil oleh wanita itu. Dia butuh bantuanku, dia mengatakan itu padaku.
Setiba kami di gedung Hijau Biru. Lokasi yang tak jauh dari perkantoran, kami melihat beberapa mobil Polisi sudah berjejeran rapi di tengah-tengah lapang.
"Hah! Ada apa ini?" tanya Arga tidak percaya.
"Aku tidak membawa kamera lagi," gerutu Arga kesal.
"Kita ke sini bukan untuk meliput orang lain. Tapi, untuk menemui seseorang," tegasku sembari memarkirkan mobil tak jauh dari sana.
Kami keluar dengan membawa sejuta tanda tanya. Aku segera mendekati para pria Polisi yang berjaga di luar.
"Ada apa ini?" tanyaku.
"Ada mayat di dalam kamar," sebutnya.
"Kamar nomor berapa?" tanyaku.
"313," singkatnya.
"Hah!" Aku terpelangah sembari mengenang apa yang sudah aku dengar. Kamar 313, adalah kamar yang cocok dengannya.
Aku segera berlari ke dalam gedung. Para penjaga mencoba menghalangi langkahku. Namun, diriku memperlihatkan kartu nama yang sempat bersembunyi di balik saku kemejaku.
"Biarkan aku masuk! Aku mengenalnya," lirihku.
Seorang pria muda mendekati diriku. Seketika wajahku berubah, saat menatap pria itu tidak asing lagi.
"Fredi?" ucapku.
"Emira? Kenapa kau bisa ada di sini?" tanyanya ke arahku.
Sontak aku menatap dirinya dengan sangat terkejut.
"Apa Dilan ada bersamamu?" sosorku.
"Dilan, dia beda kantor denganku. Aku kebetulan baru pindah," ungkapnya.
"Aku ingin menemui orang itu," sebutku.
"Mari kuantar!" Fredi, sahabat Dilan yang selalu bersama. Aku tak percaya dengan semua ini. Mereka berkumpul pada satu kota. Aku sedikit bahagia. Arga tetap mengikuti jejakku bersama Fredi—Polisi muda.
Di depan kamar 313, pintu sudah terbuka. Fredi menoleh ke arahku, "Pakai ini! Di dalam masih ada mayat yang harus kami selidiki dahulu." Ia menyodorkan masker ke arahku dan Arga.
Kami memasuki ruangan yang sudah berbau sengatan mayat bersama dengan amisnya darah.
Seorang wanita tergeletak mengenaskan dengan tubuh yang sudah berlumuran darah. Kutebak, usianya tak jauh berbeda denganku. Rambut panjangnya menutup wajahnya yang sudah babak belur.
"Weeekk!!" Arga tak kuasa menahan bau dan amis.
Hingga ia memuntahkan seluruh isi perutnya di balik ruangan.
Sedangkan, aku hanya memandang diam pada seorang mayat wanita. Mataku seakan membaca semua yang sudah terjadi sebelum kejadian.
Terdengar suara-suara perlawanan di dalam ruangan.
Hantaman keras ke dinding, saat dinding meninggalkan bekas bercak darah.
Aku melihat kaca jendela yang sudah terbuka sedikit dengan tabir yang hampir sobek. Siapakah wanita ini? Pikirku dalam-dalam.