"Zara!"
Langkah pelan Zara jadi berhenti setelah mendengar seseorang memanggil namanya. Sembari memeluk erat tasnya, ia menolehkan kepala. Gadis itu menggigit bibir bawahnya takut tatkala melihat sosok jangkung kemarin yang tiba-tiba menolongnya. Astaga, sepertinya acara jalan santai Zara di trotoar sehabis pulang sekolah malah akan jadi perlombaan lari.
Ingin positive thingking, tapi cutter yang tak sengaja Zara lihat menyembul di saku kemeja lelaki itu mampu membuatnya panik. Belum apa-apa, Zara negative thingking duluan.
Apalagi di tambah jalanan yang ia lewati saat ini benar-benar sepi. Tak ada warung atau sejenisnya, hanya ada pepohonan. Mau tak mau, Zara memilih untuk berlari untuk antisipasi. Beberapa kali menoleh, dan melihat sosok itu mengejarnya dan memanggil namanya.
"Zara berhenti!"
Zara menggeleng kuat, ia mempercepat laju larinya, "Kamu mau bunuh aku!" teriaknya pada sosok di belakangnya.
"Nggak Zara! Saya nggak sejahat itu!"
Tak urung beberapa kali ia hampir tersandung, untungnya ia memakai sepatu sekolah. Saat dirasa sudah jauh, dan suara teriakan itu tak ada lagi. Zara tetap berlari, hanya saja lebih pelan lagi.
"Kak Rayn!" Zara berteriak tatkala melihat sosok yang dikenalnya sedang meneguk air mineral di depan sebuah warung.
Gadis itu segera menghampiri, ia menoleh lagi, dan napas lega langsung berhembus begitu saja.
"Kak Rayn!" panggil Zara lagi. Entah mengapa, hanya berdiri di hadapan Rayn, Zara merasa aman.
Salah satu alis Rayn terangkat, lelaki itu menatap Zara dengan pandangan bertanya, "Lo dikejar setan?" tanyanya dengan nada datar.
Zara menggeleng pelan dengan senyuman, "Ada orang jahat tadi, untung ada Kak Rayn," jawabnya jujur.
Rayn mengedikkan bahu sembari menoleh sekitar. Ramai. Mana ada yang berani melakukan kejahatan di saat-saat ramai seperti ini?
"Gue nggak peduli." Kalimat itu keluar dari mulut Rayn.
Senyum Zara memudar, ia menunduk sebentar, "Kenapa?" tanyanya.
"Ya karena lo bukan apa-apa di hidup gue. Cuma sebatas kenal nama, itu aja." Setelahnya, Rayn membenarkan tas di punggungnya, lantas berbalik dan melangkah pergi.
Tangan Zara terangkat, menyentuh dadanya yang terasa sesak, "Kenapa ... aku nggak percaya kalau kamu bukan Kak Kai?"
Tapi, Zara nekat. Gadis itu malah berlari menyeimbangi langkah Rayn. Ia menatap Rayn yang lebih tinggi darinya. Tapi ... tunggu, tanda lahir di bawah dagu Rayn benar-benar terasa familiar. Zara pernah sekali merasa melihatnya. Tapi dimana ya?
"Jangan ngikutin gue!"
Lamunan Zara buyar, gadis itu mengalihkan pandangan untuk menatap ke depan, "Em, Kak Rayn, boleh aku anggap kamu ... kakak?" tanyanya tiba-tiba.
Rayn tersentak kaget, ia menatap Zara lama, sebelum akhirnya menggeleng pelan, "Nggak, gue nggak mau punya adik jelek."
Jelek? Lagi?
Apa semuanya harus tentang fisik? kulit putih, hidung mancung, rambut sehalus sutra, atau bibir semerah ceri? Apa semuanya hanya tentang itu? tentang patokan cantik yang orang buat?
Langkah Zara langsung terhenti, dan Rayn tetap melangkah. Gadis itu menatap punggung kokoh yang sudah jauh dari tempatnya berdiri.
Matanya berkaca, "Kak Kai ... nggak pernah begitu," lirihnya.
Tak mau menambah sakit hati, Zara memilih untuk berhenti. Gadis itu tak lagi mengejar langkah kaki Rayn. Ia memilih untuk mendudukkan diri sebentar di halte yang kebetulan berada tak jauh darinya.
"Zara!"
Kembali terlonjak, Zara menatap horor sosok jangkung yang berdiri di depannya. Astaga, kenapa lelaki itu baru muncul saat Rayn sudah tak ada? Kalau begini, ia harus minta tolong siapa?
"Saya bukan penjahat, really." Lelaki yang kemarin memperkenalkan diri sebagai Gibran akhirnya buka suara.
Zara memeluk tasnya erat, matanya menyorot penuh ketakutan, "Tapi kamu bawa cutter," ujarnya sembari menunjuk ke sebuah arah.
Gibran menunduk, dan tertawa setelahnya, ia mengambil cutter-nya dan segera membuangnya ke tong sampah, "Ck, ini cutter buat praktek di sekolah tadi, kamu parnoan banget. Lagipula di sini rame, mana mungkin saya berani? yang ada saya masuk penjara."
Benar juga. Zara menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia menyengir, merasa malu pada kebodohan yang dibuat dirinya sendiri.
"Maaf," ujar Zara pada akhirnya.
Gibran mengangguk, dan mendudukkan diri di sebelah Zara. Ada rasa canggung di hati Zara pada lelaki asing di sebelahnya.
"Kak Gibran ngapain tadi manggil Zara?" tanya gadis itu.
Gibran mengulas senyum tipis, "Saya pikir, kamu butuh tumpangan."
Sejenak, Zara merasa ... senyum Gibran lebih manis dari milik Zayn.
***
Setelah berbincang cukup panjang, akhirnya Zara mau diantar pulang oleh Gibran dengan motor sport milik lelaki itu. Namun, Zara tidak bodoh tentunya. Yang tahu dirinya adik Agra dan Citra hanyalah Zayn. Jadi ... ia meminta diturunkan di depan gang komplek saja.
"Saya bisa anterin kamu sampai rumah," ujar Gibran untuk kesekian kalinya.
Namun, Zara menggeleng kuat, "Kakak pulang aja, makasih tumpangannya, dan hati-hati," balasnya.
Gibran menghela napas panjang, sebelum akhirnya memilih untuk mengangguk dan segera melajukan motornya. Zara sendiri langsung mengusap dadanya lega.
Gadis itu berbalik, melangkah menuju rumahnya. Ia sempat menyapa satpam kompleknya dengan senyum tipis, namun malah dibalas dengan muka sinis. Dan Zara sudah biasa akan hal itu.
"Hai adik kesayanganku."
Zara tersentak kaget tatkala Citra tiba-tiba merangkulnya. Gadis itu menatap Citra horor.
"Kok kaya kaget gitu? emangnya gue nggak boleh rangkul adek sendiri?" tanyanya dengan senyum lebar.
Tapi bagi Zara, senyum itu seolah jadi penanda petaka untuknya. Apa yang akan terjadi kali ini?
"Ayo jalan!" titah Citra tatkala langkah Zara berhenti.
Zara menggeleng pelan, "Kak Citra duluan aja, nanti ada yang lihat kakak jalan sama si jelek kaya aku, bisa-bisa langsung heboh di berita."
Benar. Zara kapok. Pernah sekali ia memaksa untuk ikut lari pagi dengan Citra, Kai, dan Agra. Media langsung heboh menanyakan siapa dirinya. Dan akhirnya, ia dapat hukuman dari kedua orang tuanya seperti biasa. Pukulan, tamparan, atau cambukan. Alasannya, ya karena kedua orang tuanya terlalu malu memiliki anak jelek sepertinya.
Citra mengulas senyum tipis, lantas kembali merangkul bahu Zara. Gadis itu memaksa Zara untuk tetap melangkah.
"Jalan, atau ... gue bakal laporin ke bokap nyokap tentang nilai sampah lo hari ini?"
Zara memejamkan mata, selalu saja begitu. Dengan segenap keterpaksaan, Zara memilih untul melangkah beriringan dengan Kakak perempuannya.
"Btw, Zayn sekarang sering bela lo ya?" tanya Citra disela perjalanan mereka menuju rumah.
Zara terdiam, sebelum akhirnya mengangguk pelan, "Kakak jangan cemburu, Kak Zayn cuma kasihan sama aku. Karena adiknya sama juga kaya aku, dibully juga. Aku juga udah ketemu adiknya, dia ... cacat, makanya dibully," jawabnya cepat. Ia takut Citra salah paham padanya.
Dahi Citra mengernyit, "Lo pernah dibawa ke rumah Zayn?" tanyanya.
Zara tergagap, namun tetap mengangguk pelan. Saat ada para ibu-ibu tetangga, Zara dengan panik segera melepas paksa tangan Citra di bahunya.
Bruk.
Namun, ia tak menyangka kalau Citra akan tersungkur ke belakang karena itu. Ia hanya melepaskan tangan Citra, tak lebih dari itu. Karena selama ini tetangga hanya mengenalnya sebagai anak pembantu di keluarganya. Ia takut mereka berpikir tidak-tidak saat melihat majikan merangkul anak pembantu.
"Zara, kenapa kamu dorong aku?" Citra menatap Zara dengan berkaca.
Para wanita yang berstatus tetangganya tadi berbondong-bondong menghampiri. Membantu Citra untuk berdiri. Semua wanita paruh baya yang ada di sana menatap Zara nyalang.
"Kamu anak pembantu kok jahat begitu sama majikan?! Udah mending kamu disekolahin sama orang tuanya Citra, nggak tahu diri banget!"
Zara menggeleng lemah, "Aku nggak dorong Kak Citra, Bu, dia--"
"Aku tahu kamu iri sama aku, Zara. Tapi ... kebaikan aku selama ini nggak cukup? Kamu mau apa juga pasti aku mintain ke Papa atau Mama." Citra menatap Zara sendu.
Tapi ... hanya Zara yang sadar, bahwa Citra mengulas senyum miring.
Jadi ... Citra sengaja menjatuhkan dirinya untuk ini?