Aku duduk di meja pojok guild yang letaknya berdekatan dengan jendela.
Duduk dengan tatapan kosong yang tidak akan membawaku ke manapun sembari meletakkan wajahku pada atas telapak tangan.
Aku tidak sendirian di sini karena kurasa akan aneh jadinya jika seorang laki-laki remaja sepertiku hanya duduk sendirian saja di tempat publik.
Itu benar, aku bersama dengan mereka, Lucia dan Rord.
Segelas air putih terpampang di meja, di hadapan kami masing-masing. Membuatnya menjadi jumlah yang pas untuk kami.
Pada awalnya, aku sempat merasa sedikit khawatir jika dunia ini hanya memiliki minuman khas zaman dahulu saja.
Namun, siapa sangka jika minum-minuman seperti jus atau yang mirip dengannya ternyata juga sudah ditemukan terlebih dahulu.
Mungkin aku hanya terlalu khawatir.
Jika kau menikmatinya, pasti hidup akan terasa lebih menyenangkan. Kira-kira begitu.
Inginnya sih begitu, tapi uang yang ada di dompetku sudah hampir habis sehingga aku hanya bisa meminum segelas air putih kosong saja.
Aku dan Rord pun meneguk air putih tersebut secara bersamaan tanpa disengaja.
Meskipun hanya air putih biasa saja, tapi rasa dari air ini bisa dikatakan istimewa daripada yang kutahu.
Mungkin itu dikarenakan ini adalah rasa baru karena dulunya aku hidup di lingkungan yang berbeda.
Bisa dikatakan, rasanya sama seperti ketika dirimu meminum air putih di rumah orang lain.
Selagi aku sedang menikmati jeruk-- air putih di gelas yang kupegang, Lucia melihatku dengan tatapan tajam.
Tidak meminum air putih yang ada di hadapannya seperti kami, dia meletakkan wajahnya pada telapak tangannya.
Dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia selalu berusaha untuk menyimpannya sendiri.
Lebih tepatnya, dia terlihat sedikit kesal.
Aku jadi kasihan terhadap dirinya yang berusaha sekeras itu...
Setelah aku meneguk minumanku, aku pun mengambil napas sebentar dan mengajak Lucia untuk berbicara.
"Ada apa?"
Dia diam sebentar dan mencoba untuk melirik-lirik mataku sebelum menjawab pertanyaanku.
A--Apa?
"Apa kerjaan kalian setiap harinya memang hanya seperti ini saja...?"
"Emm, kira-kira begitu."
Menanggapi responku yang terlihat tidak terlalu peduli, Lucia memundurkan kursinya dan berdiri.
Lucia menunjuk ke arahku dengan telunjuknya dan menaikkan salah satu kakinya ke atas meja.
Membuatnya terlihat seperti seorang polisi yang sedang menegakkan hukum pada tersangka yang bersangkutan.
"Apa kau tidak tahu malu? Di saat kau sedang bersantai-santai begini, dunia ini sedang dalam masa krisis lo!"
Oi, oi, turunkan kaki-mu. Itu tidak sopan tahu.
Namun ... lagi-lagi dunia yang sedang dalam masa krisis, ya...
Jujur saja, aku bingung di mana letak 'krisis' yang baru saja ia sebutkan.
Maksudku adalah ... suasana kota terlihat sangat penuh dengan kedamaian.
Sejak aku datang kemari, bahkan belum pernah ada monster yang sempat untuk menginjakkan kakinya ke kota.
Harusnya, ketika seorang pahlawan datang ke kota, bukankah mereka akan mengirim semacam pasukan iblis untuk menghalau sang pahlawan dengan cara meng-invasi kotanya?
Sayangnya, itu tidak terjadi di sini.
Kota ini terlalu damai!
Ke manapun aku melihat, tidak ada tanda-tanda kejahatan selain kecabulan!
Yah, setidaknya itu adalah hal yang bagus jika kota ini akan selalu aman.
"Ayo ambil sebuah quest! Quest!"
"Yah, yah, tenanglah sebentar. Tanpa kau suruh pun, aku juga akan melakukannya, tahu."
"Aku tidak yakin soal itu..."
Lucia menatap diriku yang mencoba untuk menghindari kontak mata dengannya.
Mengapa kau bisa seyakin itu, sih, Tuan Putri?
Aku memundurkan bangku-ku untuk beranjak dari dudukku dan mulai berjalan untuk pergi dari sini.
"Ma--Mau pergi ke mana, kau?"
"Bukankah sudah jelas? Aku ingin pergi mengambil quest."
"Tu--Tunggu! Aku ikut!"
"Tidak. Kau tunggu saja di sini bersama Rord."
Selagi aku berkata seperti itu, aku melihat Rord yang sedang meminum segelas air putih layaknya sedang berada di perjamuan.
Kelihatannya dia sedang tidak ingin pergi...
Kuharap jika ini benar-benar hanya perasaanku saja ... tapi, tingkahnya memang benar-benar berbeda daripada biasanya...
Matanya juga terlihat lelah, apa mungkin dia kurang tidur?
Dia selalu terlihat seperti sedang tidak bersemangat akhir-akhir ini dan itu membuatku menjadi merasa khawatir.
"--me--memangnya kenapa? Tidak ada salahnya juga kan, jika aku ikut bersama denganmu...?"
Lucia mengatakannya dengan suara lantang sehingga membuat pandangan para petualang lainnya jadi tertuju pada kami.
"..."
Yah, akan jadi masalah jika aku membuat kesalahan dengan malah mengambil quest yang sulit, untuk sekarang, mungkin aku bisa membiarkannya untuk ikut.
Lagi pula, kurasa dia lebih handal soal hal petualang ini daripada diriku.
"Ya, sudahlah, ayo."
Setelah aku mengatakannya, di wajahnya, ia terlihat gembira seperti baru saja berhasil melakukan suatu pencapaian.
Namun, beberapa detik kemudian, ia terlihat mencoba untuk kembali bertingkah seperti dirinya yang seperti biasanya dengan mengalihkan pandangannya dariku dan bersikap acuh.
"Ma--Mau bagaimana lagi! Jika kau sampai memaksa segitunya..."
Lucia mengatakannya sembari mengibaskan rambut pirangnya yang panjang itu dengan tangannya.
Kami berdua pun akhirnya pergi ke papan permintaan yang ada di dalam guild.
Selagi diperjalanan menuju ke papan permintaan yang letaknya tidak terlalu jauh, aku menyadari Lucia di sebelahku yang terus menerus memandangiku sejak awal kami mulai berjalan berdampingan.
Meskipun berjalan secara berdampingan, Lucia berjalan sedikit lebih lambat dan itu pun membuatnya sedikit lebih ke belakang daripadaku.
Akan jadi sangat canggung kupikir jadinya jika aku memberitahunya kalau aku sebenarnya sudah mengetahui semua itu sejak awal, maka dari itu aku tidak melakukannya.
Karena alasan tersebut pun, aku juga semakin merasa penasaran mengapa dia melakukannya, berjalan sedikit lebih lambat daripadaku.
Kami berdua pun akhirnya sampai ke papan permintaan.
Tidak ada orang lain di sana, sehingga hanya membuat kami berduaan saja
"..."
Aku mengingat sesuatu yang sebelumnya terjadi padaku.
Itu benar, dua hari yang lalu, di kala tengah-tengah latihan, tubuhku tiba-tiba saja menjadi lemas, dan aku pun jatuh sampai tak sadarkan diri.
Awalnya, kupikir aku bisa pingsan dikarenakan tendangan yang Lucia lancarkan pada wajahku.
Namun, aku berpikir itu akan aneh rasanya karena sebenarnya aku juga sudah merasa lemas lebih dulu bahkan sebelum dia menendangku.
Ada satu kemungkinan yang sudah kupikirkan.
Jantungku melemah.
Itu benar, berdasarkan apa yang Lucia dan Senya katakan, jantungku telah berhenti berdetak kala aku tak sadarkan diri waktu itu.
Awalnya aku pikir mereka berkata seperti itu karena hanya ingin menakut-nakutiku saja, tapi ekspresi serius yang Senya pasang serta wajah khawatir sekaligus air mata yang Lucia keluarkan berhasil untum membuatku berubah pikiran.
Itu hanya spekulasiku saja, tapi mungkin saja saat kami sedang latihan waktu itu, jiwa-ku telah ditarik oleh sesuatu yang pada akhirnya membuatku kehilangan kesadaran sehingga membuat diriku menemui ajalku.
Namun, pertanyaannya adalah mengapa aku bisa bertemu dengannya?
Selah aku tak sadarkan diri, aku pun terbangun di suatu tempat asing yang sepertinya adalah alam bawah sadarku.
Di sana, aku bertemu dengan seorang malaikat bernama Supine.
Namun, kondisi yang terjadi pada diriku bisa dikatakan aneh.
Aku bisa bilang jika diriku belum menemui ajalku, itu bisa dibuktikan dengan diriku yang masih hidup.
Pertanyaannya, mengapa diriku bisa bertemu dengan malaikat meskipun aku belum menemui ajal?
Aah ... ini membingungkan.
Aku tidak punya petunjuk sama sekali yang bisa membantu.
Aku bahkan tidak memahami apa yang terjadi dan langsung membuat teori secara liar.
Memikirkannya begini takkan membuat hasil apapun, lebih baik aku fokus dengan apa yang ada di hadapanku sekarang.
Namun, jika pertemuan kemarin itu hanyalah mimpi, maka izinkanlah aku untuk bermimpi selamanya...
"..."
Aku melihat ke arah papan dan mulai mencari quest.
Namun, sebenarnya aku hanya berpura-pura mencari karena tujuanku yang sebenarnya adalah hal lain.
Itu benar, Lucia yang ada di sebelahku bertingkah seolah-olah dirinya sedang mencari quest di papan permintaan meskipun sebenarnya dia sedang berusaha untuk mendekat padaku.
Dia melakukannya sembari melirik ke arahku beberapa kali untuk memastikan jika aku belum menyadari aksinya.
Perlahan demi perlahan, dia semakin mendekatiku sembari berpura-pura mencari quest di papan permintaan.
Ketika aku mencoba untuk membuat kontak mata dengannya, ia dengan segera langsung membuang muka dan mengalihkan pandangannya ke arah sebaliknya.
Itu benar, setelah kejadian tersebut, entah mengapa Lucia tiba-tiba saja mengubah sikapnya dan jadi bersikap lebih baik padaku.
Padahal sudah kutakan padanya jika aku sudah baik-baik saja, tapi dia tetap mengikutiku ke manapun aku pergi selama dua hari ini.
Aku tidak masalah dengan hal itu, jujur saja aku merasa senang karena dia menjadi lebih perhatian terhadap diriku.
Hanya saja ... aku jadi khawatir jika tanggapan orang-orang di sekitar terhadap dirinya malah akan berdampak buruk karena itu.
Juga, aku tidak ingin jika dia melakukannya tanpa sebuah ketulusan.
Gadis cantik yang bersikap acuh terhadal dirimu saat pertama kali bertemu tiba-tiba saja mengubah sikapnya dan berusaha untuk menjadi lebih baik.
Bukankah ini terasa terlalu dipaksakan?
Aku pikir awalnya itu dikarenakan ia merasa bersalah padaku karena telah membuat masalah ... emm, kurasa itu memang benar, tapi ... aku rasa dia menjadi seperti ini karena hal lain.
Bagaimana aku bisa tahu soal itu?
Jawabannya mudah. Aku bisa mengetahuinya hanya dengan melihat gerak-gerik serta dirinya yang tiba-tiba saja menjadi lebih perhatian terhadap diriku.
Bahkan sebelum kejadian itu, lebih tepatnya mungkin sebelum kami melakukan latihan, ia sebenarnya juga sudah mulai mengubah perilakunya.
Tanpa melihat, aku menyadari Lucia yang kini terus menerus mencoba untuk mencuri-curi pandang kepadaku selagi mengarahkan wajahnya ke papan permintaan.
"Hey, Lucia."
Lucia yang sedang sibuk sendiri menjadi terkejut karena aku yang tiba-tiba saja memanggilnya.
"I--I--I--I--I--I--I--Iya?!"
"Apa aku boleh menanyakan suatu hal padamu?"
"Ya, ya, ya, ya. Tentu saja boleh--!"
Aku membuat kontak mata dengannya.
Meskipun sebenarnya aku merasa gugup untuk melakukannya, tapi aku tetap memaksakan diriku untuk melakukannya agar bisa mendapatkan sebuah kesimpulan akan sesuatu.
Lucia yang terkejut tidak bisa menahan tingkahnya dan membuat wajah panik.
"Mengapa kau memutuskan untuk bergabung dengan kelompok kami? Asal kau tahu saja, kelompok kami ini terbilang sangat lemah dibandingkan kelompok-kelompok lainnya. Bukankah akan buruk jadinya jika kau tetap bersama kami? Yah, setidaknya aku ingin tahu alasan sebenarnya kau ingin bergabung dengan kami."
Aku mengatakannya sembari menggaruk-garuk kepalaku dengan pelan.
Itu benar, aku ingin tahu alasan sebenarnya mengapa ia ingin bergabung dengan kelompok kami.
Jika ia hanya ingin membalas budi saja, aku ingin dirinya tidak perlu memaksakan dirinya sampai-sampai nekat untuk masuk ke kelompok lemah seperti kami."
"E--Emm, emm..."
Dia tidak ingin menjawabnya, ya...
Aku memperhatikan wajah Lucia yang semakin lama semakin menjadi berwarna merah layaknya seorang gadis yang sedang tersipu malu.
Dia pun mulai memainkan jari-jari telunjuknya dengan menekannya antara satu sama lain di depan dadanya untuk memikirkan jawaban.
"Kau tahu, Lucia. Aku ini adalah orang yang bodoh. Aku selalu tidak punya waktu untuk belajar, tapi di saat aku punya, aku tetap tidak melakukannya. Yah, kurasa itu adalah naluri tiap remaja, sih..."
"Ja--Jangan merendahkan dirimu sendiri--!"
Lucia meneriakkannya padaku.
Dia jadi terlihat seperti gadis Tsundere yang selama ini selalu kuidam-idamkan...
Kurasa dia tidak ingin menjawab pertanyaanku tadi.
Yah, siapapun juga pasti ingin membalas budi, aku tidak bisa menyalahkannya.
"Kalau begitu, aku ubah pertanyaannya. Apa pendapatmu soal malaikat?"
"E--Eh? Malaikat? Mengapa kau tiba-tiba menanyakannya...?"
"Sudahlah, jawab saja."
Mungkin aku bisa tahu sesuatu soal ini...
"Ba--Baiklah, akan kujawab. Malaikat, ya..."
Lucia yang baru saja menyadari jika dirinya telah membuat kontak mata denganku sedari tadi langsung mencoba untuk mengalihkan pandangannya.
"..."
"Da--Dari yang kutahu, mereka adalah bentuk sempurna dari sebuah kesucian, kesetiaan, ketaatan, keindahan, dan ... kalau tidak salah ... ah, benar, kecantikan."
Lucia menjawabnya dengan serius sembari kembali curi-curi pandang kepadaku selagi mengatakannya.
"Ke--Kenapa kau menanyakannya?"
"Ah ... sebenarnya, aku hanya merasa jika kau mirip dengannya(malaikat)."
Yah, secara spesifik sih...
"A--Ap--?! Te--Terima kasih banyak...--"
Lucia membungkukkan badannya berulang-ulang kali kepadaku.
Itu benar, malaikat-- tidak, gadis yang kutemui di suatu tempat yang ia sebut alam sadarku itu memiliki satu-- tidak, banyak sekali kemiripan dengan dirinya.
Entah itu dari warna rambut, kulit, ataupun wajah cantik. Mereka terlihat identik, bagaikan satu orang dengan kepribadian dan tempat yang berbeda.
Supine adalah sosok yang baik, setidaknya itulah yang dapat kusimpulkan dari pertemuan kami yang sangat singkat itu.
Di sisi lain, Lucia orangnya sangatlah acuh dan keras kepala, tapi aku tahu jika dirinya sudah mulai merubah sikapnya perlahan demi perlahan.
Itu bisa dibuktikan ketika aku berada di dekatnya, sama seperti sekarang ini.
Sikapnya benar-benar berbeda!
....
Ada satu hal lagi yang baru saja kuketahui.
Aku mengingat jika aku sering berpikir jika diriku masih belum bisa membaca.
Itu sering kali terjadi. Contohnya, seperti yang sedang kulakukan sekarang.
Aku mencari quest tanpa menyadari jika diriku sudah bisa membaca tulisan-tulisan yang bahkan belum pernah kupelajari sebelumnya.
Kalau kupikir-pikir lagi, ini terkesan cukup curang karena aku tiba-tiba saja bisa mempelajari sesuatu bahkan sebelum aku mempelajarinya.
Yah, kurasa ini merupakan salah satu berkah untuk orang yang telah dipanggil ke dunia lain.
Aku baru berhasil menyadari hal ini setelah aku akhirnya sadarkan diri setelah pingsan hari itu juga.
Lebih tepatnya, pada saat itu ... pada saat aku hendak kehilangan kesadaran, aku mendengar jika kata-kata yang diucapkan oleh Lucia dan Senya terdengar sangat asing di telingaku.
Aku tidak menyadarinya saat itu karena kupikir mungkin saja mereka secara tidak sengaja telah memakai bahasa kampung halaman mereka karena sedang panik.
Namun, setelah kuperhatikan lagi, aku akhirnya mengetahui jika mereka berdua berasal dari daerah yang berbeda.
Yah, meskipun tidak menutup kemungkinan jika salah satu dari mereka sudah mempelajarinya sih.
Hal misterius ini juga pernah terjadi ketika aku, Rord, dan Senya sedang pergi meng-investigasi dungeon baru.
Saat itu, Rord dan Senya sempat di serang oleh beberapa monster slime yang tiba-tiba saja muncul dari bawah lantai.
Awalnya aku berpikir jika monster-monster tersebut memang sudah diberikan perintah agar hanya menargetkan wanita sebagai mangsanya saja.
Namun, setelah berpikir dengan lebih lanjut, aku jadi yakin jika bukan itulah alasan mereka hanya mengincar Rord dan Senya saja.
Melainkan, mereka tidak mengincarku karena pakaian yang kumiliki tidaklah berasal dari dunia ini, berbeda dengan Rord dan Senya yang tentu saja sudah jelas memakai pakaian yang berasal dari dunia ini karena memang dari sinilah mereka berasal.
Setelah semua kejadian misterius itu, aku akhirnya bisa mencapai suatu kesimpulan.
Aku menyebutnya ... 'Adaptation Process'.
Itu terdengar sedikit memalukan untuk dikatakan, tapi hanya nama itulah yang dapat kupikirkan...
Adaptation Process. Yakni, tubuh, pikiran, serta jiwaku sejak dari awal datang ke dunia ini dan bahkan mungkin sampai sekarang masih sedang melakukan adaptasi dengan dunia ini.
Kemungkinan besar, berkat kemampuan inilah aku bisa memahami bahasa dan huruf tulisan mereka.
Namun, mungkin karena itu jugalah aku terkadang jadi bisa membaca dan sebaliknya. Kurasa aku bisa menyebutnya sebagai 'Disturbance Adaptation'.
Tentu saja, ini juga berlaku dengan diriku yang tiba-tiba saja bisa memahami bahasa mereka.
Gangguan atau mungkin 'Error' yang disebabkan pada suatu masalah saat proses adaptasi sedang terjadi, mungkin kira-kira seperti itu.
Namun, ada satu hal yang menurutku aneh...
Jika memang benar 'Disturbance Adaptation' itu berlaku, lantas mengapa aku hanya pernah mengalaminya pada saat itu saja?
Apa itu hanya karena kebetulan saja, makanya aku mengalaminya saat aku akan pingsan dan baru saja sadarkan diri.
"--ja--jadi, hey, Lort. Quest macam apa yang ingin kita ambil?"
"Eh? A--Ah. Emm ... aku belum memikirkannya, tapi yang pasti adalah quest yang mudah dan menguntungkan."
Dia tiba-tiba saja mengajakku berbicara dan itu membuatku terkejut...
"Padahal dunia sedang krisis begini..."
Jangan munafik begitu, lah, oi.
Dia terus menerus mengatakannya, tapi sungguh, di mana letak krisisnya...? Ya ampun...
"Ah! Aku tahu! Bagaimana dengan quest mengalahkan monster pohon yang kemarin?"
"Oh, itu ,ya? Emm ... aku belum membatalkannya sih ... hanya saja..."
"Kalau begitu, kita terima saja lagi!"
Mengapa dia tiba-tiba terlihat jadi sangat percaya diri begini...?
Tanpa kusadari, Lucia mulai bersikap seperti biasanya-- tidak, kurasa ini adalah hal yang baru.
Aku punya perasaan buruk soal ini...
"Namun, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, kami ini masih pemula lo. Mana mungkin kami bisa mengalahkan monster kuat seperti mereka."
"Jangan khawatir soal itu, bukankah ada diriku di kelompok kita? Dengan begitu, kau tidak akan perlu mengkhawatirkan apapun lagi. Mereka semua akan kukalahkan dalam sekali serang!"
Aku tidak yakin soal itu...
Dia terlihat bersemangat. Aku belum pernah melihat sisi dirinya yang seperti ini.
Matanya terlihat berkilau-kilau.
Kurasa dia benar-benar sangat percaya diri terhadap hal ini.