Chereads / OUR JOURNEY / Chapter 122 - Bab 121

Chapter 122 - Bab 121

"William!" Pekik Thomas di ruang tamu mansion William.

William segera turun dari kamarnya dan segera menemui ayahnya.

"Dua hari kamu absen dari kantor, kemana?"

"William..."

"Saham kantor menurun 2 persen karena karyawan kamu gak becus kerja! Setelah ini papa tunggu kamu di kantor!" Thomas pergi dari mansion William.

William menghela napas lalu bersiap pergi ke kantor walau badannya masih terasa sangat lemas.

Nayara baru saja kembali dari supermarket untuk membeli bahan-bahan makanan. Nayara masih belum menyadari jika William tidak ada di mansion. Gadis itu memasak sup dan beberapa nugget untuk William.

"William?" Nayara tersadar ketika ia memasuki kamar William, dan tunangannya tidak ada di sana.

"Permisi pak, William kemana?" tanya Nayara kepada salah satu penjaga.

"Tuan William berangkat ke kantornya pagi ini Nona," jawab penjaga itu.

Nayara memasukan sup dan makanan lainnya yang sengaja ia buat untuk William ke kotak makan. Nayara tahu jika William bekerja karena keteledorannya, ia lupa memberitahu Thomas jika William sakit.

Nayara berjalan cepat menuju ruangan William. Dilihatnya, laki-laki itu sedang memijit pelipisnya sambil menutup dan membuka berkas-berkas yang sudah menumpuk di atas meja kerjanya.

"William," panggil Nayara lirih lalu memijit kepala tunangannya tersebut.

"Sayang? Ngapain kesini?" Tanya William lalu menghadap ke arah Nayara.

"Maaf, pasti Om Thomas marah ya sama kamu? Aku lupa ngasih tahu kalau kamu sakit."

"Gapapa, emang rencananya pagi ini aku mau ke kantor juga."

William memeluk pinggang Nayara dan Nayara mengelus rambut belakang kepala William.

"Nayara, sebaiknya kamu jangan memanjakan William!" Thomas tiba-tiba saja sudah ada di depan pintu ruangan William.

"Om, William..."

"Saya gak mau denger pembelaan kamu! William itu laki-laki tidak boleh lengah dengan tugasnya! Saya harap kamu bisa mengerti itu!"

"Om, William kemarin sakit dan Nayara lupa ngasih tahu om tentang itu. Tolong, biarin William istirahat sebentar aja."

Nayara memohon kepada Thomas dengan mata yang berkaca-kaca. Tak tega rasanya melihat tunangannya harus bekerja siang dan malam.

"Jadi kamu sakit, William?" tanya Thomas lalu mendekat ke arah William. Sontak Nayara memundurkan langkahnya.

Plak!

Thomas menampar keras pipi William.

"Jangan lemah! Papa nggak pernah ngajarin kamu lemah kaya gitu! Sembuh!" Thomas lalu keluar dari ruangan William, dan mengelus rambut Nayara lembut sebelum pergi.

"Saya sayang sama William terutama kamu. Makanya om seperti itu ke William," ucap Thomas sebelum pergi.

"Sakit ya? Aku bakal temenin kamu kerja seharian," Nayara mendekat lalu mengelus pipi William yang ditampar.

"Iya," William menyenderkan kepalanya di bahu Nayara. Sekarang, William tengah duduk di sofa akibat rasa sakit di kepalanya.

Nayara merasakan napas William kian melemah. Perlahan kesadaran laki-laki itu hilang.

"William? Hei, Will. William?"

Nayara segera menelpon satpam yang bertugas. Thomas juga ikut turun tangan menangani William yang pingsan.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"

"Tuan William menderita penyakit tipes. Faktornya, karena kurang makan atau telat makan, kelelahan, dan stress. Mulai hari ini Tuan William harus menjaga pola makan dan pola tidurnya. Itu saja yang dapat saya sampaikan, saya permisi dulu."

Thomas membeku di tempat. Apakah dia terlalu keras menyuruh William bekerja?

"Om, Nayara minta tolong sama Om, jangan paksa William buat kerja keras. Karena tanpa disuruh pun William bakal berusaha buat ngembangin perusahaan. Nayara cuma nggak mau ngelihat William minum pil setiap hari," kata Nayara sambil menunduk.

"Maafin saya ya Nayara. Saya hanya tidak mau jika nama keluarga saya ternodai karena William tidak bisa membahagiakan kamu dan tidak pantas untuk kamu. Saya malu, jika nanti Tuan Rivano dan Nyonya Sherina merasa kecewa kepada William."

"Nggak mungkin om, William sudah sangat-sangat pantas untuk Nayara."

"Bagi kamu memang William itu sudah pantas karena kamu benar-benar mencintai dia. Tapi apakah keluarga kamu akan menerima jika kamu hidup susah atau kurang? Saya tidak ingin melihat kamu kesusahan, karena hidup susah itu berat biar William saja."

"Makasih ya om," kata Nayara.

Thomas memeluk calon putrinya itu dan mengelus kepala Nayara.

"Mulai sekarang saya gak bakal paksa William lagi. Saya percaya sama kalian berdua."

"Pa, itu tunangan William jangan direbut," kata William lemah. William diam-diam mendengar samar obrolan Ayah dan tunangannya.

"Iya Papa tahu. Udah ya Nayara Saya pergi duluan."

Nayara mengangguk dan Thomas keluar dari ruangan rawat.

"Kamu gapapa?" Tanya William sambil menggenggam tangan Nayara.

"Yang harusnya nanya itu aku William. Kamu tiba-tiba pingsan pas aku peluk."

"Nggak tahu, bangun-bangun udah di sini aja hehe." William menarik Nayara hingga duduk di pinggir brankar lalu memeluk pinggang gadisnya.

"Kamu bilang apa aja sama papa? Kamu omelin papa ya?"

"Iya."

"Serius?"

"Bercanda, yakali. Cuma minta tolong supaya om Thomas gak marah-marahin kamu kalau kamu lagi istirahat."

"Berani yah, aku dari kecil sampe sekarang gak pernah ngelawan papa. Apalagi ngobrol heart to heart."

Nayara mengelus kepala William lembut. Merasakan hawa panas dari badan William.

Selang beberapa menit, William sudah si izinkan pulang. Sebelum itu, William sudah makan masakan Nayara. Walau pun rasanya tidak seenak waktu baru matang.

"Nanti malem aku gak tidur di sini ya Will. Mama sama papa bakal balik ke Afrika soalnya," Nayara membantu William untuk tidur di kamarnya.

"Aku ikut ke rumah kamu ya? Gak mau di tinggal sendiri." William lagi-lagi menarik Nayara sehingga duduk di pinggir kasur dan memeluknya.

"Gak bisa nanti kamu tambah sakit."

"Sayang..." rengek William.

"Nggak Will, nanti dokter pribadi kamu bakal ngurus semua. Mulai dari makan, mandi, istirahat, kebersihan, semuanya pokoknya."

"Iya udah, titip salam nanti sama tante Sherina sama om Rivano."

Suasana siang hari di rumah Freya dan Nathan selalu bising. Tania dan Sania baru saja kembali dari playground bersama Nathan. Waktu bersantai Freya kini telah usai.

"Bunda!!! Papa nakal hiks," teriak Sania.

"Semuanya dimulai sekarang! Semangat!!" Freya menyemangati dirinya sendiri.

"Bunda!!!!"

"Iya Sania ada apa? Siapa yang nakal? Papa nakal ya? Sini biar bunda hajar si papa!"

"Bunda nggak boleh nyentuh papa Tania!" Tania menghadang jalan Freya.

"Tania minggir! Bunda mau hajar papa jahat! Ihh Tania minggir!"

Tania dan Sania berakhir saling dorong mendorong satu sama lain. Freya dan Nathan sudah terbiasa dengan hal ini.

"Kalian berdua kalau masih berantem bunda masukin kolam kaya waktu ini mau?"

Tania dan Sania langsung diam setelah mendengar ancaman Freya.

"Ayo ganti baju abis itu makan siang."

"Siap bunda!" Sebelum masuk ke kamar mereka, Nia Twins terlebih dahulu mencium punggung tangan Freya. Harusnya tadi pas baru sampe.

"Gimana hari ini di kantor daddy?" Tanya Freya sambil membantu Nathan melepas kemejanya.

"Nakal banget yah kamu manggil daddy daddy."

"Kok nakal? Aku kan manggil suami sendiri."

"Mau di hukum?" tanya Nathan dengan senyum khasnya.

"Di hukum mulu perasaan, jahat banget!"

Pluk!

"Aduhh!" rintih Nathan saat Sania memukul bokongnya.

"Eh eh Sania kok mukul papa? Minta maaf dulu," kata Freya.

"Sania tadi denger papa mau hukum bunda! Enak aja main hukum-hukum!"

"Bukan hukum yang jahat kok sayang, hukum yang enak," kata Nathan lalu menggendong Sania dan pergi ke meja makan. Di sana sudah ada Tania yang bersiap untuk makan.

"Emang ada hukuman enak?"

"Ada dong. Nanti kamu pasti tahu."

"Nathan!" peringat Freya sambil mempelototi Nathan.

"Kenapa bunda kok ngelihat papa kaya gitu?" tanya Nathan dengan wajah yang menyebalkan.

"Ihh kamu nih!"

Pukk! Pakk! Pukk! Pukk! Pakk!

"Hiks, sakit tahu!" rintih Nathan dengan wajah memelas setelah di hajar oleh Freya.

"Uwahh bunda keren," kata Nia Twins bersamaan.

"Makanya jangan bangunin macan tidur! Makan makanannya!" perintah Freya dan di turuti oleh suami dan anak-anaknya.

"Nanti malem kita semua ke rumah Oma, Oma mau pergi ke Afrika lagi."

"Mama mau balik malem ini?" tanya Nathan.

"Iya, kamu ini anaknya gimana bisa gak tahu?"

"Ya kan aku sibuk."

"Tania, Sania, nanti gak boleh nangis sambil teriak-teriak kaya waktu ini yah. Gak baik nangis di tempat umum. Kalau kalian gak nangis nanti bunda ajak beli mainan yang banyak pake uang Papa," ucap Freya.

"Yess! Beli slime lagi!!"

"Ayo tidur siang dulu," Freya menidurkan Tania dan Sania. Setelah itu, Freya kembali ke kamarnya dan tidur bersama Nathan.

"Anak-anak kemana?"

"Udah tidur."

"Kita mau tidur apa gitu?" tanya Nathan.

"Kamu mau?"

"Topiknya apaan?"

Tenang-tenang, ritual pasangan ini sebelum tidur adalah bergosip.

"Oh iya, aku udah cerita belum tentang Raya sama Niko?"

"Belum, emang mereka kenapa?"

"Raya kayanya masih virgin deh," kata Freya sambil menghela napas.

"Niko belum cetak gol?" tanya Nathan kaget dan langsung menghadap Freya dengan siku yang menopang kepala.

"Kapan hari aku main ke rumah mama terus ngelihat Raya kerja. Padahal itu hari honeymoon nya mereka."

"Niko pernah bilang, kalau dia masih ragu buat lanjutin hubungannya bareng Raya. Tapi entah kenapa tiba-tiba malah jadi nikahnya. Aku sama temen-temen pada kaget sih serius denger kabar kalau Niko mau nikah. Dia gak ada diskusi soalnya sama aku."

"Niko beneran ngerasa kaya gitu? Kasihan Raya gak sih?"

"Raya juga suspicious menurut aku."

"Hah? Raya? Kenapa gitu?"

"Inget Josh nggak?"

"Mantan Raya? Dia balik?" Freya berteriak dan membelalakan matanya.

"Kemarin, aku lihat Raya jalan berdua sama Josh. Awalnya aku berpikir positif karena Josh kan juga jadi guru, kali aja dia kerja sama Raya."

"Nicholas tahu kalau Josh deket sama Raya lagi?"

"Nggak tahu kayanya, Niko terlalu sibuk sama perusahaannya. Padahal kalau di tinggal sehari buat mesra-mesraan sama istri juga gak bakal bangkrut."

"Nggak boleh ngomong gitu! Dia saudara kamu juga. Btw, Nayara apa kabar ya? Udah lama gak ketemu dia sama William."

"Mereka sekarang tinggal di mansion yang lumayan jauh dari kota. Makanya jarang kumpul."

Siang itu, mereka berdua banyak membicarakan tentang hal-hal random. Bahkan mereka juga membicarakan tentang pemilu selanjutnya.

****

Raya sudah menyelesaikan pekerjaannya dan kini ia akan pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan, ia tidak sengaja berpapasan dengan Josh yang juga merupakan seorang guru les di tempat Raya bekerja.

"Hai, Raya. Udah selesai ngajar?" Tanya Josh santai. Hubungan keduanya sudah membaik dari kali terakhir bertemu.

"Iya nih, Lo baru mau ngajar?" Balas Raya. Josh mengangguk mengiyakan perkataan Raya.

"Kalau gitu, Gue duluan ya."

"Ray, kalau boleh Gue mau minta waktu Lo sebentar bisa?" Tanya Josh ragu.

"Mau ngapain?"

"Itu, ada murid Gue yang katanya tertarik belajar Bahasa Jepang dan Gue dipercaya buat nyariin dia guru les, dan kebetulan Gue kenal sama Lo. Lo tertarik?" Tanya Josh.

"Mau banget!" Pekik Raya senang.

"Nanti di kafe depan jam tiga sore. Lo bisa 'kan?" Tanya Josh.

"Bisa, kalau gitu Gue duluan ya. Sampai ketemu nanti sore," kata Raya lalu pergi dari sana.

Raya, Josh, dan murid Josh sudah bertemu di kafe yang Josh maksud.

"Ray, kenalin dia..."

"Konnichiwa! Watashi nama e wa Sisi desu! Yoroshiku onegaishimasu! (Halo! Nama saya Sisi! Mohon bantuannya!)" Gadis itu menyela ucapan Josh. Josh hanya menggeleng dan membiarkan Sisi berinteraksi dengan Raya.

"Wah, sebelumnya kamu pernah belajar Bahasa Jepang?" Tanya Raya.

"Nggak sensei, saya cuma belajar lewat anime doang."

"Alasan kamu mau belajar Bahasa Jepang apa Sisi?"

"Biar bisa nonton anime tanpa subtitle. Mohon bantuannya ya sensei," kata Sisi.

"Iya, pasti sensei bantu. Oh iya, ini jadwal sudah sensei tetapkan hari sabtu jam sebelas siang, gimana? Setahu sensei, kamu libur 'kan hari sabtu?" Tanya Raya.

"Iya, terimakasih sensei!" Kata Sisi.

"Iya, sama-sama."

"Saya permisi ke kamar mandi sebentar boleh sensei?" Tanya Sisi yang terlihat menahan sesuatu.

"Iya, silahkan." Sisi kemudian berlari kecil ke arah toilet.

Raya dan Josh sama-sama diam. Sebelum akhirnya Josh berani bertanya terlebih dahulu.

"Gue denger Lo akhirnya nikah ya sama Nicholas?" Tanya Josh.

"Iya," jawab Raya.

"Gue nggak nyangka kalau kalian bakalan beneran nikah. Langgeng juga ya ternyata." Josh tersenyum getir sambil meminum minumannya.

"Iya ya? Siapa yang nyangka juga?" Jawab Raya sambil terkekeh.

"Bentar, ada sesuatu di bibir Lo."

Josh mendekat dan menyentuh bibir Raya.

"Ish, makasih ya." Kata Raya tersipu.

"Iya," jawab Josh. Keduanya lalu tertawa kecil bersama.

Nicholas mengepalkan tangannya kuat. Dia melihat Raya yang sedang duduk berdua bersama mantannya di sebuah kafe.

"Josh, balik lagi!" Kata Nicholas.