Aiza terbangun ketika suara adzan zuhur berkumandang di ponselnya. Aiza meraih ponselnya setelah suara adzan selesai dan membaca sebuah notip pesan singkat yang berasal dari Arvino bahwa suaminya itu sedang melakukan sholat Zuhur berjamaah di mesjid terdekat villa.
Aiza pun segera mengambil air wudhu dan melakukan sholat Zuhur dikamarnya. Setelah melakukan sholat Zuhur, ia pun segera turun kelantai bawah untuk memasak.
Mumpung Arvino belum tiba di villa, ia harus segera memasak agar saat suaminya itu tiba semua hidangan sudah siap tersaji untuk makan siang.
Aiza takut jika saja ia memperlambat waktu hal itu akan membuat Arvino kecewa. Karena itu ia pun menuruni anak tangga hingga aroma bumbu dapur yang sedap dipenciumannya itu membuat Aiza mengentikan langkahnya.
Aiza sangat mengenali aroma tersebut. Aroma masakan kesukaannya yang bernama ayam goreng mentega. Ia pun segera menuju dapur dan tidak menyangka melihat Arvino sedang memasak.
Rasa bersalah pun menyeruak didalam diri Aiza. Seharusnyaย memasak itu adalah tugas dan kewajibannya setelah menikah. Ah jangan lupakan jika Arvino tadi menyuruhnya memasak untuk makan siang.
"Mas Vin! Ya Allah maafkan aku. Aku ketiduran. Sini, biar aku saja-"
"Tidak perlu. Ini tugasku. Tuan Putri malu harus istrirahat karena sudah melayani pangerannya."
"Tapi-"
Arvino memberi senyuman pada Aiza bahwa semuanya baik-baik saja.
Mendapati hal itu Aiza semakin merasa bersalah dan segera mendekati Arvino sambil memeluknya dari belakang.
"Maaf."
Arvino hanya tersenyum bahkan ia pun menggenggam punggung tangan Aiza. "Tidak apa-apa. Seharusnya mas yang minta maaf karena sudah membuatmu lelah sehingga kamu ketiduran."
"A-aku tidak lelah."
"Apakah ini undangan untuk melakukannya lagi?" goda Arvino santai sambil memasak.
Aiza tergagap dan ia terlihat merona. "Iya. Enggak! Bukan. Ma-maksud Aku-"
Arvino tertawa geli. " Mas bercanda sayang."
Aiza semakin memeluk Arvino dengan erat hingga akhirnya Arvino pun menyuruh Aiza untuk segera melepaskan pelukannya karena saat ini ia pun menghidangkan makanan kesukaan Aiza yaitu ayam goreng mentega.
"Taraaaaa.. spesial buatmu. Tuan putri malu."
"Ayam goreng mentega?"
Arvino mengangguk. "Karena kamu pernah bertanya sama bunda apa makanan kesukaanku sekarang gantian, mas yang menghubungi langsung Kak Naura untuk bertanya padanya jenis apa makanan kesukaanmu. Kamu pernah bilang katanya gak ada makanan yang di sukai dan ternyata ada. Kenapa gak jujur? Mas gak suka di bohongin."
Dan Aiza merasa takut jika Arvino kembali marah ataupun kecewa seperti yang sudah-sudah. Karena itu ia pun segera memeluk Arvino lagi sambil berucap.
"Maaf aku tidak jujur mas."
"Kenapa?"
"Karena mulai detik ini semua masakan buatan mas adalah masakan kesukaanku. Insya Allah enak. Makasih ya sayang."
Dan lagi, Arvino terkekeh geli bahkan memeluk Aiza dengan erat. Sebuah hubungan rumah tangga yang memang saling melengkapi satu sama lain. Arvino yang mudah kecewa dan sesabar itu Aiza menerima setiap kekurangan Arvino.
๐๐๐๐
Samarinda. Seminggu kemudian.
Ternyata masa-masa pengantin baru memang begitu indah sekaligus menyenangkan. Bayangkan saja jika seorang dosen Arvino itu selama ini hanya melakukan via kontak hanya untuk melakukan bimbingan konsultasi dengan beberapa mahasiswanya. Dan disinilah ia sekarang, kembalipulang kerumahnya sendiri karena dua hari lagi ia akan kembali aktif mengajar sesuai profesinya.
"Ini rumah Mas?" tanya Aiza ketika memasuki rumah Arvino setelah Randi dan Leni mengantarkan mereka.
"Bukan."
"Jadi rumah siapa?"
"Rumah kita berdua." kekeh Arvino sambil merengkuh pundak Aiza. "Kan sudah ada kamu. Jadinya rumah kita Aiza."
Aiza mengangguk dan ia bisa menilai betapa besar rumah Arvino itu. Arvino yang menyadari raut wajah Aiza pun kini mulai menjelaskannya.
"Sebelumnya Mas hidup mandiri. Tapi setelah kita menikah, Kakek Mas memberikan hadiah rumah ini untuk kita."
'Bagaimana dengan rumah Mas yang sebelumnya?"
"Mas jual. Uangnya Mas tabung buat masa depan kita.'
"Alhamdulillah."
"Kakek itu seorang konglomerat di Amerika. Beliau memiliki perusahaan ternama di sana dan sekarang Kakek banyak memberikan pelajaran tentang bisnis perusahaan pada Fikri. Bunda adalah anak satu-satunya sehingga untuk menjalankan bisnis perusahaan seperti itu Fikri lah yang melakukannya."
"Kenapa bukan Mas?"
"Tidak bisa." ucap Arvino lagi. "Mas masih menjadi Dosen. Sesuai yang Mas bilang, mungkin tahun depan atau nunggu kamu wisuda Mas akan pensiun karena kakek masih memiliki perusahaan real estate yang akan di limpahkan pada Mas."
"Sekarang Fikri ada dimana Mas?"
"Dia tidak disini."
"Fikri di Amerika?"
"Hm." Arvino mengangguk. "Hanya sementara. Karena bulan depan dia harus kembali ke Jakarta untuk memulai memimpin perusahaan baru milik Kakek yang ada disini. Alhamdullilah perusahaan Kakek sekarang bercabang sampai ke Indonesia." Mereka mulai menaiki anak tangga dan akhirnya tibalah didepan pintu kamar Arvino kemudian memasukinya.
"Mas apakah Fikri baik-baik saja? Aku merasa Fikri seperti menjauhi Mas."
"Dia baik-baik saja. itu hanya perasaanmu saja Aiza." ucap Arvino dan kini membawa Aiza duduk di pinggiran ranjang. "Mas juga menanyakan hal itu pada Fikri tapi dia tidak pernah meresponku. Mas juga tidak mengerti ada apa dengan dirinya."
"Apakah Mas akan beneran pensiun jadi dosen?"
"Tentu saja."
"Tidak sekarang?" Dan Aiza tentu saja tidak rela jika Arvino akan di dekati banyak wanita lagi setelah kembali menekuri profesinya di universitas.
"Kamu lupa jika mas belum mendatangani skripsimu? Ck, kalau mas tidak menyetujuinya kamu tidak akan seminar bulan depan dan tidak lulus. Atau mungkin di DO oleh universitas." Arvino pun memasang raut wajah sinis yang tentunya tidak serius.
Aiza yang mudah takut pun kini segera beralih ke kopernya dan mengeluarkan skripsi yang ia bawa. "Mas tolong tanda tangani."
"Maulah aku?"
"Mas-"
"Ck. Mas tidak mau. Hahaha biarkan saja kamu tidak lulus tuan putri malu."
Aiza semakin cemas. Tak hanya itu saja, Arvino pun kini memilih berdiri dan berniat keluar kamar hingga Aiza pun merengek sambil memegang pergelangan tangannya.
"Pangeran tampan. I-ini skripsiku bagaimana?"
"Memangnya sudah benar?"
"Sudah."
"Sudah di revisi? Eyd, sumber teori dan typonya?"
"Su-sudah mas."
"Yakin?"
"Iya mas iya. Tolong jangan menunda."
Arvino terbahak. Lihat betapa lucunya raut wajah istrinya itu yang kini terlihat panik. Bahkan sebuah ide pemikiran pun hadir begitu saja sehingga ia pun memasang raut wajah smirknya.
"Mas mau tanda tangani skripsi kamu serta menyetujuinya."
Aiza berbinar. "Alhamdulillah. Makasih mas ini pulpennya."
"Tapi tidak sekarang." Arvino meraih pulpen dan skripsi Aiza kemudian meletakkannya di sebuah meja dekat mereka.
"Kapan?"
"Setelah ini.. setelah kita ikhtiar agar Allah memberi kita calon buah hati" Dan Arvino menggendong tubuh Aiza secara bridestyle menuju tempat tidur.ย
๐๐๐๐
Malam harinya.
Setelah makan malam dan sholat isya, Arvino dan Aiza pun kini menuju kediaman Devika sekaligus menginap dirumah Ayah Azka dan Bunda Ayu. Rumah si kembar Devian dan Devika itu saling dekat dan bertetangga dengan Ayah Azka dan Bunda Ayu. Saat didalam mobil yang sekarang sedang menuju lokasi, Aiza berusaha menahan diri untuk tetap sabar karena tentu saja ia cemburu melihat Arvino sudah membawa sebuah oleh-oleh buat Devika.
Sesuai janjinya, Aiza akan berusaha untuk tidak cemburu sekalipun sangat sulit untuk di lakukan. Mobil Arvino pun tiba di halaman rumah Ayu. Setelah keluar dari mobil, Arvino dan Aiza bertemu dengan Ayah dan Bundanya.
"Asalamualaikum Bunda."
"Wa'alaikumussalam. Ya ampun, sayang.. Bunda kangen banget sama kalian. Kalian menginap disini kan?"
Arvino mengangguk. "Iya Bun. Bunda dari mana?"
Ayu terdiam seribu bahasa. Bahkan ia pun melirik kearah Azka yang kini berada di sampingnya. "Em bunda-"
"Kami dari acara tahlilan. Ayo ayo kita masuk. Oleh-oleh komik sebanyak 100 buku sudah kamu bawa kan?" tanya Azka sebagai pengalihan pada Arvino.
"Sudah Ayah. Ada didalam mobil Vino."
"Ini sudah malam Nak. Gak sopan malam-malam gini bertamu ke rumah Devian. Bunda baca isi pesan singkat kamu tadi sore. Katanya kamu mau kerumahnya malam ini sekaligus membawakan oleh-oleh buat Devika kan?"
"Besok pagi saja kamu dan Aiza kesana." saran Azka lagi. Disislain, ntah kenapa Aiza merasa ada yang tidak beres. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi Aiza berusaha berpikir positif ketika ia pun harus memasuki rumah mertuanya.
๐๐๐๐
Keesokan harinya. Sesuai saran Ayu dan Azka, saat ini Arvino pun kerumah Devika dan Devian bersama Aiza. Aiza berusaha menahan sabar dan emosinya ketika nanti berada dirumah Devika.ย
Sesampainya disana, Arvino menggenggam tangan Aiza untuk menuju teras halaman rumah Arvino. Arvino pun memencet bel rumah dan tidak lama kemudian pintu terbuka.
Devian yang baru saja pulang dari dinas malam dirumah sakit pun terkejut melihat Arvino didepan matanya setelah membuka pintunya. Rasa lelah yang sempat terasa ditubuhnya hilang begitu saja.ย
Devian melirik kearah tangan Aiza yang kini digenggam oleh Arvino. Ah tentu saja genggaman halal karena mereka sudah menikah.
Devian merasakan hatinya sesak. Ia tidak bisa mengelak rasa ketidaksukaan diirinya melihat Arvino dan Aiza itu menikah. Tapi ia bisa apa? Jika takdir itu sudah terjadi.
"Ini surat buat kalian." ucap Devian tanpa basa-basi.
Devian segera menyerahkan dua pucuk surat yang sudah ia simpan sejak tadi ketika mendapat kabar bahwa pagi ini Arvino akan mengunjunginya sambil membawa oleh-oleh Devika.
"Surat apa?" tanya Arvino bingung begitupun dengan Aiza. Bahkan, perasaaan gelisah dan sebuah tanda tanya terbesar didalam hati Aiza sejak kemarin malam melihat gesture tubuh Bunda Ayu dan Azka semakin menjadi-jadi.
Aiza menatap kedua mata Devian dan mendapati ada tatapan kesedihan dan terpukul. Seolah-olah tatapannya itu adalah sebuah kerinduan yang tak bisa ia ungkapkan. Aiza pernah membaca sebuah buku tentang psikologi dan mempelajari bagaimana membaca ekspresi wajah seseorang, gesture tubuh hingga tatapan mata dan lainnya.
Devian bisa melihat dengan jelas bagaimana kedua mata Arvino yang secerah biru laut dan tiba-tiba saat ini.. dia merindukan Devika.ย
Devian merindukan saudara kembarannya. Devian merindukan si adik kecilnya itu yang suka bermanja padanya. Devian juga merindukan wanita itu yang baru saja lulus sarjana dan sempat menjabat sebagai Presdir di D'media corp Jakarta
Devian juga merindukan semua hal tentang Devika. Baik itu sikap keras kepalanya, omelannya, curahan isi hatinya yang selalu berangan-angan menjadi istri Arvino si sahabatnya itu.
Hanya melihat kedua mata Arvino saja, kerinduan di hatinya semakin menyiksa batinya karena di mata Arvino, ada kornea Devika disana.
๏ฟผ
Allah berfirman
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,ย jiwaย dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar"ย (QS Al-Baqoroh : 155)
๐๐๐๐
Setelah di pertimbangkan matang-matang dengan berat hati lagi-lagi saya yang nulis dan kalian yang baca harus ikhlas dengan kepergian Devika.
Dari awal nulis. Sebenarnya Devika mau di jodohkan aja sama Alex. Tapi rasanya gak pas. Fikri sama Reva?Tapi rasanya juga sama. Lagi-lagi gak bisa. Alex hanya tokoh sepintas lalu disini. Devian tentu saja sudah sama Adila. Mereka lebih cocok. Yang satu ngejar dan yang satunya menghindar.
Butuh berhari-hari untuk memikirkan alur ini.. butuh nongkrong sambil ngaduk2 segelas hot chocolate supaya terasa manis karena butuh yang manis2 untuk meningkatkan mood menulis hingga sampai alur ini.
Dan..
Beginilah alurnya. Saya harap kalian tetap sabar ya ;)
Mungkin diantaranya ada yg bertanya-tanya bagaimana kronologis kematian Devika? Okelah, ada beberapa readers yang sudah menebak Devika bakal mendonorkan matanya.
Kalau iya, acungkan tangan disini ..
Tapi tentunya kalian belum tahu kan kejadiannya bagaimana? Seperti yang sudah-sudah.. saya akan memunculkan alur mundur di chapter 50 beserta surat yang sudah Aiza dan Arvino terima dari Devian..
Kalian bisa melihat spoilernya di postingan snapgram saya : lia_rezaa_vahlefii.
Sehat selalu buat kalian semua.๐