Chereads / Sebuah Lara untuk Zara / Chapter 14 - Bad Day

Chapter 14 - Bad Day

Zara sejak tadi mencoba untuk fokus pada papan tulis beserta penjelasan guru di depannya. Namun tak bisa, ia gelisah sendiri karena notifikasi pesan yang terus masuk di handponenya. Getaran ponselnya terus terasa.

Tak ingin ada hal penting yang Zara lewatkan, gadis itu buru-buru menarik ponselnya di kolong meja. Namun, sepertinya itu bukan kabar baik jika melihat salah satu notif yang terpampang di layar depan.

Hujatan.

Ingin menangis saja rasanya, Zara tak bisa kalau diteror di media sosial juga. Apalagi tak hanya potonya, banyak postingan tentang tulisan-tulisan quotes karyanya yang ia post di sebuah aplikasi sosmed juga. Zara takut, semuanya berkomentar di postingan itu juga. Menanggapi karyanya dengan buruk.

Dengan gerakan yang tampak ragu, Zara menyentuh ikon bergambar aplikasi sosmed. Membukanya. Mendadak, banyak ribuan notif. Pengikutnya juga jadi ribuan. Dan ... Zara tentu tak mengharapkan itu juga.

Ia meringis pelan, tatkala apa yang tak ia inginkan terjadi. Banyak yang menghujat quotes buatannya, seperti kata alay, sok puitis, dan semacamnya.

@Hujatable: Mukanya aja jelek, dibandingin sama Citra mah nggak ada apa-apanya.

@Reinasekarayu: Item, dekil, munafik lagi, ih.

Dan masih banyak lagi.

Zara pening seketika. Namun, tak urung ia tetap membaca ribuan komentar itu. Sakit hati, tapi ia tetap penasaran juga. Matanya berkaca, ia sempatkan untuk mengusap air di sudut matanya.

"Bu Cantika, Zara main handpone!"

Zara terlonjak kaget tatkala suara bass seorang siswa yang duduk di belakangnya terdengar. Gadis itu buru-buru melempar handponenya ke kolong meja. Ia menunduk dalam setelah tahu guru yang sedang mengajar di depan kini berjalan ke arahnya.

"Mana handpone kamu?" sosok wanita berkepala tiga itu menyodorkan tangannya, meminta handpone Zara.

Beberapa detik, saat tak ada tanggapan dari Zara, wanita itu menggebrak kuat meja gadis itu.

"Jangan sok-sok takut, dorong anak artis aja berani!"

Kepala Zara mendongak tatkala guru itu berkata demikian. Kalimat yang seharusnya tak pantas ia ucapkan di saat statusnya sebagai pendidik. Ia menghela napas panjang, sebelum akhirnya memilih untuk menarik ponselnya di kolong meja, lantas menyerahkan pada tangan gurunya dengan gemetaran.

"Bagus, ya, handpone kamu. Dapet dari Citra juga?" Guru itu bertanya, diikuti tawa seluruh murid di kelasnya.

Zara menggeleng pelan, "Bukan, itu dari Pa--Ayah saya," jawabnya jujur.

Gadis belia itu sempat melihat sorot merendahkan di mata sang guru. Ia tak menyangka ada guru seperti itu.

"Oh, ya? Bukannya bapak kamu juga sopir ya? Oh, atau cuma pemulung?" ujarnya dengan nada mengejek untuk kesekian kali.

Zara mengepalkan tangannya lantas berdiri dari duduknya. Ia emosi jika sudah menyangkut kedua orang tuanya. Walau kedua orang tuanya tak akan emosi pada orang yang menghinanya.

"Ibu jangan bawa-bawa bapak saya," ujar Zara dengan nada tegas.

Wanita paling muda di kalangan guru-guru itu mengulas senyum miring, "Atau ... ibu kamu pelacur?"

"Bukan cuma sama bapak kamu doang, tapi goda-goda yang lain juga."

Semuanya tertawa, termasuk guru muda tadi, "Atau ... jangan-jangan kamu ini anak haram?"

Cukup, Zara tak tahan lagi. Dengan mata berkaca, gadis itu ... melayangkan tamparan pada pipi pendidiknya. Cukup keras.

"Jangan bilang begitu, Ibu nggak tahu apa-apa tentang hidup saya!" Suara Zara sedikit naik satu oktaf.

Guru muda tadi mengepalkan tangannya, "Kamu nggak sopan banget sama guru!" bentaknya.

Zara menundukkan kepala, menatap tangannya sendiri yang berkeringat dingin, "Ma-af, Bu," lirihnya.

Kali ini, wanita muda tadi menarik napas panjang, ia melirik sosok siswi yang duduk di belakang meja Zara, dan mengedip pelan setelahnya.

"Nggak papa, Zara, saya tahu saya terlalu memancing emosi kamu. Maaf."

Guru muda itu menunduk dalam.

***

"Zara kamu dipanggil Pak Kepsek ke ruangannya."

Langkah Zara menuju kelas Gibran terhenti. Istirahat kedua, ia memang sudah bertekad untuk mengembalikan headphonenya. Tak enak juga, takutnya Gibran ingin memakainya.

Gadis itu berbalik, menatap sosok gadis seusianya yang barusan bersuara.

"Mau apa?" tanya Zara pelan, dengan senyuman.

Gadis berkacamata tadi menggeleng, "Nggak tau, kamu kesana aja," katanya.

Zara mengangguk pelan. Ia berjalan berlawanan dengan arah yang tadi. Tak jadi ke kelas Gibran, gadis itu melangkah menuju ruang kepala sekolah. Butuh beberapa waktu karena memang cukup jauh dari tempatnya tadi. Namun, pada akhirnya Zara sampai juga di sana.

Menarik napas panjang, ia mengetuk pintu dengan ragu.

"Masuk."

Zara mengangguk dan segera memutar kenop pintu. Membukanya sembari berjalan masuk. Langkahnya terhenti sebentar, jantungnya berdegup kencang tatkala ada sosok Bu Cantika, wali kelasnya, dan ... Risa--teman sekelasnya.

"Ayo masuk, Zara," titah Pak kepala sekolah.

Zara mengangguk, gadis itu melangkah masuk. Ia duduk di antara mereka. Kedua tangannya tak bisa untuk tidak memilin rok abu-abunya.

"Kok kamu takut?" tanya Pak Kepala Sekolah mengawali pembicaraan.

Zara menggeleng. Ia tak takut sebenarnya, tapi tatapan tak mengenakkan dari semua yang ada di ruangan itu benar-benar membuat keberaniannya pudar.

"Jadi ... kenapa saya dipanggil di sini, Pak?" Zara mengajukan pertanyaan.

Pak Kepala Sekolah menghela napas berat, lantas menyodorkan ponselnya pada Zara. Meminta gadis itu melihatnya.

Mata Zara membola setelah melihatnya sampai selesai. Gadis itu melirik Bu Cantika yang tersenyum miring ke arahnya. Ia tak bisa menduga kalau ... Risa dan gurunya menjebaknya. Bisa-bisanya videonya langsung diunggah ke akun lambeturah sekolahnya.

"Pak, videonya kepotong, Pak. Sebelum saya nampar Bu Cantika, dia ngatain hal-hal yang nggak pantas dikatain seorang guru. Dia bilang ibu saya pelacur, itu--"

"Saya hanya percaya bukti dan nggak terima alasan." Pak Kepala Sekolah buru-buru memotong pembelaan Zara.

"Kamu mempermalukan sekolah, kami nggak mau punya siswi nggak beretika dan nggak tahu tata krama pada orang yang lebih tua seperti kamu, Zara."

Pak Kepala Sekolah berhenti sebentar untuk sekedar menarik napas panjang, "Kamu saya keluarkan dari sekolah ini."

Mata Zara membola, matanya berkaca. Gadis itu menggeleng kuat. Kalau sampai kedua orang tuanya tahu, bisa habis dirinya. Kenapa sih ada saja yang menjebaknya?

"Jangan, Pak! Saya difitnah! Saya punya alasan kenapa lakuin itu!" Zara membela diri. Sebisa mungkin ia mencoba.

"Keluar dari ruangan saya, dan segera benahi barang-barang kamu."

Zara sudah menangis, ia terisak dan menggeleng pelan, "Jangan ... Pak, tolong. Kasih saya satu kesempatan."

"Nggak bis--"

"Nggak papa, Pak. Kasih Zara satu kesempatan lagi. Saya sebagai gurunya hanya merasa gagal mendidiknya. Setelah ini, saya akan mendidiknya lebih baik lagi." Bu Cantika tiba-tiba berujar lirih.

Pak Kepsek menatap bawahannya dengan tak suka, "Bu, jangan sembarangan. Dia bisa-bisa ngelunjak. Gimana kalau gadis ini ngelakuin hal kaya gini lagi ke guru lainnya?"

Bu Cantika menggeleng pelan, "Saya yang jamin kalau dia nggak akan ngelakuin itu."

"Lihat, Bu Cantika baik sama kamu. Jujur, saya kecewa sama kamu Zara." Wali kelasnya akhirnya bersuara.

"Makasih, Bu Cantika. Maaf atas kelakuan saya tadi." Tak ada pilihan lain selain berujar seperti itu. Zara akan mengikuti alur yang Bu Cantika buat.

"Nggak apa-apa, Sayang," jawabnya.

Dan Zara lebih memilih untuk tak membalasnya. Ia menatap Pak Kepsek untuk kesekian kalinya.

"Jadi ... bagaimana, Kak?" tanya Zara pelan.

Pak Kepsek menghela napasnya, "Kamu saya skors 1 minggu, setelahnya bersihin semua toilet setelah sepulang sekolah selama 1 minggu juga."

Zara menyeka air matanya, lantas mengangguk dan berterima kasih. Setidaknya ini lebih baik daripada dikeluarkan dari sekolah.

"Saya permisi, Pak," ujar Zara pamit mengundurkan diri.

Saat melihat anggukan dari kepala sekolahnya, Zara segera bangkit dan keluar dari sana. Gadis itu menutup pintunya pelan sembari menunduk dalam.

"Lo nggak apa-apa, kan?"

"Kamu baik-baik aja, Zara?"

Dua kalimat itu terdengar di telinga Zara dengan waktu yang sama dari pemilik suara yang berbeda.

Zayn dan Gibran.