"Kalau gitu, gimana jawaban lo? Lo mau nggak jadi pacar gue?."
Dania mengelus dagunya beberapa kali, seolah tengah berpikir namun dengan wajah yang meyakinkan. Membuat lelaki yang berada di sampingnya memiliki harapan.
"Nggak," jawab Dania tegas.
Wajah yang tadinya berseri, kini berubah menjadi masam.
"Kenapa? Kan gue ganteng," ujar Andy.
Gadis itu memutar bola matanya malas.
"Emang ganteng doang cukup?."
"Gue juga kaya, punya duit. Gue bisa kasih semua yang lo mau."
Pletak.
"Aduh.. Kenapa lo malah jitak kepala gue?," tanya Andy kesakitan.
"Lo nggak bisa sama-samain gue dengan semua mantan lo."
"Terus lo maunya apa?," tanya Andy lagi. Ia tidak mengerti pada Dania. Bukannya tadi ia sendiri yang bilang, kalau rupa yang tampan tidak cukup dijadikan modal pacaran?
"Maksud gue itu, gue nggak butuh cowok yang cuma modal ganteng doang. Gue itu butuh cowok yang bisa ngertiin gue, yang bisa kasih gue kasih sayang yang penuh."
"Lo tahu? Gue nembak lo sekarang ini, karena gue sayang sama lo. Jadi, kalau soal kasih sayang, lo nggak usah khawatir. Gue bisa kasih semuanya sama lo," bujuk Andy sekali lagi.
"Tapi gue gak sayang sama lo."
Andy terbelalak. Baru kali ini ada gadis sepolos Dania yang menolaknya secara terang-terangan.
"J-jadi, lo nggak mau jadi cewek gue?."
Dania menggeleng dengan wajah polosnya. Apa ia bodoh atau memang tidak mengerti? Bahwa ada sesuatu yang patah di dalam diri Andy.
"Oke. Gue nggak akan maksa lo. Karena cinta bukan untuk dipaksakan," kata Andy dengan wajahnya yang sudah lemas dan pasrah.
"Ndy, gue yakin kalau lo bisa dapetin yang lebih baik dari gue. Hati gue udah ada yang punya, jadi gue nggak mungkin khianatin dia."
"Lo udah punya pacar? Tapi kok gue belum pernah liat lo jalan sama cowok?," tanya Andy dengan kening mengkerut.
"Hmm.. Nggak, sih," jawab Dania sambil menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa apa-apa. "Tapi gue lagi suka sama seseorang, dan gue nggak mungkin bisa jatuh cinta sama cowok lain," lanjutnya.
Andy yang baru saja patah hati pun hanya bisa mengangguk. Ia tidak boleh egois, memaksakan cinta seseorang hanya untuk dirinya.
Cinta memang tidak bisa jatuh sendirian. Ia bagaikan sepasang sayap yang hanya bisa terbang ketika memiliki pasangan.
"Oke deh. Tapi lo mau kan jadi temen gue?." Andy mengacungkan jari kelingkingnya ke arah Dania. Ia menatap gadis itu dengan senyum yang mengembang.
"Gue mau."
Kelingking mereka saling mengikat. Dania juga ikut tersenyum, ia bersyukur karena Andy tidak menyimpan dendam terhadapnya.
"Gue mau, lo lupain kejadian ini. Karena gue nggak mau ada rasa canggung diantara kita," ucap Andy yang diangguki Dania.
"Ya ampun, Dania. Gue cari ke mana-mana ternyata lo di sini."
Siska datang menghampiri Dania dan Andy yang masih saling mengikat.
"Lho, tunggu, lo berdua ngapain?," tanya Siska menatap keduanya heran.
"Gue sama Andy sekarang temenan," jawab Dania tersenyum sangat lebar.
"Iya, Sis. Lo juga mau kan, jadi temen gue?," tanya Andy pada Siska.
"Dih, pede banget lo. Siapa juga yang mau temenan sama lo." Siska memalingkan wajah dengan kedua tangan yang dilipat di atas dada.
"Siska, lo jangan gitu. Niat Andy baik, lho," ujar Dania.
Siska tetap diam tanpa menoleh ke arah keduanya.
"Sis," panggil Dania.
"Iya-iya, gue mau."
"Nah, gitu dong. Sekarang kita bertiga adalah teman."
Ketiganya berpelukan. Lebih tepatnya Andy yang merangkul kedua teman wanitanya itu.
"Ndy, kenapa lo mau temenan sama kita?," tanya Siska sebari melepas rangkulan Andy.
"Nggak apa-apa, sih. Gue ini kan murid pindahan, jadi gue nggak terlalu banyak punya temen di sini," jawab Andy masuk akal.
Andi memang siswa pindahan dari Jakarta. Ia baru saja masuk di SMA Kencana dua bulan yang lalu. Pada awalnya Andy memang tidak memiliki teman, selain Riko, teman sebangku yang selalu ia ajak bicara ketika di dalam kelas.
"Bukannya lo sama si Riko deket, ya?," tanya Dania.
"Deket, lah. Dia kan temen sebangku gue. Ya kali gak deket," jawab Andy santai dan kembali duduk.
"Tapi gue pengen temenan sama kalian. Kalian keliatannya asyik, terus gak pilih-pilih temen," lanjutnya.
Dania dan Siska saling melempar pandang, lalu ikut duduk di samping kanan dan kiri Andy.
"Kita itu netral, Ndy. Temenan sama siapa aja yang penting dia gak rese," balas Siska.
"Heem.. Dan yang paling penting, mau di ajak susah!," seru Dania. Mereka bertiga tertawa bersama, dan hari ini Andy sudah resmi bergabung dengan Dania dan Siska.
***
"Aduh.. Gue telat. Pasti rapatnya udah mulai."
Dania berlari di sepanjang koridor. Ia lupa kalau hari ini ada rapat seluruh pengurus osis sepulang sekolah. Sejak tadi Dania malah asyik mengobrol dengan Siska dan Andy di saat teman-temannya telah pergi meninggalkan kelas.
"Yaahh.. Pintunya udah di tutup," gumam Dania yang sudah berdiri di ruang osis dengan pintu yang sudah tertutup rapat.
"Gue masuk nggak, ya?," gumamnya lagi sebari berpikir.
"Masuk aja, deh."
Dania menarik nafas terlebih dahulu dan mulai mengetuk pintu dengan perlahan.
"Masuk!."
"Astaga." Tubuh Dania hampir saja merosot. Suara Fayez terdengar sangat menyeramkan.
"Permisi, Kak," kata Dania ketika membuka pintu tersebut.
"Kenapa terlambat?," tanya Shelina dengan nada sinis.
"M-maaf, Kak. Tadi saya lupa."
"Lupa? Kan gue udah kirim di grup kita. Lo nggak baca!?."
Tubuh Dania tersentak karena bentakkan dari Shelina.
"S-saya minta maaf, Kak," ucap Dania lagi.
"Maaf, maaf. Kamu nggak liat semua temen-temen yang lain udah pada kumpul? Apa kamu nggak bisa ngerhagai mereka?."
Shelina beranjak dari kursinya dan menghampiri Dania yang masih berdiri di ambang pintu dengan wajah menunduk.
"Kamu udah bosen ada di osis?," tanya Shelina tepat di depan wajah Dania.
"Ng-nggak, Kak. Aku tadi lupa, beneran. Aku masih betah di sini. Aku minta maaf, Kak." Dania mengangkat wajah dan langsung berhadapan dengan Shelina. Ia menggeleng cepat ketika Shelina mengira bahwa ia sudah bosan berada di dalam organisasi ini.
"Kalau lo masih betah di sini, lo jangan pernah telat. Kita ini lagi mau bahas hal yang sangat penting!."
Suara Shelina terdengar menakutkan dan menggema di seluruh ruangan. Semua anggota yang lain hanya bisa diam dan menunduk karena mendengar Shelina membentak Dania di hadapan mereka.
"Shelina," panggil Fayez datar.
"Gue peringatin sama lo, kalau sekali lagi lo telat, gue bakal---"
"Shelina, lo gak denger gue panggil?." Fayez kembali bersuara. Dan kali ini seperti ada emosi di dalam suaranya.
Shelina yang merasa di permalukan oleh Fayez pun kembali duduk di tempatnya.
"Dania, silakan duduk."
"Makasih, Kak."
Setelah Dania duduk, Fayez kembali melanjutkan rapat yang sempat tertunda.
"Dania, karena kamu baru bergabung, jadi kamu bisa tanya ke Shania apa saja yang tadi kita bahas," ujar Fayez.
"Baik, Kak," jawab Dania.
"Cie. Udah mulai terang-terangan belain doi, nih?."