Chereads / Sebuah Lara untuk Zara / Chapter 13 - Runtuh

Chapter 13 - Runtuh

Semuanya semakin rumit bagi Zara tatkala ada video yang beredar. Ibu-ibu rempong tadi malah meng-upload ke salah satu aplikasi sosmed dan menceritakan kejadian tadi. Mungkin mereka ingin dikenal masyarakat, dan itu jalannya. Yang membuat Zara ingin meledak, Citra juga ikut-ikutan di sana sebagai korban. Disertai bukti luka-luka kecil yang gadis itu dapatkan.

Dengan statusnya sebagai anak artis atau dikenal publik, semuanya meledak. Mendadak hanya dengan video cerita disertai bukti luka-luka Citra, sebagian masyarakat jadi tahu wajah Zara. Tahu Zara bukan dengan sebuah kebaikan melainkan keburukan.

Ingin menangis rasanya. Zara yakin kehidupannya seterusnya sedikit berubah. Zara jadi takut untuk bebas keluar rumah. Seperti saat ini, semuanya menatapnya sinis, penjual nasi goreng langganannya terkecuali. Lelaki renta itu lebih mengenalnya daripada yang lainnya. Pak Fuad namanya.

"Eh, itu bukannya yang lagi viral karena dorong Citra kan ya?" suara itu muncul lagi, lebih keras dari yang Zara dengar sebelumnya.

"Iya ih, ngga tau malu banget ya jadi anak pembantu. Kasian si Citra." Lagi, semakin jelas.

"Pak, ce-pet, ya." Dengan suara bergetar, Zara berucap demikian.

Ia bukan seseorang yang merasa percaya diri saat ditatap banyak orang. Apalagi ditatap sinis sana-sini, dibicarakan sesuka hati secara terang-terangan begini.

Pak Fuad menatap Zara dengan dahi berkerut, "Loh, biasanya Neng Zara malah seneng lama di sini. Bantuin Bapak," ujarnya penuh keheranan.

Memang, biasanya jika ada waktu senggang malam-malam, Zara akan mampir ke warung nasi goreng Pak Fuad untuk membeli sekaligus membantu-bantu di sana.

Dengan dahi berkeringat saking gemetarnya dari tadi, Zara menggeleng pelan, "Tolong, Pak, kali ini aja, ya."

Pak Fuad menatap khawatir gadis yang sudah ia anggap anak sendiri. Lantas mengangguk pelan menuruti keinginannya. Zara sendiri menduga jika Pak Fuad tak tahu menahu mengenai kabar beredar. Pak Fuad termasuk salah satu orang yang gaptek alias gagap teknologi.

"Bentar, Neng, sebentar lagi, nih," ucap Pak Fuad sembari mempercepat acara masaknya.

Zara tak bisa berkutik sedikitpun, ia menunduk dalam dengan keterpakuannya di tempatnya berdiri. Saat bergerak sedikit saja, rasanya semua orang sigap memperhatikannya.

"Ini, Neng." Pak Fuad menyerahkan bungkus plastik putih berisi pesanan Zara.

Zara buru-buru menerimanya, lantas segera memberi uang lembaran lima puluh ribuan.

"Kembaliannya buat Bapak, permisi, Pak." Zara buru-buru berbalik, berjalan tergesa untuk pergi dari sana.

Ia menghentikan langkahnya ke tempat yang lebih sepi. Zara mengeluarkan ponselnya, ia akan memesan ojek online. Namun, pergerakannya terhenti tatkala segerombolan gadis seusianya berjalan ke arahnya. Tepat ke arahnya.

"Zara bukan?" tanya salah satunya.

Zara memundurkan langkahnya, apalagi saat melihat seringaian salah satunya.

"Kalian mau apa?" tanya Zara dengan bahu gemetar.

Gadis yang berdiri paling depan mengulas senyum lebar, "Mau apalagi selain balesin perbuatan lo ke idola kami?" tanyanya.

Zara menggeleng kuat. Ia terus mundur. Ini gawat, di depannya adalah segerombolan para fans Citra. Asal kalian tahu, Citra populer. Gadis itu akhir-akhir ini jadi bintang karena suaranya yang merdu.

Dan ... Zara tak tahu kalau fans Citra sama sama dengan idolanya. Menyeramkan.

"Dia lari, kejar!" teriak salah satunya tatkala Zara memilih untuk berlari.

Gadis itu pontang-panting berlari di tepi trotoar jalan. Beberapa kali terjatuh namun bangkit lagi. Teriakan-teriakan di belakangnya benar-benar sangat menyeramkan.

"ZARAA SINII!"

Zara mendongak, gadis itu mengulas senyum lebar tatkala melihat Zayn di kursi kemudi membuka pintu bagian sisi mobilnya yang lain sembari melambai-lambai ke arahnya. Tak pantang menyerah, Zara mempercepat larinya. Gadis itu segera masuk ke mobil Zayn dan menutup pintunya. Bersamaan dengan itu, Zayn langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Zara mengatur napasnya yang tak beraturan. Ia mengusap dadanya penuh dengan kelegaan yang ada. Benar-benar lega. Rasanya, Zara merasa aman kembali. Merasa terlindungi dengan adanya Zayn di sini.

"Makasih, Kak Zayn, makasih." Zara tak mengucapkan terima kasih cukup satu kali.

Zayn penyelamatnya, untuk kesekian kalinya.

Tangan Zayn terangkat, mengusap lembut puncak kepala Zara, "Sama-sama. Gue bener-bener bersyukur lo nggak apa-apa," katanya.

Tubuh Zara sendiri sudah menegang, ia menatap Zayn yang kembali fokus menyetir. Zara tak bisa menyangkal lagi, kalau kali ini ... dinding pertahanannya ... kembali runtuh. Untuk yang kesekian kali.

Namun, kali ini, Zara tahu ia benar-benar luluh.

***

"Mama sama papa kok nggak marah saat tahu Zara ... dikenal publik?" Zara tak bisa memendam pertanyaannya di meja makan pagi ini.

Tak tahu, ia heran mengapa orang orang di rumah sama sekali tak ada yang membahasnya. Atau tidak ... Papa dan mama akan menghukumnya. Tidak, bukannya ia ingin dihukum, ia hanya heran mengapa semuanya tak berjalan seperti biasanya.

Semua orang di meja makan langsung menatapnya. Namun, Mama lebih dulu menyuarakan jawabannya.

"Nggak masalah, lagian kamu dikenal sebagai anak pembantu di sini bukan anak saya."

Papa mengangguk tanda membenarkan, "Lagian, kamu dorong Citra sih, mampus kan jadi kena sanksi sosial dari masyarakat," imbuhnya.

Zara tak bisa membalas lagi, ia hanya diam menunduk, fokus pada makanannya. Tak akan ada yang berubah, Papa tetaplah Papa. Begitupun juga dengan Mama.

***

Zara jadi tak nyaman dengan kehidupannya sekarang. Kalau ditanya, ia pasti akan lebih memilih untuk kembali seperti sebelumnya. Biarpun tiap hari sering kena hukum kedua orang tuanya, tapi tetap saja ia bisa hidup bebas. Ia bisa berjalan di luar rumah tanpa berbagai tatapan seperti tadi saat ia naik angkot ke sekolah.

Hatersnya di sekolah pun tambah banyak. Sepanjang perjalanan Zara di koridor, semua orang membicarakannya dengan terang-terangan. Zara memejamkan matanya sembari mengeratkan kedua tangannya di tali tas sekolahnya.

"Tunggu, Zara."

Langkah Zara terhenti, ia menoleh, dan mendapati Gibran yang mengulas senyum lebar ke arahnya.

"Apa?" tanya Zara bingung.

Gibran tetap mempertahankan senyumnya, "Saya percaya kalau kamu nggak ngelakuin itu," katanya.

Zara mendengus pelan, ia menatap ke depan, "Tapi cuma kamu yang bilang percaya aku," balasnya.

Gibran malah makin tersenyum lebar, " Berarti saya spesial kaya martabak?" ujarnya dengan nada bertanya.

Zara tertawa sebentar, ia menatap Gibran heran, "Sebenernya, apa tujuan kamu deketin aku?" tanyanya.

Gibran menatap ke atas, seolah berpikir keras, "Gimana kalau jawabannya saya dikirimkan ke kamu sama Tuhan?" tanyanya sembari menaik turunkan alisnya.

Zara tertawa pelan, namun tawanya berubah jadi kebingungan tatkala Gibran memasangkan sebuah headphone ke telinganya secara tiba-tiba.

"Lebih baik dengerin lagu daripada dengerin bacotan nggak berfaedah mereka." Gibran mengeraskan volumenya setelah mengatakannya.

"Saya mendekat karena saya mau jagain kamu, saya nggak akan biarin orang yang saya suka terluka, Zara."

Dan sayangnya, Zara tak dengar sepenggal kalimat itu.