Nayara membaringkan tubuhnya di atas kasur sambil menunggu William membersihkan dirinya.
"Nostalgia ya Will," kata Nayara setelah melihat William keluar dari kamar mandi.
"Nostalgia kenapa?" Tanya William sambil menoleh ke arah Nayara yang sedang memerhatikan setiap sudut kamar lama William.
"Ya dulu kamu pernah tinggal di sini."
"Kenapa kamu nggak bawa komputer game kamu, Will?" Tanya Nayara.
"Nggak papa."
Alasan William yang sebenarnya adalah agar tidak terganggu saat bekerja. Karena William bisa menghabiskan sebulan penuh tanpa keluar kamar hanya untuk bermain game.
"Sini aku peluk," kata William lalu memberikan lengannya untuk dijadikan bantal oleh Nayara.
"Sehat-sehat ya anak Papa, Papa nunggu kehadiran kamu di dunia Sayang." William berucap sambil mengelus pelan perut Nayara.
"Iya Papa, tunggu aku lahir ya. Jangan ninggalin Mama demi perempuan lain," jawab Nayara yang mewakili calon bayinya.
"Nggak akan, cuma Mama seorang yang bakal jadi wanita Papa." Kata William sambil terkekeh.
"Bisa kan aku pegang omongan Papa?" Nayara masih melanjutkan permainannya.
"Bisa, kalau Papa berkhianat kamu bisa menggal kepala Papa."
Nayara diam, begitu juga William. Rasa bahagia menyelimuti keduanya.
"Kak Niko gimana kabarnya, Sayang?" Tanya William sambil terpejam.
"Dia baik, tapi kehidupan rumah tangganya enggak," jawab Nayara.
"Kenapa gitu?"
"Mereka dari awal udah nggak cocok, harusnya Kak Niko nggak ngambil risiko untuk nikahin Kak Raya. Dia maksain dirinya untuk jadi suami, dimana kondisinya Kak Niko belum siap," kata Nayara.
Nayara juga sebenarnya khawatir karena Nicholas. Tapi dia memilih untuk tak ambil pusing untuk kesehatan janinnya.
"Tumben aku lihat Kak Niko ngambil keputusan tanpa berpikir."
"Dia udah berpikir, tapi maksain. Ngerti nggak?"
"I-iya ngerti."
Mendadak nada suara Nayara menjadi naik. Akhir-akhir ini juga emosi Nayara menjadi tidak stabil. Sering tiba-tiba marah, sedih yang berlebihan, bahagia yang berlebihan dan banyak lagi. William dapat memaklumi itu, mungkin itu pengaruh dari kehamilan Nayara.
"Maaf ya Will, aku sering marahin kamu ya sekarang?" Tanya Nayara dan mengeratkan pelukannya di perut William.
"Nggak, masih parahan waktu pacaran dulu. Kamu sensitif banget, kalau sekarang udah mendingan. Kamu berubah jadi lebih bisa mengatur emosi," jawab William lalu membelai rambut istrinya itu.
"Iya kah? Kamu nggak bohong 'kan?" Nayara mendongak agar bisa melihat wajah suaminya itu.
"Nggak, ngapain juga aku bohong? Apa untungnya coba? Sekarang jangan pikirin tentang apa pun lagi, kamu tidur. Nggak boleh banyak pikiran inget 'kan kata Tante Renata?" William makin mengeratkan pelukannya.
****
"Ayo anak-anak buruan naik ke mobil. Udah siang nanti telat." Freya berteriak memanggil kedua anak kembarnya.
"Siap Bunda!"
Ini adalah hari pertama anak kembarnya masuk sekolah dasar. Jadi, untuk beberapa hari Freya akan menemani putri mereka.
"Ayo Bunda juga cepetan dong. Nanti kita semua terlambat," kata Tania.
"Iya sabar, masih ngambil dompet tadi. Udah ayo jalan pak supir," ucap Freya.
"Supir pala Lu! Gue suami Lo ya Fey, jangan lupa. Dosa Lo entar," kata Nathan yang duduk di kursi kemudi.
"Orang yang nyetir namanya apa?" Tanya Freya.
"Iya aku juga tahu namanya supir, tapi jangan manggil aku sebagai pak supir juga kali. Bikin malu dunia persilatan aja kamu nih," omel Nathan.
"Udah jangan marah-marah, nanti kamu cepet jadi buyut. Udah tua harusnya udah sadar umur," kata Freya lalu memoles sedikit bedak dan make up di wajahnya.
"Kamu juga harusnya makin tua tuh nggak usah ngurusin bedak lagi."
"Bunda sama Papa bisa jangan ribut?" Tanya Tania.
"Nggak lihat kita lagi baca buku pelajaran?" Kata Sania.
"Bukunya dibalik dulu cantik," kata Nathan sambil menggeleng.
"Oh iya, hehe maap." Sania terkekeh kecil karena kebodohannya.
"Kalian jangan nakal-nakal yah, harus bisa jaga diri. Jagain juga satu sama lain. Kalian udah besar sekarang." Freya berjongkok di hadapan kedua putrinya.
"Iya Bunda."
"Bunda tinggal gapapa kan? Nanti pulang sekolah Bunda jemput lagi."
"Dada Bunda." Nia Twins akhirnya masuk ke dalam sekolahnya.
Setelah itu Freya masuk ke dalam mobilnya. Nathan tidak ikut turun karena tidak tega melepas anaknya sekolah.
"Nathan kamu nangis?" Teriak Freya sambil menunjuk mata Nathan yang memerah.
"Nggak!" Nathan mengambil kaca mata hitam lalu memakainya.
"Iya itu kamu nangis, lihat mata kamu merah gitu. Ihh jelek banget sumpah," kata Freya tertawa sambil menunjuk Nathan.
"Kamu ibu yang jahat!" Pekik Nathan.
"Apaan dah? Emang aku nyiksa anak aku?"
"Kamu kok nggak nangis ngelepas anak kita? Kamu nggak punya perasaan!"
"Ngapain aku nangis? Ini udah sikap yang paling baik. Aku seneng karena anak aku udah bertumbuh dengan baik, dan aku juga sebenernya sedih tapi bahagia." Ucap Freya sambil berusaha melepas kaca mata yang di gunakan Nathan.
"Fey! Ini tuh lagi di jalan. Nanti kalau ketabrak gimana?" Freya akhirnya menyerah dan membiarkan Nathan memakai kacamata hitamnya.
"Sayang, anterin aku ke rumah Bunda ya. Aku mau ketemu ponakan aku."
"Paswordnya?"
"Daddy touch me please."
"Bukan."
"Daddy I love you?"
"Bukan juga."
"Daddy… apa dong?"
"Coba lagi."
"Daddy you can have me tonight?"
"Oke aku anterin."
"Dih dasar mesum!" Freya menggeplak lengan kekar Nathan.
"Kan aku suami kamu, salah emang mesum sama istri sendiri?" Protes Nathan.
"Emang kamu udah yakin kalau aku cuma istri kamu seorang?" Freya bertanya dengan alis yang sedikit naik.
"Kamu selingkuh? Fey sumpah jangan kaya Raya ya kamu!"
"Raya? Emang Raya kenapa?"
Nathan merutuki kebodohannya. Baru kemarin sore dia berjanji kepada Nicholas untuk merahasiakan hal itu dari semua orang.
"Nggak kenapa. Cuma asal ngomong aja tadi. Nggak usah dipikirin," kata Nathan dan meneguk salivanya.
"Nggak mau kasih tahu aku? Yaudah turunin aku di sini."
"Kenapa harus turun di sini? Katanya mau ke rumah Bunda?" Tanya Nathan lalu menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
"YA KALAU KAMU NGGAK MAU KASIH TAHU AKU TURUN DI SINI! KITA CERAI!" Ternyata mereka berhenti di depan pengadilan.
"Ya ampun Fey, jangan gitu dong. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu Fey please," rengek Nathan menahan tangan Freya.
"Lepas! Males banget aku sama orang kaya kamu! Dasar tukang bohong!" Freya hendak melepas sitbeltnya. Namun di tahan oleh Nathan.
"Jangan gitu, aku kasih deh semua yang kamu mau. Kamu mau belanja di mall sekalian sama mallnya? Boleh! Mau beli es krim di restoran bintang tujuh? Boleh! Sekalian sama restorannya? Aku beliin Fey buat kamu. Tapi please jangan cerai hiks." Nathan memeluk pinggang ramping Freya sambil terus merengek.
Freya menahan senyumnya, gemas melihat tingkah konyol suaminya itu.
"Iya iya nggak jadi cerai. Tapi inget yah janjinya beliin mall sama beliin restoran."
"Siap buk boss!"
"Berarti nggak jadi cerai nih Fey?" Tanya Nathan dan menatap manik mata Freya.
"Iya nggak jadi, emang kamu mau?"
"Nggak Fey." Nathan menggeleng kasar.
"Yaudah, ayo jalan buruan!" Teriak Freya.
"Widih pasangan zaman purba tumben kesini," ucap Bastian yang sedang menggendong putrinya.
"Zaman purba maksud Lo apa?" Tanya Freya.
"Kalian kan udah dari zaman dulu nikahnya. Makanya kita semua memutuskan untuk nyebut kalian sebagai purba couple. Kalau Gue sama Gisel sebagai Amerika couple," jawab Bastian.
"Terus kalau yang lainnya?" Tanya Nathan lalu duduk di sebelah Freya setelah mengambil segelas air di dapur.
"Pasangan Kak Reiga sama Kak Lily itu drama couple. Kalau pasangan Kak Hao sama Kak Alexa itu death couple."
"Kenapa death couple?" Tanya Freya.
"Karena mereka ketemu pas Kak Alex sekarat," jawab Bastian santai.
"Astaga." Freya mengelus dadanya.
"Lanjut yah, pasangan Kak Putra sama Kak Aira tabah couple. Kalau Nayara sama William anti menderita couple, soalnya mereka paling serasi. Kalau Saka sama Astrid toko roti couple. Karin sama Christ monkey love couple."
"Anjing! Monkey love nggak tuh!" Nathan tertawa terbahak-bahak hingga membenturkan kepalanya di sandaran sofa.
"Kak Nathan jangan ketawa keras-keras dong, nanti Mika nangis," kata Gisel yang membawa selimut kecil untuk putrinya.
"Mika siapa Gisel?" Tanya Freya.
"Keponakan Lo Kak, astaga nih orang pikun amat. Udah menopause Lo?" Tanya Bastian dan menggelengkan kepalanya untuk Freya.
"Belum ya! Ini kita berdua lagi ada projek buat adik untuk Nia Twins. Jangan ngawur Lu Bas!" Kata Nathan.
"Nggak gitu, biasanya dipanggil dek Mikayla sama Bunda kok. Tiba-tiba Gisel bilang namanya Mika ya Gue bingung. Maaf ya Gisel, mohon maklum," kata Freya.
"Iya gapapa Kak, aku maklum kok kakak kan udah tua."
"Sialan Lo."
"Maunya dipanggil Mikayla, tapi kalau Gue ngomelin anak Gue nanti kepanjangan takut belibet. Mika aja udah cantik kok. Ya 'kan sayang?" Bastian membelai halus pipi Mika.
"Udah makan belum, Kak? Bunda tadi ada masak perkedel tahu tuh, makan dulu gih."
"Nah, ini yang dari tadi Gue tunggu. Tawaran makan, Gue makan dulu yah," kata Nathan lalu berjalan menuju meja makan.
"Malu-maluin banget sumpah tuh orang. Tapi Gue cinta banget sama dia. Gimana dong? Ada tips nggak Sel?" Tanya Freya.
"Nggak Kak, Gue juga gitu kok. Gue tergila-gila sama adik Lo."
"Kalian ngobrol dulu ya di sini berdua. Ada yang mau Gue bahas sama Kak Nathan."
"Iya silahkan dengan senang hati."
Bastian lalu menyusul Nathan ke meja makan sambil menggendong Mika.
"Apa? Mau makan juga?" Tanya Nathan yang sedang lahap makan.
"Iya, tapi Gue lagi gendong anak. Suapin," kata Bastian.
"Dasar manja, yaudah nih buka mulut." Nathan menyuapi Bastian.
"Lihat deh Kak, suami kita akur yah," kata Gisel sembari tertawa kecil.
"Syukur deh kalau gitu."
"Gue duduk kesini bukan cuma laper doang, tapi ada suatu hal yang pingin Gue tanyain ke Lo."
"Apa tuh?" Tanya Nathan.
"Tentang Kak Reiga sama tantenya Kak Lily." Bastian mendekatkan tubuhnya ke dekat Nathan.
"Awas anak Lo kejepit."
"Jadi Lo tahu 'kan kalau tantenya Kak Lily mulai tinggal di rumah Kak Reiga?"
"Tantenya Lily tinggal di desa kali. Mana mungkin Mamanya Reiga ngizinin dia tinggal di sana."
"Sekarang tantenya Kak Lily tuh tinggal serumah sama Kak Reiga tahu! Suapin lagi."
"Kak Reiga juga awalnya nggak tahu, tapi karena menghormati tantenya Kak Lily makanya di izinin."
"Kok Gue nggak tahu? Berani-beraninya si kunyuk itu menyembunyikan hal yang sangat penting." Nathan menggigit sendoknya kasar.
"Makanya kalau lagi ada kumpul-kumpul itu dateng. Jangan fokus berkembang biak aja Lu!"
"Ya 'kan biar rumah rame, biar nggak sepi kek kuburan. Percuma rumah bagus tapi nggak ada orang yang nempatin."
"Rumah di film horror biasanya tuh kaya gitu. Rumah bagus tapi nggak ada penghuninya," kata Bastian lalu minum air.
"Terus, kelanjutan dramanya Reiga gimana? Aman nggak dia tinggal bareng tantenya Lily?" Tanya Nathan yang sedang mencuci piring.
"Ya menurut Lo gimana? Apakah dengan sikap tantenya Kak Lily yang kaya setan gitu, Kak Reiga bakal tahan?"
"Ya kan siapa tahu tantenya Lily berubah, jadi peri baik hati gitu."
"Nggak, Kak Reiga ngeluh mulu setiap kali ada kumpul-kumpul. Kakak sepupunya Kak Lily sering nyusahin katanya," kata Bastian dan berdiri karena Mika sedikit merengek.
"Kenapa dia emang nyusahinnya?"
"Setiap minggu dia minta uang ke Kak Lily buat beli setelan kemeja. Katanya di kantornya ada peraturan setiap minggu harus ganti setelan jas biar klien nggak bosen," jawab Bastian.
"Emang dimana dia kerja? Gila kali kantornya ngasih syarat kaya gitu," kata Nathan dan terkekeh.
"Loh? Bukannya dia kerja di perusahaan Lo ya Kak? Sheri Assosiation?" Tanya Bastian yang bingung.
"Gila kali Lo, mana mau Gue nerima karyawan kaya dia. Lagian kalau pun dia bagus kerjanya, nggak bakal Gue terima. Udah jelek image dia di mata Gue," jawab Nathan dan sudah selesai mencuci piring. Nathan lalu kembali dan duduk di tempatnya yang semula.
"Nggak Kak, sumpah Lo nggak pernah nerima dia di perusahaan Lo 'kan?" Tanya Bastian dengan wajah serius.
"Sumpah, Bas. Ngapain coba Gue nerima orang kaya gitu di perusahaan Gue. Bisa-bisa rugi perusahaan Gue kalau punya karyawan modelan kaya sepupunya Lily," jawab Nathan.
"Kak, ini serius jangan main-main. Lo beneran nggak ada nerima sepupunya Kak Lily di perusahaan Lo?" Tanya Bastian lagi.
"Nggak Bas. Kenapa Lo dari tadi mastiin kalau sepupunya Lily kerja di perusahaan Gue? Ada masalah emangnya sama perusahaan Gue?" Kali ini Nathan menanggapinya dengan serius.
"Masalahnya, tantenya Kak Lily bilang kalau anaknya itu kerja di kantor Lo Kak. Waktu denger itu, semua orang pada kaget plus ngatain Lo bego. Ternyata kita yang bego karena udah di bodoh-bodohin." Bastian menggelengkan kepalanya.
"Ini udah termasuk pelanggaran, pencemaran nama baik ini. Di kantor Gue nggak ada peraturan yang mewajibkan karyawan ganti setelan jas selama seminggu. Orang karyawan Gue aja kerja pake baju santai selain hari senin sama kamis," kata Nathan.
"Kita harus kasih tahu Kak Reiga tentang masalah ini. Ini nggak bisa dibiarin, bisa-bisa Kak Reiga sama Kak Lily di kuasain lagi sama tantenya."
"Mamanya Reiga kemana sih? Tumben nggak ikut campur masalahnya Reiga."
"Dia lagi ke Lampung ngurus ijazahnya Egi. Ada masalah sedikit di kampusnya," jawab Bastian.
"Besok Gue tanya tentang kebenarannya ke Reiga. Nggak habis pikir Gue kalau Reiga beneran percaya sama omongan tantenya si Lily. Goblok banget jadi orang!" Omel Nathan kesal.
"Nah, gitu tuh. Persis banget pas waktu kita ngatain Kakak. Gila bodoh banget CEO kita yang satu itu. Nggak mikirin perasaan sahabatnya."
"Makanya, sebelum fitnah cari tahu dulu kebenarannya. Kalau kaya gini kan kalian double dapet dosanya. Dosa memfitnah iya, dosa ngatain juga iya. Lengkap ya, Paps?" Nathan tersenyum senang saat melihat Bastian menatapnya dengan sinis.
"Ya kita kan nggak tahu yang sebenernya Kak. Lagian Lo kan emang biasa nerima karyawan nggak pikir-pikir dulu. Malah asal terima aja," Bastian makin menatap Nathan dengan sinis.
"Kenapa Lo ngelihatin Gue sinis gitu? Mau Gue colok mata Lu?" Teriak Nathan.
"Hooeekk…."
"Nah 'kan, Kak Nathan sih. Bangun jadinya Mika." Bastian menimang-nimang Mika.
"Bastian, biar Mika sama aku aja. Kayanya dia haus deh," kata Gisel lalu mengambil Mika dari tangan Bastian.
"Sayang ayo kita balik, sejam lagi kita mau jemput Nia Twins," kata Freya lalu menggandeng tangan Nathan.
"Bas, Gue balik duluan yah. Kapan-kapan kalau ada kumpul-kumpul lagi kasih tahu Gue yah. Mau Gue pertanyakan tentang masalah ini ke Reiga."
"Besok sore di rumah Kak Putra."
"Kakak balik dulu ya Bas."
"Iya Kak, hati-hati yah. Jaga diri kakak, kalau ada waktu sering-sering mampir kesini," kata Bastian.
"Iya kalau ada waktu. Mika Tante pulang dulu yah cantik. Sehat-sehat yah," kata Freya sambil mengusap tangan mungil Mika.
Nathan dan Freya lalu pergi dari rumah Bastian.
"Tadi kalian ngomongin apaan sih Bas?" Tanya Gisel.
"Masalah Kak Reiga, ternyata Kak Nathan masih buta sama masalah Kak Reiga," jawab Bastian.
"Buta gimana?"
"Kak Nathan nggak tahu apa-apa tentang masalahnya Kak Reiga. Nggak ada yang ngasih tahu dia ternyata."
"Ohhh…"
"Ternyata sepupunya Kak Lily nggak kerja di kantornya Kak Nathan Sel," kata Bastian dan membuat Gisel terkejut.
"Jadi?"
"Itu cuma embel-embel supaya mereka bisa tinggal sama Kak Reiga. Itu pencemaran nama baik. Kak Nathan mau ambil solusi secara kekeluargaan dulu, kalau nggak bisa baru hukum."
"Kalau aku jadi Kak Nathan juga nggak mau kali kalau ada yang ngejelekin perusahaan aku."
"Dari awal aku udah curiga sama Bang Andi. Nggak mungkin Kak Nathan yang punya dendam kesumat sama dia, nerima gitu aja di perusahaan dia," kata Gisel.
"Udah lah, jangan ikut kebawa emosi. Biarin masalah itu mereka yang nyelesaiin. Ayo tidurin Mika di kamarnya."
Nathan, Reiga, Nicholas, Hao, dan Putra kini sedang berada di sebuah kafe. Mereka sudah memutuskan untuk bertemu saat jam istirahat kantor.
"Bego banget Lu!" Nathan menggeplak belakang kepala Reiga yang duduk di sebelah kanannya tiba-tiba.
"Sialan! Apa-apaan sih Lo? Main geplak aja!" Omel Reiga.
"Kenapa sih, Nath? Ngapain Lo geplak kepalanya Reiga?" Tanya Putra.
"Kalau kepalanya Reiga putus Lo mau gantiin kepalanya?" Kata Hao.
"Gampang! Ganti aja pake kepala simpanse biar sekalian otaknya tambah pinter!" Teriak Nathan.
"Kenapa sih Lo, Nath? Astaga. Jelasin dong masalah Lo apa sama Gue! Nggak usah pake nyindir-nyindir segala! Kaya cewek aja Lo," kata Reiga.
"Tante nya Lily beneran tinggal di rumah Lo Rei?" Tanya Nathan kesal.
"Iya, kenapa emangnya? Harusnya Lo udah tahu," Reiga memutar bola matanya malas.
"Gimana Gue bisa tahu? Emang Lo ada cerita sama Gue?"
"Lo tuh gimana sih Nath," kata Hao.
"Gimana apa?"
"Kan sepupunya Lily kerja di perusahaan Lo. Harusnya dia udah cerita dong sama Lo tentang masalah ini? jangan bilang Lo lupa lagi sama mukanya makanya Lo nerima dia di perusahaan Lo," kata Hao lagi.
"Nggak ada ya, yang namanya Gue nerima sepupunya Lily yang kaya dakjal itu di perusahaan Gue! Kemarin Bastian yang bilang ke Gue kalau tantenya Lily tinggal serumah sama Lo, terus sepupunya Lily kerja di perusahaan Gue itu baru kemarin juga Gue tahunya, kampret!" Nathan berdiri sambil menunjuk satu per satu teman-temannya.
"Jadi?"
"Fuck! Gue kena tipu!" Reiga mengusap wajahnya kasar.
"Lo pikir dong baik-baik Rei. Ada peraturan di perusahaan Gue yang mewajibkan karyawan Gue harus ganti setelan jas tiap minggu? Sedangkan Lo tahu sendiri gimana outfit karyawan di kantor Gue biasanya," Nathan mengguncang pelan bahu Reiga. Terlalu frustasi dengan kebodohan temannya yang satu itu.
"Gue juga kaget denger tante nya Lily bilang kalau Andi diterima di perusahaan Lo. Dia main hp aja masih kaya jamet."
"Jamet kaya gimana Rei?" Tanya Nicholas.
"Kalau gini aja baru tertarik Lo!" Hao memukul bahu Nicholas.
"Selfie terus rambutnya menjulang tinggi ke atas bak sarang burung. Kayanya sarang burung lebih aesthetic dari pada rambutnya," kata Reiga terkekeh.
"Bangsat nih orang!" Nicholas tertawa terbahak-bahak.
"Tindakan Lo selanjutnya apa? Mau Lo apain tantenya Lily sama anaknya?" Tanya Putra.
"Gue bakal diskusiin ini sama istri Gue dulu sih. Soalnya mau bagaimana pun mereka juga tetep keluarga nya istri Gue. Kalau Lily nggak baik-baik sama mereka, udah Gue suruh angkat kaki mereka di bawah tiang bendera selamanya."
"Emang Lily baik sama mereka?" Tanya Hao.
"Baik banget cuyy. Apa pun yang diminta Andi pasti dikasih. Pernah Gue nggak sengaja lihat Lily diem-diem ngasih uang ke tantenya. Gue sih nggak masalah ya kalau Lily hamburin duit buat dirinya, masalahnya ini dia tuh ngasih uang ke orang yang salah." Reiga berucap dengan tergesa-gesa.
"Lebih baik Lo kasih tahu baik-baik si Lily. Nasihatin dia, di dalam rumah tangga suami itu berperan penting dalam melindungi istrinya. Lily mungkin nggak tega ngelihat tante sama sepupunya di gituin," kata Nathan.
"Iya deh suhu!!!!!" Teriak Hao dan Reiga.
"Lo tuh di nasihatin malah ngeyel! Terus tantenya Lily tidur dimana?"
"Awalnya di pavilium, tapi karena disana dingin Gue mutusin buat nyuruh mereka tidur di kamar bawah. Lumayan luas dan anget juga sih, ya not bad lah," ucap Reiga yang membuat semua temannya melongo.
"Nggak inget Lo kejadian waktu Lo ngelamar Lily? Lo di apain sama tantenya Lily, Rei?" Tanya Nicholas.
"Itu kan masa-"
"Mama sama adik Lo gimana? Masa lalu?" Tanya Nicholas lagi.
Reiga diam, tak bisa berpikir.
"Rei, cinta boleh. Tapi kalau masalah yang ini Gue saranin Lo usir aja tantenya Lily, kasih pengertian ke Lily kalau dia nggak boleh baik sama tantenya. Perasaan Mama Lo gimana? Udah Lo tanyain belum?" Tanya Nicholas.
"Mama Lo tuh sayang sama Lo, walau pun dia bukan ibu kandung Lo. Seenggaknya Lo pikirin hal kecil kaya gitu deh. Bego banget jadi orang," kata Nicholas dan meminum teh hangatnya untuk meredakan emosi.
"Kalau udah sampe Nicholas yang nasihatin Lo. Hidup Lo lagi nggak baik-baik aja Rei. Lihat kantung mata Lo tebel banget, udah kek tuyul aja," kata Nathan.
"Lily juga harusnya bisa ngerti, dia lagi di rumah siapa. Kalau kaya gitu, kesannya kaya nggak menghormati suami sama mertuanya. Padahal niat Lily udah baik mau bantu tantenya, tapi kalau ngasih uang sembuny-sembunyi itu Gue juga nggak bisa terima sih," kata Putra.
"Omongin baik-baik aja Rei, santai aja. Nggak bakal kok Lu di ceraiin cuma gara-gara masalah gini. Bersikap tegas mulai sekarang. Tegas dalam konteks wajar yah, jangan tegas main tangan," kata Putra.
"Thanks ya semua, kayanya hari ini mata batin Gue di buka deh sama kalian. Sekali lagi terima kasih atas pencerahannya ya para suhu," kata Reiga tulus.
"Kalau Lo masih belum bisa ngontrol masalah ini, kasih tahu Gue. Biar Gue bisa langsung tindak lanjut masalah ini," kata Nathan.
"Terus mau Lo apain sepupunya Lily tentang pencemaran nama baik perusahaan?" Tanya Hao.
"Lo diskusi dulu sama Lily, labrak sepupu nya Lily. Kalau dia masih ngotot lapor sama Gue," kata Nathan.
"Ehh Gue mau balik ke kantor ya. Udah lewat jam istirahatnya," kata Hao.
"Soon jadi bos Lo ya?"
"Yoi, masih lama tapi." Hao lalu mengambil jasnya dan keluar dari sana.
"Nik, Lo nggak balik ke kantor?" Tanya Reiga.
"Nggak, Gue masih bisa santai. Suka-suka Gue sih kalau mau ke kantor telat atau nggak. Kan perusahaannya punya Gue pribadi," kata Nicholas dengan senyuman miring.
"Sialan nih orang!" Reiga menggeplak kepala Nicholas lalu ikut menyusul Hao begitu juga dengan Putra.
"Enak banget hidup Lo Nik, Nik." Nathan menggeleng dan berdiri dari kursinya.
"Lo nggak bilang ke siapa-siapa 'kan tentang masalah kemarin?"
"Nggak, tapi Gue nyeplos dikit ke Freya. Tapi masalah itu udah di lupain. Tenang aja, Gue bantu Lo ngelabrak si Josh."
Kedua anak kembar itu masih lanjut mengobrol di kafe itu hingga sore hari.