"Fira, Ayah dan Ibu ingin bicara penting padamu," ucap Kartika pada putrinya yang sedang rebahan di atas kasurnya.
Safira menolehkan wajahnya. "Bicara apa, Bu?" tanyanya penuh selidik.
"Ayah menunggumu di ruang tamu," jawab Bu Kartika singkat, padat, namun jelas. Setelah berkata demikian, Bu Kartika langsung melenggang pergi meninggalkan putrinya.
Safira tampak bengong dan heran, jarang sekali sang Ayah ingin bicara penting padanya. Namun, walaupun begitu Safira tetap beranjak dari tempatnya dan kemudian melangkahkan kakinya menuju ruang tamu.
"Ada apa, Yah?" tanya Safira dengan perasaan tak menentu. "Sepertinya Ayah hendak membahas tentang hubunganku dengan Mas Ardi yang telah kandas." ucapnya dalam hati.
Pak Usman menghela napasnya panjang dan membuangnya perlahan.
"Fira, mengenai hubunganmu dengan Ardi, Ayah sudah mengetahuinya," ucap Pak Usman di awal perbincangannya.
Safira mengangguk kecil, benar dugaannya.
"Ayah dan Ibu sangat merasa prihatin dan iba pada dirimu. Mengenai kasus yang selalu menimpamu membuat Ayah semakin curiga," sambung Pak Usman yang membuat Safira bertanya-tanya.
"Curiga bagaimana maksud Ayah?" tanya Safira penuh selidik.
"Kami curiga ada yang sengaja membuatmu menderita seperti ini, Nak," sahut Bu Kartika menimpali.
Safira terjingkat kaget, ia tampak membulatkan kedua bola matanya penuh. Selama ini ia tak pernah menaruh rasa curiga pada siapa pun. Ia pikir kejadian pahit yang selalu menimpanya hanya karena keegoisan para mantannya.
"Benar, dan kami bersepakat untuk membawamu ke tempat seorang Ustadz yang bisa mengobati penyakit-penyakit ghaib seperti yang kau alami," sambung Pak Usman.
"Apa? Memangnya Fira sakit apa, Ayah? Ayah dan Ibu jangan asal bicara. Hari gini masih percaya dengan yang begituan, ya Tuhan!" protes Safira yang tampak tak setuju dengan keinginan Ibu dan Ayahnya.
"Fira, kami merasa ada yang aneh pada dirimu. Maka dari itu kami berinisiatif mengajakmu menemui Ustadz itu." tegas Kartika meminta pengertian dari putrinya.
"Benar, kamu jangan menganggap enteng masalah ini, Fira. Jika begini terus, kamu tidak akan merasakan yang namanya menikah!" timpal Pak Usman membenarkan ucapan istrinya.
"Ayah! Jangan asal bicara seperti itu! Fira pasti akan menikah, suatu saat nanti Fira akan mendapatkan seorang pria yang benar-benar mencintai Fira. Seorang pria yang akan menjadi suami yang baik untuk Fira!" protes Safira yang tampak ngotot. Kali ini ia benar-benar menantang perintah kedua orang tuanya.
Tanpa mendengarkan penjelasan kedua orang tuanya, Safira tampak melengos pergi meninggalkan Ibu dan Ayahnya.
"Astaghfirullah, anak ini benar-benar keras kepala," keluh Kartika sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sepertinya kita tidak akan bisa meluluhkan hatinya sebelum dia merasakan hal buruk yang pernah ia rasakan kembali. Biarkan saja dia melakukan apa yang dia inginkan, Ayah yakin suatu saat nanti dia akan berpikir dan mencari tahu apa penyebab kegagalan urusan cintanya," ujar Pak Usman yang tampak pasrah dengan keputusan putrinya.
Kartika hanya bisa mengangguk mengiyakan ucapan suaminya. Bagaimana pun dia hanya bisa mendukung apa yang menjadi keputusan suaminya.
Safira membanting pintu kamarnya dengan kencang dan kasar. Kesal di dadanya semakin memuncak saat sang Ibu mendukung keinginan konyol Ayahnya.
"Bisa-bisanya Ayah bicara seperti itu! Memangnya aku seburuk apa sehingga tidak akan mendapatkan seorang suami. Ck! Benar-benar menyebalkan!"gerutu Safira kesal.
"Pokoknya aku tidak akan menuruti keinginan mereka. Memangnya aku manusia abad ke sepuluh!?" Safira masih menggerutu meluapkan kekesalannya.
Safira tampak merasa tersinggung oleh ucapan Ayahnya yang terkesan mendo'akan buruk terhadapnya.
Wataknya yang manja dan keras kepala tampak membuatnya membantah apa yang kedua orang tuanya perintahkan.
"Lagi pula aku masih bisa merebut kembali hati Mas Ardi. Buktinya, dia masih perhatian padaku walau kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi." cerocos Safira penuh percaya diri. Ia teringat pada kejadian tadi siang di tempat kerjanya, saat Ardi berlagak menjadi kesatria untuknya.
Tentu saja Safira menganggap itu adalah sebuah perhatian besar baginya. Safira menganggap jika Ardi masih menyayanginya, dan dirinya pun kini tampak masih mengharapkan cinta Ardi kembali padanya.
Keesokan harinya, Safira bekerja seperti biasanya. Hari ini wanita cantik berusia dua puluh lima tahun itu tampak mengenakan setelan yang sangat modis dan cantik. Mengingat hinaan Ammara kemarin membuatnya merasa harus mengubah penampilannya. Tentu saja itu pun bertujuan untuk menarik kembali hati mantan kekasihnya yaitu Ardi.
"Ndah, kau lihat Mas Ardi tidak?" tanya Safira pada sahabatnya.
Indah mengerutkan dahinya penuh tanda tanya. "Untuk apa kau menanyakannya?" selidik Indah dengan tatapan tajamnya.
"Eemh, bukan apa-apa," jawab Safira sembari mendudukkan bokongnya di kursi kerjanya.
Indah masih menatap lekat wajah sahabatnya itu. "Apakah kau masih menyayanginya?" terucap sebuah pertanyaan konyol dari mulut Indah.
Safira terhenyak, ia tak segera menjawab.
"Apakah kau masih mengharapkannya?" tanya Indah lagi.
Safira masih terdiam enggan menjawab. Hingga pada saat itu seseorang berhasil mengalihkan perhatian Safira.
Ardi berjalan dengan gagah melintasi meja kerja Safira, di belakangnya ada sekretaris juteknya yang tak lain adalah Ammara. Seketika Safira terperanjat dan tampak menatap lekat pada wajah tampan Ardi yang sama sekali tak menghiraukannya. Sampai Ardi masuk ke dalam ruangannya dan tak terlihat lagi oleh kedua bola mata Safira, wanita cantik itu tampak masih menajamkan pandangannya lurus ke depan.
"Ah, itu dia pria yang kau tanyakan. Si manager ganteng dan tajir. Namun sayang, sekarang dia bukan siapa-siapa untukmu. Ha ha ha," cibir Indah diiringi tawa usilnya.
Safira tampak memutar bola mata malas dan berdecak kesal . "Ck! Jangan asal bicara. Lihat saja nanti, aku pasti akan mendapatkannya kembali!" cetus Safira penuh percaya diri.
"Sekarepmu!" seloroh Indah seraya memutar bola matanya.
"Ah, aku sampai lupa," ucap Safira sembari mengeluarkan sebuah jas hitam milik Ardi yang kemarin ia gunakan untuk menutupi dadanya. "Aku harus menemui Mas Ardi untuk mengembalikan jas miliknya," sambungnya.
Indah tampak memperhatikan gerak-gerik dan tingkah konyol sahabatnya itu.
"Oh ya, apakah penampilanku sudah luar biasa?" tanya Safira sembari memutar tubuhnya bagaikan model.
"Biasa saja," jawab Indah singkat. Ia tampak malas menanggapi sahabatnya yang masih bucin oleh cintanya Ardi yang telah kandas.
"Cih! Percuma bicara dengan wanita karatan seperti kamu!" dengus Safira sembari melenggang pergi meninggalkan Indah.
Indah tampak memencengkan bibirnya mencibir ucapan sahabatnya yang sudah hendak masuk ke dalam ruangan Ardi.
Safira mengetuk pintu ruangan Ardi yang masih tertutup rapat. Di dalam, Ammara sedang memberikan jadwal meeting pada managernya.
"Siapa itu?" tanya Ardi.
"Biar aku lihat dulu," ucap Ammara yang kemudian melangkahkan kakinya ke ambang pintu.
Saat Ammara membuka daun pintu, Safira tampak buru-buru masuk tanpa meminta izin terlebih dahulu.
"Permisi, aku ingin bertemu dengan Mas Ardi," ucap Safira yang tampak berjalan penuh percaya diri.
"Cih, dasar jalang tak tahu diri!" cela Ammara.
Sementara itu Ardi tampak belum menyadari kedatangan mantan kekasihnya. Ia tampak masih memeriksa jadwal yang Ammara berikan padanya.
"Selamat pagi, Mas," sapa Safira sedikit merendahkan suaranya.
Ardi tampak terjingkat dan menghentikan kegiatannya. Ia tampak mendongakkan wajahnya menatap seorang wanita cantik di hadapannya.
Ardi tampak membuang wajahnya ke samping dan enggan beradu tatap dengan mantan kekasih yang baru dua hari dia tinggalkan.
"Maaf jika aku mengganggu—" ucap Safira yang kemudian menjeda ucapannya saat Ardi tiba-tiba bersuara.
"Ammara, siapa yang mengizinkanmu mempersilakannya masuk?" terdengar suara bariton dari sang manager.
Safira terhenyak kaget, entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak.
"Maaf Pak, wanita ini tiba-tiba nyelonong begitu saja tanpa meminta izin terlebih dahulu." jawab Ammara sejujurnya.
Ardi tampak terdiam dan menatap jengah pada wanita cantik di hadapannya. Baru kali ini Safira mendapatkan tatapan seperti itu dari seorang pria yang pernah mengemis cinta padanya.
"Maaf, aku ke sini hanya ingin mengembalikan jas milik Mas," ucap Safira memberanikan diri.
"Ammara, kau boleh kembali ke ruanganmu," perintah Ardi pada sekretarisnya.
Ammara pun mengangguk lalu melenggang pergi meninggalkan dua manusia di dalam sana. Namun wanita licik itu tampak tidak segera pergi ke ruangannya, ia tampak menguping di balik pintu yang sengaja tidak di tutup rapat olehnya.
****