Keesokan harinya Arsyilla sudah rapi dengan seragamnya, tidurnya sangat nyenyak semalam hingga rasa lapar tidak di rasakan oleh gadis itu.
Tapi saat sampai di bawah dirinya melihat Dhika yang masih menggunakan baju tidur duduk di sofa ruang tamu dengan secangkir kopi di tangannya.
"Duduk." Suara dinginnya mengintrupsi langkah Arsyilla.
"Saya nggak punya waktu leyeh-leyeh, Pak."
Arsyilla tidak ingin terlambat, pria itu jabatannya kepala sekolah, telat mah bebas, kalau dirinya beda cerita, pikirnya.
"Duduk." Suara itu tetap dingin tanpa menghiraukan ucapan Arsyilla.
'Kesurupan ni orang' batin Arsyilla, tapi gadis itu tetap menuruti ucapan Dhika.
Ditatap dalam oleh Dhika membuat Arsyilla tidak nyaman, bukan dia salah tingkah atau tersipu lebih tepatnya gadis itu ngeri sendiri.
Pikirannya sudah travelling kemana-mana, lebih horornya dia berpikir Dhika kerasukan iblis dari neraka.
"Mau lomba laga mata ni?" Tanya Arsyilla berusaha menenagkan diri sendiri, tapi Dhika tidak bergeming.
"Ok Pak, kita damai, jangan pelototin saya kayak gitu, horor tau." Arsyilla bergidik ngeri.
"Bisa hargai saya?" Akhirnya suara Dhika keluar.
"Maksudnya? Emang saya kurang hargai Bapak?" Tanya Arsyilla tidak mengerti.
"Menurutmu? Berapa kali kamu mengabaikan ucapan saya?" Arsyilla semakin bingung.
"Bisa to the point Pak? Otak saya lemot kalau masih pagi gini, nggak bisa nyerna." Terdengar helaan nafas Dhika.
"Tempo hari kamu tidak makan nasi goreng yang saya beli, dan semalam kamu mengabaikan ucapan saya untuk turun makan malam," ucapnya datar.
"Karena itu?" Menurut Arsyilla itu bukanlah hal yang penting.
Alis Dhika berkedut karena jawaban ringan Arsyilla.
"Gini ya Pak, saya nggak minta Bapak belikan saya nasi goreng atau nyiapin makan malam buat saya, saya cukup dewasa untuk menjaga diri sendiri."
Arsyilla bingung masalah sepele begini kenapa di ributkan oleh orang semacam Dhika, bukankah itu membuang waktu, pikirnya.
"Kamu tanggung jawab saya, berapa kali harus saya bilang?!" Suara Dhika meninggi.
Gadis ini, tidak bisakah mengerti niat dan posisiku, pikirnya.
"Nggak perlu terlalu mendalami peran Pak, berapa kali harus saya ingatin?! Cukup tidak terlibat dengan urusan masing-masing, bisakan?!" Teriak Arsyilla dengan kencang.
"Saya tidak bisa." Dhika menekan setiap kata menegaskan penolakkannya pada Arsyilla.
"Jadi Bapak maunya gimana? Saya pusing kalau harus nurut terus!" Jerit Arsyilla frustasi.
"Pakai fasilitas yang saya berikan, turuti perkataan saya, karena itu koridor yang benar." Putus Dhika.
"Kalau gitu Bapak egois namanya," ucap Arsyilla.
"Yes, i am," jawab Dhika.
"Kalau saya nolak?" Tantang Arsyilla.
"Saya ingin hak saya." Arsyilla bagai di sambar petir mendengar hal itu.
"Bapak ngejilat ludah sendiri? Lupa sama ucapan Bapak sebelum menikah?" Ingin rasanya Arsyilla membenturkan kepala gurunya ini ketembok.
"Saya tidak menyangka kamu akan membangkang seperti ini sebelumnya."
"Oh jadi Bapak membenarkan tindakkan Bapak karena saya begitu?" Dhika mengedikkan bahunya acuh.
"Apa susahnya sih Pak? Harusnya Bapak senang saya nggak habisin uang Bapak, udah gitu nggak manja," ucap Arsyilla putus asa.
"Saya bukan pria yang menikmati keadaan seperti itu, kamu tanggung jawab saya, itu yang saya tau."
"Ok, jangan salahkan saya uang Bapak habis," jawab Arsyilla pada akhirnya.
"Saya mau lihat sekuat apa kamu menghabiskan uang saya." Tantang Dhika.
Dhika mengeluarkan Blackcard dan memberikannya kepada Arsyilla.
"Saya nggak mau kartu ini." Alis Dhika bertaut bingung.
"Untuk pelajar kayak saya kartu ini keramat, bisa-bisa orang sangka saya sugar baby," ucap Arsyilla ketus.
"Kamu perduli?" Tanya Dhika.
"Tentu, itu menyangkut nama baik saya, lagipula hubungan kita sementara, saya harus menjaga nama baik untuk calon suami saya."
"Semua orang tau kamu anak seorang billioner, tidak heran memiliki kartu ini." Dhika masih bersikeras.
"Saya udah mau nerima uang Bapak, bisa nggak usah debat masalah kartu?" Arsyilla sangat jengah.
"Baik, nanti orang saya akan memberikannya padamu." Arsyilla mengangguk mantap lalu ia berdiri bersiap untuk pergi.
"Saya ada perjalanan bisnis selama dua minggu, jangan membuat ulah di sekolah." Langkah Arsyilla terhenti, hatinya bersorak riang.
Dua minggu tidak bertemu, anugrah terindah untuknya.
"Oh ok, take care Pak," jawab Arsyilla menahan senang dalam hatinya.
"Jangan buat masalah selama saya tidak ada." Arsyilla muak mendengarnya.
"Kalaupun saya buat masalah ya nggak akan ngelibatin Bapak." Setelah mengatakan itu Arsyilla segera pergi meninggalkan Dhika yang menatap rumit kepergiannya.
Dhika segera bersiap untuk pergi ke bandara, ia akan terbang ke America.
Bukan untuk perjalanan bisnis seperti yang ia katakan pada Arsyilla, tapi ia ingin bertemu kekasihnya, hampir tiga bulan Dhika tidak mengunjungi kekasihnya itu.
***
"Ci, lo menang togel ya?" Tanya Zanetha.
"Neth, otak lo makin nggak beres ya?" Omel Cecillia.
"Lo liat sendiri Cil, dia traktrin kita banyak banget gini, udah gitu ngajak kita belanja pulang sekolah nanti, nggak curiga lo?" Zanetha masih keukeuh sama pemikirannya.
"Lo lupa Cia setajir apa?" Cecillia mengingatkan.
"Gue tau, tapi dia tajir bukan baru ini, dari jadi zigot juga udah tajir, tapi baru hari ini dia mau hamburin uangnya tuk hal yang nggak guna." Cecillia terdiam memikirkan ucapan Zanetha yang ada benarnya.
Arsyilla paling enggan berboros ria, gadis itu selalu menggunakan uangnya dengan baik dan benar, tidak heran tabungannya setinggi gunung himalaya, beda dengan mereka berdua.
"Lo berdua nggak usah ribut, gue baru dapat sedekah dari seseorang, dia ngemis ke gue buat ngabisin uangnya, kalau udah begitu gue bisa apa? Selain mengabulkan permintaannya." Arsyilla nyengir kuda, membuat kedua sahabatnya menatap gadis itu horor.
"Lo nggak jual diri kan Ci?" Tanya Zanetha panik.
"Gila lo ya? Ya nggak lah, uang gue ngga ber-seri, buat apa gue jual diri? Dari segi manapun alasannya nggak ada." Arsyilla kesal dengan pola pikir sahabatnya yang satu ini.
"Terus uang lo darimana? Mustahil lo hamburin tabungan lo buat kita berdua." Cecillia mengangguk setuju.
"Kayaknya gue pelit banget buat lo berdua ya?" Arsyilla memasang wajah sedih.
"Bukan gitu Ci, cuma ini bukan kebiasaan lo. Lo sering ingetin kita buat pake uang seperlunya, terus sisanya di tabung," jelas Cecillia.
"Kan udah gue bilang ada yang ngemis sama gue minta uangnya di habisin."
"Orang gila mana yang seperti itu?"
"Orang gila yang maksa gue lah, nggak penting dia siapa, yang penting gue mau habisin duit dia sama lo berdua." Arsyilla merangkul kedua sahabatnya.
"Gue kok masih ngeri ya Cil?"
"Sama gue juga," timpal Cecillia.
"Lo nggak punya hubungan sama Mafia kan? Terus lo mau libatin kita buat jadi sindikat lo, ogah gue sama duit haram Ci." Tatapan horor Zanethe begitu lucu.
"Kalau gue punya hubungan sama Mafia, yang pertama gue lakuin, ngejual lo sama mereka dengan harga tinggi Neth, itupun kalau laku." Tawa Arsyilla pecah di dalam kelas semua pasang mata tertuju padanya.
"Gila lo ya?!" Teriak Zanetha ngeri sendiri membayangkan hal itu benar terjadi.
"Lo sih yang kebanyakan baca novel, jadi halu lo nggak masuk akal." Cecillia ikut tertawa.
"Apapun itu, intinya ini uang halal. Anggap aja gue menang lotre," ucap Asryilla.
"Lotre haram Ci," ucap Cecillia jengah.
"Oh iya, lupa gue. Anggap aja rezky anak soleha." Arsyilla kembali tertawa.
Hari ini begitu indah buatnya sampai dua minggu kedepan.
Zanetha dan Cecillia sedikit mengerti dengan mood baik Arsyilla, musuh bebuyutan Arsyilla absen hari ini, mungkin itu yang menyebabkan Arsyilla tak berhenti tertawa dan selalu bercanda, apalagi hari ini mereka akan menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan
Membayangkannya saja kedua gadis itu tidak sabar, mereka berniat merampok Arsyilla, dan gadis itu akan membuat Dhika jatuh miskin.