Delon harus menemui Jeno setelah makan malam.
Kedua pria itu akan membahas mengenai perusahaan dan tentunya membahas tawaran Tio pada Jeno.
Pada saat makan malam Delon telah menjelaskan kepada Jeno jika hubungannya dengan Jenny tidak akan melebihi persaudaraan.
Tapi, tentu saja tidak untuk Jeki ayah Jenny. Jeki akan berusaha membuat Delon bisa menikahi putrinya sebelum ajal Jenny datang.
Jeno sedari tadi memutar otaknya untuk menolak tawaran kakaknya. Namun bukannya ide malah jalan bantu yang ia dapat.
Delon sebenarnya masih mempunyai seorang ayah. Tapi, Jeno belum bisa menemukan sahabatnya itu setelah kecelakaan pesawat yang melanda Delon dan keluarganya.
Seharusnya jika ada ayah Delon semua bisa terkendali. Karena perusahaan ayah Delon juga telah dihitung sebagai salah satu penompang bisnis dunia seperti milik ayah Jeno.
"Pa, aku boleh masuk?" tanya seseorang yang telah berada di muka pintu. "Masuklah," perintah Jeno.
"Apa kamu tidak mau mempertimbangkan Jenny?" tanya Jeno memperjelas keputusan putranya lagi.
Delon menatap Jeno dengan penuh keyakinan. Jika hatinya tidak akan mau menerima Jenny karena sudah ada Rachel di sana.
"Maaf, aku tidak bisa, Pa."
Jeno membuang napas panjangnya, sesungguhnya Jeno juga tidak mau memaksa putranya untuk mencinta wanita yang sama sekali tidak ia cintai.
Namun karena himpitan dan desakkan dari pemegang saham dan Tio membuatnya melupakan segalanya.
"Baiklah... Papa tidak akan pernah memaksamu lagi," ucap Jeno yang mulai membuang keegoisannya sembari menyentuh bahu kekar Delon dengan gentle.
"Terima kasih, Pa. Aku akan membuat perusahaan kita bangkit lagi tanpa aku harus menikahi Jenny," jawab Delon pasti. Jeno mengangguk sebagai jawabannya.
Jeno tidak pernah meragukan cara berbisnis Delon. Pasalnya Delon-pun telah memiliki perusahaannya sendiri di Amerika sehingga Jeno sangat mempercayai putranya yang akan menggantikan dirinya sementara.
"Maafkan Papa belum bisa menjadi Papa yang sebenarnya untuk kamu Boy," tungkas Jeno sedih.
Delon mendirikan tubuhnya lalu menghampiri Jeno yang telah berdiri tidak jauh darinya.
"Akulah yang seharusnya meminta maaf karena tidak bisa membalas budi di kehidupanku yang sekarang untuk menikahi Jenny, Pa ...,"
"Aku sungguh minta maaf," tambah Delon. Jeno menggeleng, "Bukan salahmu, Boy. Ini adalah masalah Papa ... tidak seharusnya kamu terlibat," jelas Jeno bersalah.
"Jangan berkata seperti itu, Pa. Meskipun aku bukanlah anak kandungmu... tapi, kalian sangat berharga bagiku."
Jeno tidak bisa berkata-kata lagi untuk membalas perkataan Delon.
Memang seharusnya yang patut disalahkan adalah dirinya. Jeno menganggap dirinya tidak becus menjadi kepala keluarga yang sempurna.
Dibalik percakapan Jeno dan Delon ternyata ada sepasang telinga yang tidak sengaja mendengar percakapan kedua pria itu.
Mulutnya ternganga mendengar kenyataan yang tak pernah ia ketahui hingga saat ini.
Rachel mendengarkan semua unek-unek dari Jeno dan Delon. Bahkan kenyataan Delon bukan anak kandung papanya-pun Rachel tahu itu.
"Apa yang gue dengar benar? Jadi selama ini kak Delon bukan kakak gue?" gumam Rachel tidak menyangka.
Rachel mulai mendengarkan lagi percakapan antara Jeno dan Delon sembari mencodongkan tubuhnya di antara celah pintu yang terbuka.
"Kenapa kamu menolak Jenny, Boy? Bukan masalah kamu tidak menyukainya 'kan? soalnya banyak pernikahan tanpa cinta dan semua berakhir indah," ungkap Jeno ingin tahu.
Delon hanya diam. Berdiri dengan gaya kerennya. Delon bahkan tidak pernah menyangka cintanya akan tertanam pada putri Jeno.
Jeno yang tidak mendapat jawaban dari Delon hanya bisa mengangguk paham.
"Ah... sudahlah Papa tahu. Jika kamu diam seperti ini berarti jawabannya hanya satu ...,"
"Kamu pasti sudah memiliki kekasih." Jeno menatap Delon dengan seringai sahabat bukan sebagai seorang ayah.
Delon mengulas senyum malunya. Ternyata pria paruh baya di depannya mampu menebak isi hati Delon.
"Siapa dia? Teman sekolah? Teman kuliah atau rekan kerja?" tanya Jeno bertubi-tubi kembali. Delon menjawab menggeleng yang artinya bukan itu semua.
Jeno menghela napas panjangnya lalu berjalan mendekati Delon."Yasudah... siapapun dia tolong suatu hari nanti kenalkan kepada kami. Kamu tahu kan, mamamu itu sudah sibuk ingin cucu," goda Jelon.
"Baiklah. Tapi, aku belum menyatakan perasaanku padanya," tungkas Delon.
Jeno yang mendengar balasan dari putranya-pun langsung melangkahkan kakinya menuju meja kerja Jeno lalu mengambil satu buku.
"Ini... bacalah. Aku yakin calonmu akan langsung menerimamu," kata Jeno sembari melempar buku itu kearah Delon.
Hap
Delon-pun menangkap dengan pas. Alisnya naik satu saat membaca judul dari buku yang diberikan Jeno padanya, "Kiat-Kiat Menjerat Wanita?"
"Apa aku harus membaca ini, Pa? Ini terlalu berlebihan. Aku tidak suka," tolak Delon seakan geli sendiri saat membaca dari awal judul buku itu apalagi isinya menurut Delon.
Jeno mengangkan kedua bahunya saat tubuhnya telah terduduk di bangku kebesarannya. "Simpan saja dulu. Barangkali kamu akan membutuhkannya. Hahaha...."
Delon menghela napas beratnya. Dengan berat hati buku pemberian Jeno-pun ia bawa meninggalkan ruang kerja Jeno.
Saat Delon hendak membuka pintu ruang kerja Jeno. Mata Delon menemukan satu bayangan yang berlari terburu-buru saat pintu itu terbuka olehnya.
Astaga mampus gue! Kakak keluar!
Rachel berlari dengan arah yang tidak jelas karena Rachel bingung. Rachel tidak tahu jika Delon akan keluar secepat itu. Akhirnya Rachel bersembunyi di balik tembok besar di antara ruangan Jeno.
Semoga saja Kakak nggak liat gue...,
Delon melangkah sesuai dengan apa yang ia lihat tadi. Potongan baju piayama Rachel sedikit terlihat sehingga Delon tidak susah menemukan siapa sosok yang telah berada di sana tadi.
"Kenapa nggak masuk, malah di sini?" pertanyaan itu seketika membuat Rachel terhentak terkejut.
Mata Rachel mengerjap beberapakali untuk menyadarkan dirinya jika itu memang suara Delon yang sudah berada di belakangnya.
Bagaimana bisa Rachel terlihat dan ditangkap langsung oleh Delon dengan perasaan yang masih canggung seperti ini.
Rachel dengan ragu memutar tubuhnya lalu memperlihatkan senyum canggungnya. "Aku hanya haus saja tadi," jelas Rachel bohong.
Kebohongan Rachel ini sukses membuat Delon mengernyit. Ruang kerja Jeno dengan almari pendingin jaraknya lumayan jauh. Bagaimana bisa Rachel beralasan seperti itu.
"Yakin? Kulkasnya berada di bawah 'kan? Astaga... apa aku sudah lupa jika kulkasnya telah dipindah?" goda Delon yang memang sengaja melontarkan pertanyaan itu pada Rachel.
Rachel membulatkan matanya. Mulut dan otaknya memang sedang tidak dalam kinerja yang baik karena pesona Delon saat ini.
"Atau kamu sedang menginginkan lagi?" goda Delon kembali sembari memajukan langkahnya.
Mata Rachel membulat waspada saat melihat Delon semakin mengikis jarak di antara mereka.
"Maksud Ka... Kakak apa?" tanya Rachel tergagu tubuhnya menegang saat Delon telah mengunci tubuh Rachel.
"Seperti ini ...," Delon mengulas seluruh wajah Rachel dengan lembut hingga sampai di bibir lembut Rachel.
"Aku menginginkan ini ...." Delon mendekatkan bibirnya. Hampir saja Delon memulai, tapi suara langkah kaki mengejutkan mereka.
"Kak ... jangan seperti ini," ucap Rachel takut.
"Ssssttt... diam!"