Chereads / Jodoh Sampai Surga / Chapter 3 - Udah Siap Nikah?

Chapter 3 - Udah Siap Nikah?

Menyusuri jalanan pinggir kota menuju jalanan yang penuh dengan kerikil-kerikil kecil, membuat tubuh Haura bergetar. Gadis berusia 21 tahun itu menempuh perjalanan hampir satu jam lebih, ia memasuki sebuah desa yang lumayan jauh dari kota hanya untuk berbagi ilmu.

Bermula dari beberapa gerombolan anak kecil yang mengitarinya saat turun dari sebuah mobil beberapa tahun silam, tepatnya saat Haura dan rombongannya mengabdi ke desa mereka.

"Selamat sore semuanya," sapa Haura kepada murid-muridnya.

"Sore Kak Haura, makanannya buat kami kan, Kak."

Tak bisa di pungkiri raut wajah mereka yang begitu bahagia menyambut kedatangan Haura. Haura tak pernah absen membawakan makanan roti isi coklat kesukaan mereka yang Ia beli di sebuah toko roti dekat pusat kota, walaupun hanya seminggu sekali.

"Nanti sehabis belajar ambil di ibu Dewi ya, sekarang keluarkan bukunya."

Di tempat terbuka yang di buat seperti taman menjadi tempat anak-anak kecil itu belajar. Kadang Haura merasa tertampar melihat canda tawa di balik wajah mereka." Bukan bahagia yang membuat kita bersyukur, tapi bersyukurlah yang membuat kita bahagia." Kata-kata dari Ibu Dewi itu selalu di kenangnya sampai sekarang.

Setelah membubarkan kegiatan mengajar pada sore itu, Ibu Dewi mengajak Haura untuk berbincang serius. "Ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, Haura." Raut wajah Ibu Dewi tidak seperti biasanya. Ia terlihat gelisah sejak kedatangan Haura.

"Katakan saja Bu, siapa tahu Haura bisa membantu jika ada masalah,"ucap Haura.

"Kemarin malam ada kepala desa ke rumah, dia mengatakan bahwa tempat yang saat ini kita pijak akan di bangun sebuah gedung."

"Apa? Ibu tidak bercanda bukan?" Haura kaget bukan kepalang, pasalnya tanah itu milik desa, tapi kenapa bisa di ambil seenaknya. "Atas dasar apa mereka mengambil tanah yang cukup luas ini?"

"Katanya salah satu warga desa ini sendiri yang menjual tanah wakaf ini ke sebuah perusahaan di pusat kota. Sekarang, orang itu hilang entah kemana. Kami tidak bisa berbuat apa-apa, Ra."

Haura tidak bisa tinggal diam. Ia akan mencari tahu siapa yang sudah menjual dan membeli tanah milik warga setempat. Ia tidak bisa membayangkan muridnya harus kehilangan tempat belajar. Akhirnya, setelah mengobrol panjang lebar dengan Bu Dewi, Haura langsung pamit pulang, karena matahari juga kian redup.

"Yakin nggak mau di antar, Haura? Perjalanan kamu masih jauh,"

"Enggak usah, Bu Dewi. Assalamu'alaikum."

Allahuakbar..Allahuakbar

Sayup-sayup azan berkumandang mulai terdengar. Haura memberhentikan motornya di sebuah masjid yang tidak jauh dari pusat kota. Menjawab panggilan Allah harus di prioritaskan, itulah kunci kesuksesan bagi Haura. Semakin cepat menjawabnya semakin cepat juga doa-doa di kabulkan.

Haura melepaskan sepatu putih pemberian ibunya sebelum meninggal dua bulan lalu, kemudian berwudhu dan menunaikan sholat magrib berjamaah. Ikatan batin antara ibu dan anak memang tidak bisa di pisahkan. Dengan sepatu itu Haura bisa melangkahkan kaki dengan tenang.

"Ya Allah, Sungguh engkau lebih besar dari pada masalahku." Haura mengangkat kedua tangannya dan bersimpuh di hadapan Allah. "Beri hamba petunjuk akan masalah ini, Ya Allah."

Setelah selesai berdoa Haura langsung bergegas ke teras masjid dan bersiap untuk pulang. Namun, tiba-tiba matanya tidak sengaja melihat sebuah map coklat yang di bawa oleh seorang bapak-bapak di teras masjid.

Haura memberanikan diri untuk bertanya. "Maaf Pak. Apakah saya boleh bertanya sesuatu?"

"Ya, silahkan."

"Maaf kalau lancang, Pak. Apakah saya boleh tahu isi dari map coklat itu, soalnya kalau saya enggak salah di map itu tertera nama desa Kenari."

"Ya, benar. Tapi, ada apa ya?"

Haura menghela nafas lega. Allah langsung mengabulkan doanya dalam sekejab. Kini ia mendapat petunjuk tentang desa Kenari. Karena sudah menemukan jalan, Haura banyak bertanya mengenai map coklat itu kepada bapak Riduan, seorang pegawai dari salah satu perusahaan ternama di pusat kota.

"Apa saya boleh minta alamat perusahaan tempat bapak bekerja. Saya ingin bertemu dengan pimpinan bapak."

Bapak Riduan menyerahkan kartu namanya kepada Haura. Pak Riduan juga menawarkan jika Haura ke perusahaan ia akan mengantar Haura menemui pimpinannya. Jalan Haura menuju penyelesaian masalah kian terbuka dan di permudahkan. Ia tidak henti-hentinya bersyukur.

"Kalau begitu saya pamit dulu, Pak. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam."

Haura sampai di rumah tepat jam 7 malam. Kalau hari Kamis ia memang pulang agak lama. Dari pintu depan aroma masakan kakak iparnya sudah menusuk ke dalam hidung. Biasanya Haura ikut membantu Hera memasak, tapi karena hari ini jadwalnya padat, ia cukup jadi penikmat saja.

"Putri ayah sudah pulang. Mandi dulu lalu makan ya," ucap Herman.

"Iya, Ayah. Bang Firhan ada nggak, Yah?"

"Kenapa adikku tersayang memanggil abangmu ini,"

"Mau mastiin aja, siapa tahu masih di kantor."

Haura bergegas ke kamar lalu mandi. Perutnya juga sudah lapar sejak menghirup aroma masakan kakak iparnya itu. Namun, ketika ingin ke meja makan, tiba-tiba muncul keraguan di hati Haura untuk mengatakan tentang beasiswa S2nya itu. Haura merasa waktunya belum tepat sekarang, ia takut ayah dan abangnya tidak merestui keinginannya.

Semua orang sudah menunggu Haura di meja makan sejak tadi tapi entah kenapa hatinya merasa gundah saat mereka menoleh dan tersenyum menyambut Haura di meja makan.

"Ibrahim udah tidur ya, Kak?" tanya Haura tentang keponakannya itu.

"Udah Ra, Baim lagi demam. Tap, sekarang udah mendingan kok. Apa ada masalah?"

"Syukurlah kak. Biasa kak mahasiswa tingkat akhir." Haura tidak berbohong, pikirannya juga terpaut dengan skripsinya yang belum kelar.

"Sebentar lagi selesai kok, Ra," sambung Firhan.

Tiba- tiba Herman menyela obrolan dengan pertanyaan tak terduga. "Haura udah siap nikah?" Makanan yang hampir masuk ke mulut Haura tiba-tiba terhenti, Ia meletakkan sendok yang di pegangnya ke piring.

Haura hanya menanggapi ucapan ayahnya dengan tertawa, karena Haura menyangka kalau ayahnya hanya bercanda. Tidak mungkin juga ayahnya mendadak bahas soal pernikahan di saat Haura sedang fokus-fokusnya menyelesaikan skripsi.

"Besok luangkan waktu untuk makan malam bersama teman lama ayah ya. Ayah enggak mau sendirian."

"Iya Yah. Bang Firhan sama Kak Hera ikut juga kan?" tanya Haura.

"Besok abang lembur sedangkan Kak Hera harus tetap di rumah. Ibrahim juga belum sembuh total. Jadi, kamu yang temenin ayah, ya."

Haura mengerti dan paham. Ia bukan tipikal orang yang memaksakan kehendak. Kalau tidak bisa ya, tidak apa-apa. Lagian cuma menemani ayahnya makan malam. Itu bukan perkara yang sulit.

Di dalam kamar Haura masih memikirkan pertanyaan ayahnya di meja makan tadi. Obrolan itu juga sangat singkat dan juga tidak di tanggapi oleh Firhan. Apalagi, pernikahan itu adalah hal yang serius. Ia berusaha menyangkal dan meyakinkan dirinya bahwa ayahnya hanya bercanda.

"Kalau serius bagaimana?" Haura menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak, ayah hanya bercanda. Jangan terlalu di pikirkan Haura. Fokus saja sama skripsi kamu. Ingat Pak Indra yang selalu PHPin kamu."

Tidak ingin menambah beban pikirannya, Haura mematikan lampu kamar dan tidur.