Zara menceritakan masalahnya pada Zayn. Awalnya Zara tak ingin bercerita, tapi Zayn bilang lelaki itu bisa membantu masalahnya. Dan berakhir dengan lelaki itu yang menelponnya. Lelaki itu sendiri sempat tertawa saat Zara mengatakan dirinya sendiri begitu bodoh dan hanya bisa menjawab dua soal milik Citra dan Agra. Syukurnya, Zayn memang benar-benar membantu setelahnya. Walau anak lelaki, Zayn tentunya lebih pintar dari Zara. Apalagi lelaki itu pernah memenangkan sebuah olimpiade kimia di tingkat provinsi.
Kalau dibandingkan dengan Citra, semua orang akan mengatakan mereka cocok. Alasannya ya karena Zayn dan Citra adalah dua murid yang pintar. Cantik dan tampan. Apalagi?
Berbanding terbalik jika Zayn disandingkan dengan Zara. Dan, Zara tentu tak akan berpikir jauh tentang itu. Ia menyadari dirinya sendiri.
Semua pekerjaan rumah milik Citra dan Zayn pun sebagian besar Zayn yang mengerjakan. Zara bertugas jadi penulis saja.
"Udah ngantuk tuh, udah selesai kan?" Zayn bertanya di seberang sana.
Lelaki itu sempat melihat Zara menguap lebar tadi. Saat tahu Zara dijadikan babu kedua kakaknya, Zayn memang langsung mengalihkan panggilan telepon ke fitur video call.
"Bentar, punyanya Kak Citra kurang banyak ini. Nanti Kak Citra besok ngomel, kan bahaya," Zara mengalihkan pandangannya pada wajah Zayn yang terpampang di layar, "Kak Zayn kalau udah ngantuk, tidur duluan aja," ujar Zara pada kakak kelasnya itu.
Namun, di seberang sana, Zayn malah menggeleng dengan senyum tipis, "Ngantuk gue ilang pas liat muka cantik lo," katanya menggombal.
Zara tersipu tentunya. Jarang-jarang ada orang yang memujinya cantik. Apalagi ini Zayn ... sosok yang dulu menolaknya terang-terangan. Mempermalukannya di depan banyak orang.
Tak mau pipinya yang merah terlihat oleh Zayn, Zara memilih mengalihkan kamera depan ke belakang sehingga yang tampak oleh Zayn di seberang sana hanya buku-buku Agra dan Citra.
Zara hampir saja memekik kalau tak ingat bahwa Zayn pasti bisa mendengar pekikannya. Gadis itu membekap kuat mulutnya sendiri. Sehingga yang didengar Zayn hanya hening yang melanda.
"Zara? Lo masih di sana? Apa udah tidur?" Zayn bertanya setelah menunggu lama dan tak kunjung ada suara.
Zara menarik napas panjang, lantas kembali mengalihkan ke kamera depan. Ia tersenyum lebar ke arah Zayn yang dibalas dengan senyuman juga olehnya.
"Aku abis dari kamar mandi." Zara terdiam sebentar setelahnya, lantas kembali bersuara.
"Kak Zayn, makasih sebelumnya, aku ngantuk deh kayanya, udah dulu yaa! Bye!" Zara melambai-lambaikan tangannya dengan cepat.
Zayn di seberang sana mengernyit dahi, "Loh bukannya tad--"
Tit.
Zara lebih dulu mematikannya. Ia memekik setelahnya, namun tersadar dan segera kembali membekap mulutnya seperti tadi. Takut-takut saudaranya atau kedua orang tuanya terganggu dan marah padanya.
"Aaa kok aku jadi girang sendiri gini sih." Zara menggiggiti jarinya sendiri.
Zara sendiri juga tak tahu pada tubuhnya sendiri. Baru dikatain cantik oleh Zayn kok segitu bapernya. Gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur dengan terlentang. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan senyum yang tak pudar.
"Kata Kak Zayn aku cantikk!" Zara kembali menggigit jari-jarinya.
Entahlah, bukannya berlebihan. Tapi ... penyebab Zara seperti ini ya karena dirinya sering dikatai jelek, apalagi ini yang memujinya Zayn. Lelaki yang memang masih ada di hatinya. Siapa yang tak girang?
Saking senangnya, Zara sampai lupa bahwa gadis itu belum menyelesaikan tugas milik Citra. Zayn sendiri sudah mengirim semua jawabannya lewat pesan tadi.
Zara tertidur. Gadis itu terlalu senang malam ini, sampai tak membayangkan kalau besok adalah hari yang mengerikan juga.
Catat, kejamnya dunia belum berhenti untuk Zara.
***
"Bangun lo, sialan!" Citra menggoyangkan tubuh Zara agar cepat bangun.
Tentu, Zara termasuk tipe yang mudah dibangunkan, jadi gadis itu kini sudah mengubah posisinya menjadi duduk dengan muka bantal. Dahinya mengernyit tatkala melihat Agra dan Citra di depannya yang sudah siap dengan seragam sekolah mereka.
"Kalian ... ngapain di sini?" Zara bertanya sembari mengucek matanya.
Agra sendiri hanya diam, menatap datar gadjs di depannya. Citra sudah menggeram kesal, tangannya mengepal kuat. Lantas tanpa aba-aba, gadis itu melempar kuat buku miliknya ke wajah Zara.
Ringisan tentu keluar, Zara menatap bingung kakak perempuannya, "Ada apa sih, Kak?" ujar gadis itu bertanya.
Citra kembali menggeram marah, ia menatap nyalang sang adik, "Tugas gue belum selesai, dan lo malah enak-enakan tidur?!" ia berteriak marah.
Zara tersentak kaget. Bodoh, ia buru-buru menarik buku Citra. Membacanya sebentar, ia mengacak rambutnya frustasi. Kurang 3 soal. Bagaimana bisa dirinya tidur begitu saja? Zara bodoh.
Citra menjambak rambut adiknya kali ini, menariknya kuat sampai beberapa helai rambut milik Zara ada di tangannya. Agra sendiri malah memalingkan muka, enggan untuk melihatnya.
"Lo mau gue lapor sama Mama Papa kalau lo ... tumpahin teh ke tugas gue ya?" Nada suara yang Citra gunakan memang lembut, tapi entah kenapa terasa menyeramkan di telinga Zara.
Zara meringis tatkala jambakan di rambutnya tambah kuat. Mata gadis itu sudah berkaca.
"Maaf, Kak, tapi ini salah Kak Citra sendiri. Kakak pintar, kenapa malah limpahin pekerjaan kaya gini ke orang bodoh kaya aku?" Zara mengeluarkan unek-uneknya yang dipendam sejak kemarin.
Jambakan Citra tambah kuat untuk sekian kalinya. Zara merasa ... mungkin rambutnya nyaris terlepas dari pangkal kepalanya.
"Lo berani bales gue?!" Citra berteriak.
Zara ... tak bisa untuk tak mengalah lagi. Gadis itu tak mau memperpanjang.
"Maaf, Kak, aku kerjain ya ini. Kak Citra sama Kak Agra keluar aja dulu, sarapan, aku kerjain." Zara panik, jawaban satu soal saja lumayan banyak. Tapi tak apa, ia akan lebih gesit lagi dalam menulis.
Citra menatap serius adiknya sembari bersidekap dada, "Emangnya lo bisa ... ngerjain dalam waktu sesingkat ini?"
Agra mengangguk setuju, ia menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, "Jam 6, waktu lo nggak banyak," timpalnya.
Zara menghela napas berat, lantas mengangguk pelan, "Aku bisa, Kak. Tapi tolong keluar dulu," pintanya.
Tak mungkin kan kalau Zara menyalin jawaban Zayn di depan mereka? Bisa-bisa Zara dihukum lagi.
Untungnya, Agra dan Citra menuruti. Mereka keluar dari sana walau sedikit bingung kenapa Zara kekeh ingin mereka keluar. Zara sendiri bernapas lega, dan mulai mengerjakan tugas Citra. Ralat ... menyalin jawaban yang sudah Zayn berikan.
Menulis dengan cepat. Zara masih tak mengerti alasan kenapa Citra dan Agra tumben-tumbenan menyerahkan tugas mereka padanya. Bukan karena ia bodoh saja, tapi bukannya tulisan mereka berbeda? Apa keduanya tak takut jika dihukum guru nanti?
Ah, kenapa ia harus memikirkan itu? Sudah pasti Citra dan Agra ingin membuatnya tersiksa dengan soal-soal ini. Tapi ... Zayn menyelamatkannya.
Lelaki itu memang sosok ... pahlawannya.
"Oh, lo dibantuin Zayn ternyata?"
Zara terlonjak tatkala Citra melongok melihat apa yang terpampang di layar ponsel Zara.
"Licik banget lo!"
Brak.
"Kak Citraa!"
Zara berteriak tatkala ponsel satu-satunya yang ia punya ... dilempar begitu saja oleh Citra.
Biadab.