"Cia!!!" Suara Zanetha menggema di dalam kelas saat melihat belahan jiwanya telah masuk sekolah.
Ya, skors Arsyilla telah berakhir hari ini.
"Kangen banget gue." Dengan cepat Zanetha menghambur kepelukan Arsyilla.
"Neth, jangan lebay, pelukan lo kenceng banget tau," ucap Arsyilla.
"Mau gimana lagi, gue kangen berat." Tanpa menghiraukan Arsyilla, Zanetha masih mengeratkan pelukannya.
"Lo lepas nggak?" Arsyilla berniat mengacak poni lurus kesayangan Zanetha jika gadis itu tidak melepaskan pelukannya.
"AWW CECIL!!"Jerit Zanetha karena gadis itu lebih dulu menarik poninya.
"Makanya lepas, Cia nggak nafas tu," ucap Cecilia tenang, ia tidak menghiraukan wajah kesal sahabatnya.
"Tapi jangan main poni dong, buatnya lama tau biar lurus gini," gerutu Zanetha sambil membenahi poninya.
"Cia, sekarang cerita kenapa lo nggak izinin kita kerumah lo?" Arsyilla sudah tau jika inilah yang akan di tanyakan oleh Cecillia.
"Gue lagi badmood sama lo berdua, ingat nggak kejadian terakhir, udah gitu gue emang nahan emosi berapa hari, nggak mau kalian yang jadi sasaran amukan gue, walaupun kalian worth it untuk mendapatkannya," ucap Arsyilla sambil menyindir kedua sahabatnya.
"Baper ih, kita kan udah minta maaf," cicit Zanetha.
"Bapernya kemaren, sekarang udah nggak." Arsyilla tersenyum lebar pada dua sahabatnya.
"Ci, lo tau nggak? Dua hari ini gue denger dari kelas sebelah suami masa depan gue nggak masuk lo." Lapor Zanetha pelan, karena ia melihat Maya dan gerombolan sirkusnya masuk kedalam gelas.
Dhika absen di hari tidak ada jam pelajarannya di kelas Arsyilla.
"Jadi gue harus bilang wow gitu?" Arsyilla menampilkan wajah paling menyebalkannya.
"Ya mana tau lo butuh info, kali aja kan dia juga nggak masuk hari ini," ucap Zanetha lesu.
"Neth, gue nggak yakin soal itu, hidup dia itu terobsesi cari masalah sama gue, liat aja ntar pasti dia masuk."
Arsyilla bukan cenayang, tapi dia tau kemana menghilangnya tu orang dua hari, sudah tentu berdiam diri di rumah dan mengurungnya.
Untung hari ini udah kelar skors, Arsyilla juga sudah bosan dengan snack dan mi instantnya, dia butuh makanan berat yang nikmat, dan bakso kantin sekolah langganan adalah solusi terbaik baginya.
"Darimana lo yakin dia bakal masuk?" Tanya Zanetha.
"Dari feeling yang mengatakan hal buruk akan terjadi padaku." Arsyilla berdramatisir keadaan.
"Halu lo kelebayan tau Ci," ketus Zanetha.
"Mau taruhan?" Tantang Arsyilla.
"Siapa takut?" Jawab Zanetha, sementara Cecillia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua sahabatnya.
"Ok, kalau gue menang lo jajanin gue sebulan penuh tanpa terkecuali begitupun sebaliknya," ucap Arsyilla tanpa pikir panjang.
"Ok deal!" Teriak Zanetha yang merasa bakal dapat doorprize.
"Apa yang deal?" Suara dingin Dhika menyela keduanya, tubuh Zanetha membeku tapi tidak dengan Arsyilla, gadis itu di buai akan bayangan kemenangannya.
Kedua orang ini sangat semangat membahas taruhan hingga tidak mendengar bel berbunyi, bahkan tidak menyadari jika Dhika sudah masuk ke dalam kelas, ia mengintrupsi agar semua siswa diam, ia ingin mendengar ucapan kedua siswanya itu.
Alhasil seluruhbkelas mendengar obrolan Arsyilla dan Zanetha, Cecillia hanya bisa mendesah pasrah.
"Kalian berdua, maju." Dhika sudah duduk di mejanya dengan tenang.
"Bernafas Neth jangan di tahan, ntar kesedak ludah sendiri qoit lo." Arsyilla bangkit dari duduknya dan maju kedepan kelas diikuti Zanetha dari belakang dengan kepala tertunduk.
"Jelaskan apa yang kalian bicarakan." Tuntut Dhika
Pagi ini seperti biasa dirinya dan Arsyilla memulai hari dengan bertengkar, Dhika menawarkan diri untuk memberi tumpangan tapi gadis itu dengan seenaknya pergi dengan taxi, dia tidak tau Dhika sengaja menunggunya.
"Lagi taruhan, kalau Bapak masuk saya menang, jika nggak masuk Aneth yang menang." Seperti biasa, Arsyilla selalu berkata jujur.
"Dan kamu menang?" Arsyilla mengangguk cepat dengan wajah penuh kemenangan.
Dhika lega karena tidak melihat bekas tamparan lagi di pipi Arsyilla, selama dirumah dia tidak bisa melihat dengan baik karena remaja ini mengurung diri di kamarnya.
"Menurutmu apa pantas bertaruh tentang gurumu?" Tanya Dhika pada Zanetha.
"Mmm--aaf Pak," cicit Zanetha, ia menyesal terpancing oleh ucapan sahabatnya itu.
'Lebay' batin Arsyilla malas.
"Udah boleh duduk Pak?" Tanya Arsyilla.
"Kamu baru masuk sudah berulah lagi Syilla, apa kamu memang selalu seperti ini?"
"Tergantung sih Pak," jawab Arsyilla cepat.
Zanetha suda memberi kode pada Arsyilla agar sahabatnya itu diam jangan melawan pada guru sekaligus kepala sekolah mereka.
"Tergantung?" Tanya Dhika bingung.
"Ya tergantung feeling saya, hari ini saya merasakan firasat buruk, makanya saya bermasalah dengan Bapak pagi ini."
Arsyilla jadi membenci pelajaran matematika semenjak Dhika yang mengajar pelajaran itu.
'Oh, jadi aku yang di maksud firasat buruknya' batin Dhika.
"Kamu boleh duduk," ucap Dhika pada Zanetha.
"Dan kamu, gantikan saya menjelaskan pelajaran hari ini pada temanmu," tunjuknya pada Arsyilla.
"Kenapa saya Pak?" Tanya Arsyilla tidak terima.
"Kamu bisa mengambil keuntungan dari saya, kenapa saya tidak bisa?" Alis Dhika naik sebelah menantang Arsyilla.
Jangan panggil Arsyilla jika dia akan menyerah atau mengalah, dengan penuh percaya diri gadis itu menjadi guru dadakan buat teman-temannya.
Dhika menggeser bangku ke sudut ruangan dan menyaksikan Arsyilla yang dengan berani menjelaskan pelajaran layaknya seorang guru, bahkan gadis itu mampu menguasi teman-temannya.
Jujur Dhika terpesona, benar kata Elleana kekasihnya, tidak sulit untuk jatuh hati pada gadis seperti Arsyilla.
Tapi yang dirinya rasakan hanyalah terpesona akan kecantikan dan keberanian gadis itu terhadapnya, ia tidak melihat tatapan takut atau memuja dari mata Arsyilla ketika menatapnya.
Yang ada hanya tatapan benci yang berkarat, Dhika sendiri tidak tau apa alasan gadis ini begitu membencinya selain perjodohan konyol mereka.
"Ci penjelasan lo ribet," ucap Maya mencari gara-gara.
Dhika menoleh kesumber suara dan memergoki jika sisiwinya itu sedang menatap dirinya.
"Emang dasar lo nya yang bego," jawab Arsyilla ketus.
Semua mata para siswa dan siswi melirik takut kearah gurunya yang masih duduk dengan tenang melihat interaksi keduanya yang akan berakhir ribut jika tidak di hentikan.
Maya yang di tatap tajam oleh Dhika langsung mengalihkan pandangannya, pipinya bersemu merah antara bahagia dan malu.
"Lo kan di suruh ngajarin kita, jadi terima dong kalau gue nggak ngerti bukan malah ngatain gue," cicit Maya lesu.
'Drama' pikir teman satu kelasnya.
Cecllia dan Zanetha sebenarnya udah sangat gerah ingin memberi pelajaran pada Maya, tapi mereka yakin Arsyilla mampu menghadapinya seorang diri.
"Yang lain aja paham masa lo nggak? Itu artinya otak lo bermasalah." Seisi kelas tertawa mendengar ucapan Arsyilla.
"Lo--" Maya harus memendam emosinya karena ada Dhika, ia tidak ingin meninggalkan kesan buruk di mata tambatan hatinya.
Dhika bangkit dari duduknya dan berjalan ketengah kelas seketika seluruh siwa menjadi diam.
"Kalian paham dengan penjelasan Syilla?" Sebenarnya Arsyilla begitu gerah dengan panggilan itu.
Dia tidak suka.
"Jelas pak," jawab serentak para siswa.
"Kamu harus belajar lebih giat, jika mungin mintalah bantuan Arsyilla."
Maya semakin malu ketika Dhika mengatkan hal itu, tangannya mengepal karena melihat tatapan mengejek Arsyilla.
Ia malu karena tambatan hatinya secara tidak langsung mengakui jika otaknya lah yang bermasalah seperti apa yang di katakan Arsyilla.
"Bbbaik Pak," jawabnya sambil menunduk.
"Kamu boleh duduk," ucap Dhika pada Arsyilla.
"Terima kasih Pak, tapi saya mau bilang jika saya ogah ngajarin orang yang otaknya nggak connect, sama kayak ngajarin batu." Setelah mengatakan itu Arsyilla segera duduk.
Dalam hati Dhika tersenyum, ia kembali mengambil alih kelas.