Aku mendekap tanganku dalam-dalam, seakan diriku tertutup oleh ruangan sempit hingga tak kuat untuk bernapas.
Akan tetapi, semua hanya ilusi yang membekuk dalam sekejap. Jebran kembali membalikkan tubuhnya lalu menatapku dengan lurus.
Tepat di hadapanku, pria tampan ini berdiri melebihi tubuhku yang cukup tinggi.
Pikirku dalam-dalam, 'Apa yang akan dia lakukan? Kenapa dia tampan sekali?!'
Jebran menaikkan alisnya lalu mulai berucap, "Pantas saja Dilan menyukaimu, kau cukup cantik!"
'Ah! Apa?' Aku merasa terheran akibat ucapannya itu.
"Apa kalian berpacaran?" tanya Jebran.
"Hah! Apa maksudmu?" Aku mulai menyadarkan diriku dan sedikit bertingkah aneh.
"Apa yang kau katakan? Berpacaran maksudmu?! Aneh!" kelitku membuang muka lalu menghindar.
Jebran menegakkan posisi tubuhnya. Lalu memandangku dari belakang.
"Ehem!" dengusnya.
Aku membalikkan tubuhku sembari menatapnya, "Tolong aku, Pak! Biarkan aku menyelamatkan kasus ini. Mungkin, ini akan menjadi sejarahku dalam menyelesaikan tugas yang tidak biasa." Aku mengernyitkan dahiku memperkuat keputusan.
Jebran bersedekap tangan tanpa raut ramahnya.
"Untung saja kau adalah pacar Dilan. Kalau tidak, aku tidak akan memaafkanmu!" ketus Jebran.
"Hei, Pak! Aku bukan pacarnya," belaku.
"Bisakah kau bersikap sopan pada bosmu ini?!" gerutu Jebran menaikkan alisnya.
Kini, matanya tak lagi bermain senyum, malah berbalik pada tatapan yang menantang diriku. Aku menelan air liurku sampai ke ujung tenggorokan.
Dan memberanikan sikapku yang awalnya memang pemberani.
"Kau yang memulainya. Aku sedikit risih denganmu. Bagaimana bisa umurmu yang masih muda dan kejam ini harus menjadi pemimpin di kantor," timpalku.
"Kau?!!" erang Jebran menaikkan jari telunjuknya.
"Aku hanya ingin meminta restumu untuk mengizinkan aku meliput berita ini secara umum," pintaku mulai melangkahkan kakiku ke depan pintu.
"Tunggu!" ucap Jebran santai.
Saat kata singkatnya itu berasa terbebani olehku untuk melangkah. Kupaksakan diri untuk menatapnya.
"Dilan memintaku untuk menjaga dirimu. Dan aku tidak akan membiarkan dirimu terluka akibat kasus ini," ujarnya sembari merunduk lalu perlahan mengangkat dagu.
Wajahnya menatapku dengan serius. Alis tebalnya begitu tampak mempesona! Dia si pria yang tidak akan ditolak oleh siapa saja.
"Jadi, kau akan mengizinkanku?" pintaku lagi.
"Dengan satu syarat!" sebutnya.
"Apa itu?" tanyaku.
"Selalu hubungi aku jika kau butuh pertolongan!" pintanya.
"Mana mungkin? Memangnya kau punya senjata api atau semacamnya?" ledekku.
"Hei, bukannya terima kasih malah ngelunjak yah kamu!" gerutu Jebran mulai menaikkan nada bicara.
"Opps! Maaf kalau begitu, hi hi ...," kekehku sembari mempercepat jalan.
Kututup pintu ruangan itu dengan perlahan. Tawaku masih menyangkut di dalam rongga mulut. Aku ingin tertawa terbahak-bahak, namun takut dosa.
Anindira melewati sembari menatap sinis ke arahku. Dengan pakaian yang seksi bak model itu melangkah maju ke dalam ruangan Jebran. Aku tidak menghiraukan wanita itu lalu berjalan seolah-olah tak melihat siapapun.
***
Di antara jarak yang begitu jauh. Terlihat sosok pria bertubuh tinggi tegak. Berjaket kulit tebal dengan rambut licin bak berkilau.
Dengan kasar ia menendang seorang pria yang ada di depannya.
Perkumpulan para pria bengis di dalam ruangan gelap. Mehmed menyeringai pada si pria itu dengan puntung rokok yang dibuang lalu diinjak dengan kasar.
"Pria tidak berguna!" teriak Mehmed.
"Kau menyuruh si berandal itu membunuh wanita itu. Lalu, anakku akan datang bersama Polisi-Polisi sok itu ke sana. Lalu, apa yang akan kudapatkan setelah kasus itu terungkap? Hah! Ayo, cepat katakan!!" bentak Mehmed menekan perut si pria dengan sepatu mengkilapnya.
"Akh!" rintih si pria menahan sakit.
"Ma-maafkan aku, Tuan!" tutur si pria meringis kesakitan.
"Enak saja! Seenak jidatmu?! Aku ingin kau membereskan masalah ini. Bawa alibimu untuk segera tertangkap oleh Polisi itu atau kau kubuat menyesal. Ingat! Kau masih ada istri dan anak yang harus kau nafkahi!" Mehmed mulai mengancam si pria yang sudah kewalahan itu. Tampang kasar dan bengisnya tidak akan memberikan ampunan kepada si pria.
Lalu, siapakah wanita yang terbunuh itu?
"Bawa dia ke dalam! Buat dia semen derita mungkin!" perintah Mehmed mengacungkan puntung rokok. Pria lemah itu ke dalam sebuah ruangan.
"Sial! Andai wanita itu tidak melawan, pasti usaha kita tidak akan gagal. Tapi, dasar pria itu keparat sekali! Wanita itu mengenal anakku," gerutu Mehmed.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan, Tuan?" tanya salah seorang pria berambut cepak dengan tubuh tinggi kurus, pastinya berkulit gelap.
"Cek orang-orang di sana! Pastikan tidak ada yang kabur setelah pembunuhan itu. Jika ada yang bertindak, maka harus ada yang bertanggung jawab!" perintah Mehmed dengan santai.
"Baik, akan ku pantau mereka," putus si kurus itu.
Mehmed mulai mendiam diri di tengah-tengah ruangan rendah itu.
Hanya diselingi dengan cahaya lampu putih menerangi tengah ruangan saja. Matanya mulai menatap fokus ke dinding ruangan.
Raut amarahnya seketika luntur dan kembali mengerut dan sedikit cemberut.
Diraihnya sebuah foto dari dalam saku jaket. Itu foto diriku, Emira yang dipegang oleh ayah. Matanya mulai menerawang gambar sedang itu.
"Maafkan ayah, Nak. Bukan maksud ayah menyakitimu waktu itu. Tapi, ayah tidak tahu harus bagaimana? Tapi, sekarang ayah sudah lebih baik. Ayah punya usaha sendiri dan mulai mengendalikannya sendiri. Ayah ingin memelukmu, tapi terlalu malu menemuimu," ujar Mehmed dengan raut sendu.
Lucu melihat tingkah sang ayah meneteskan buih air mata kecilnya.
Ia tak bisa menangis seperti anak perempuan. Dan hanya merasakan kesedihan batin yang seakan menusuk dirinya.
Aku di sini dan terus di sini, Ayah. Tapi, kau melukai cintaku yang mengubah diriku menjadi sosok yang paling bijak. Kau berhasil membuatku menjadi keras kepala.
Aku tak butuh ayah lagi. Ibu pun sama. Ibu tidak akan membiarkan aku menatap wajahmu, Ayah.
***
Aku melangkahkan kakiku menuju pintu rumah. Dengan raut tenang dan sedikit periang yang tidak jelas pastinya.
Aku pun berlari lalu meloncat-loncat tanpa adanya kabar baik. Tingkah kekanak-kanakanku memang belum sempurna hilang.
"Emira," sapa ibuku sembari berdiri di dekat dinding ruang tengah.
"Yah," sahutku terperanjak.
"Sudah pulang?" tanya ibu.
"Barusan, Bu," jawabku heran.
"Kenapa, Bu?" Aku mulai mengerutkan kening, seakan bertanya-tanya.
"Kau sudah mendengar berita pembunuhan seorang wanita di dalam kamar?" tanya ibuku.
"Tentu saja, Bu. Aku akan meliput berita itu," ungkapku.
"Apa kau merasa puas mendapat kabar itu?" ujar ibuku.
"Kenapa ibu bertanya seperti itu?" tanyaku terheran.
Aku mulai membaca seluruh raut wajah ibuku yang terlihat berbeda dari biasanya.
Seseorang berjalan di belakang punggung ibuku. Kepalaku mulai menoleh ke arah tubuh yang begitu membuatku penasaran.
Ibuku berbalik arah, lalu memperlihatkan lekuk tubuh si pria tinggi lagi menawan.
Sosok Jebran berdiri tegak menyambut kepulanganku.
"Haaa??!" Aku terpelangah dengan kehadiran sosok dirinya.
Bagaimana bisa dia ada di rumahku? Aku menoleh ke arah ibuku yang mulai tersenyum geli. Yang sedari tadi memang terlihat aneh.
"Ibu, bagaimana bisa?" ucapku terheran-heran.
"Hemm, ibu tinggal sebentar," sahut ibuku meninggalkan kami berdua saling bertatapan.
Aku dan dirinya saling menatap datar.
Aku mencoba bertanya namun hanya bisa mengacungkan telunjuk jariku ke arah pria itu secara perlahan.
Jebran-CEO dingin itu berdiri menahan senyumnya saat diriku mulai mencurigai dirinya.
Aku dan dirinya belum menyapa dengan baik. Sedangkan, aku hanyalah karyawan yang selalu membangkang dari perintahnya.
Aku—seorang wanita yang tidak bisa dicegah oleh siapapun. Akan tetapi, aku selalu meminta izin jika hendak melakukan sesuatu dan sedikit memelas.