Chereads / Patner For Love / Chapter 15 - 15. Dia Hanya Wanita Psikopat

Chapter 15 - 15. Dia Hanya Wanita Psikopat

Selepas kepergian Awan, Noey melihat ke arah mamanya. Ada sedikit perasaan tidak suka, setelah Awan menghilang dari pandangannya.

"Ma, kenapa kau berbicara dengan gadis itu. Kita tidak mengenalya,"

"Siapa bilang tidak mengenalnya, kau bahkan berbicara dengannya," goda Ibu Noey.

"Ma..."

"Dia cantik kok," goda Ibunya kembali.

"Ma,"

"Dia itu, gila. TKP, malah dia ingin melihat genangan darah, aku tidak pernah bertemu gadis lebih gila darinya," kata Noey.

Ibunya hanya tersenyum, mendengar coletahan putranya itu. Dia tidak pernah lihat anaknya akan di buat kesal hanya karena satu orang gadis.

"Congkak, dingin. Ouft. aku rasa yang jatuh cinta padanya, sudah gila," kata Noey sambil mengambil dan memasukkan belanjaan yang di bawah oleh ibunya ke dalam bagasi mobil miliknya. "Dia bahkan tidak mengatakan siapa namanya, aku pikir dia adalah seorang pembunuh,"

Plak!

Sebuah pukulan di pundak bagian belakang Noey.

"Auw..." ringis Noey yang tiba-tiba di pukul oleh ibunya itu. "Ma..."

"Ma, apa? Kau ini... Tidak boleh berbicara seperti itu. Mana ada dia pembunuh, gadis cantik seperti itu. Agamanya Islam lagi, pakai jilbab," kata ibunya lagi, dengan nada tinggi penuh dengan kekesalan karena perkataan anaknya.

"Ya, ada, Psikopat,"

Plak!

Satu pukulan lagi, namun kali ini bukan di pundaknya, tapi di kepala.

"Ma... aku sudah besar, kenapa di pukul di kepala, jika aku jadi bodoh, bagaimana aku menangkap penjahat,"

"Kau ini... Kau ingin katakan, jika gadis itu Psikopat?"

"Emang iya,"

Jangan melihat seseorang dari sampulnya, kau bisa terkecoh. Pembunuh juga seperti itu, terlihat baik, tapi akhirnya dia adalah pembunuh. Kau kan ahli dalam bidang ini. Dia pasti punya alasan dengan sikapnya,"

"Sudahlah, aku tidak ingin berdebat. Sekali Psikopat tetap Psikopat," kata Noey sambil masuk ke dalam mobil, dan memakai sabuk pengamannya.

Tidak ada yang membuka suara, baik itu ibunya ataupun Noey, mereka tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing.

Mobil milik Noey, membelah jalanan Seoul yang masih di tutupi salju, dan hawa dingin, malam telah menyongsong, menelan siang hari, dan juga senja, menghadirkan malam, yang dingin di negara itu.

Dari dalam mobil, bisa di lihat dengan sangat jelas hiruk pikuk kendaraan, dan para pejalan kaki yang tengah berjalan di trotoar jalan, ada yang berdiri di zebra cross, semuanya tengah mengunakan mantel musim dingin, dan mengunakan kaos tangan, bahkan sesekali ada yang meniup tangannya, agar hangat, menimbulkan asap yang mengepul, keluar dari mulut mereka.

Bahkan ketika mereka berbicara, asap akan keluar dari mulut mereka, karena efek musim dingin.

Deretan pohon-pohon yang di lalui oleh Noey masih terlihat salju yang menutupi tanah akar pohon-pohon itu, tidak memiliki daun, ataupun bunga. Pohon itu seperti tengah berhibernasi, di musim dingin. Pohon dengan kelopak bunga berwarna merah muda, yang akan mekar di musim semi, dan akan gugur saat pergantian musim.

Daya tarik tersendiri bagi turis ingin mengabadikan moment di saat bunga sakura telah mekar. Aroma bunga itu sungguh membuat perasaan menjadi lega, dan membuat pori-pori kulit mengecil.

Awan, menarik trolinya sambil memasukan barang-barang yang dia butuhkan, tatapannya datar itu membuat sekelilingnya seperti memiliki aura dinginnya es, membuat mereka yang mendekat padanya, langsung menjauh.

Sret! Sret! Sret!

Tangan Awan, mulai mengambil barang dari dalam rak, kemudian menaruhnya di dalam troli menghadirkan gesekan di antara barang yang di ambilnya, dan menghadirkan suara barang bertumpuk di troli miliknya.

Setelah melihat semua yang ada di dalam daftar belanjaan, telah di masukan ke dalam troli, dia menuju kasir.

"Oh, kita bertemu lagi," sapa seorang pria, Awan hanya menatap pria yang menyapanya itu. "Aku penjual kamera yang tadi..."

"Ah, begitu rupanya," kata Awan sambil menganggukan kepalanya.

Setelah itu, tidak ada lagi perkataan yang keluar dari mulut Awan, dia begitu hemat berbicara. Kasir yang melihat cara kedua orang itu, di buat bingung, hingga memiringkan kepalanya beberapa derajat ke arah samping, sambil mentotal seluruh belanja milik Awan, maupun pria yang menyapanya.

"Pembayarannya ingin tunai, atau via kartu?"

Awan mengeluarkan ponselnya, "aku bayar pakai ini," kata Awan.

Fitur pembayaran online, mengunakan bar kode bank yang di pakai oleh Awan, dia tidak suka kartu kredit, karena dia telah belajar jika kredit termasuk riba dalam Islam.

"Aneh," gumam kasir itu membatin.

Untuk di negara secanggih, se modern, dan maju Korea Selatan, pengguna kartu kredit nomor satu terbanyak di dunia, sungguh aneh jika mereka melihat orang yang tidak mengunakan kartu kredit dalam transaksi.

Awan tidak memikirkan hal itu, dia terlalu fokus mendalami agama barunya, hatinya begitu teduh ketika belajar tentang Islam.

Celana jeans, sepatu boat, hodie hitam, tengah memperhatikan Awan tengah berbelanja, bahkan saat Awan berbicara dengan Noey tadi, tatapannya tidak pernah berpaling dari aktifitas yang di lakukan Awan.

Clek!

Oh, kalian sudah kembali? Momo baru saja tidur," kata Auris.

"Terima kasih," kata Noey berbicara pada adiknya itu.

"Tadi ibu, bertemu dengan gadis seusia denganmu," kata ibunya. "Dia kenal dengan kakakmu, mungkin kakakmu menyukainya,"

"Wah, benarkah itu Oppa?" tanya Auris, memanggil kakaknya dengan sebutan Oppa yang berarti kakak laki-laki. "Siapa namanya? Berapa nomor kontaknya?"

"Jangan bertanya lagi, aku tidak tahu namanya, nomornya. Dia hanya gadis Psikopat, yang aku tahu," jawab Noey dengan ketusnya.

Auris mengerucutkan bibirnya, kemudian mengembungkan pipinya.

Ibu Noey memasukan seluruh bahan masakan ke dalam kulkas, dan membereskan beberapa keadaan rumah yang berantakan, setelah itu pamitan untuk pulang.

Di lain tempat. Sebuah ruangan gelap, hanya satu lampu yang remang-remang, seseorang tengah mencetak beberapa foto, dan menjepitnya di tali, agar foto itu mengantung.

Begitu banyak foto dari adegan pembunuhan terlihat, di ruangan itu tengah mengantung.

Siulan demi siulan terdengar mengema di ruangan itu. Tangannya, terlihat begitu kekar, dan sedikit urat otot timbul.

Hanya bibirnya yang tengah bersiul terlihat, saat itu dia tengah mengunakan hodie berwarna hitam.

Tangannya meraih kamera miliknya, dan melihat foto-foto yang telah di ambilnya, ada vedio dan juga foto.

Raut wajah yang tersenyum terlihat, memperlihatkan gigi putih bersih, membuat kerutan di bagian kelopak mata, karena terangkatnya pelipis miliknya.

Clek!

Lampu kembali di matikan olehnya, membuat ruangan itu menjadi gelap.

Drap! Drap! Drap!

Suara Derapan langkah kaki terdengar, menggema di ruangan kecil, dan kedap suara itu. Bahkan tidak ada jendela di sana.

Clek! Bruk!

Suara pintu tertutup, pria itu telah keluar dari ruangan pribadinya.

.

Bersambung ...