Kini Rafa, Nadia dan Bianca sudah sampai di rumah. Nadia segera mengantar Bianca masuk kamar dan mengganti pakaiannya. Sedangkan Rafa masih menunggu di ruang tamu rumah keluarga Nadia.
Nadia benar-benar harus memastikan bahwa keadaan adiknya sudah baik-baik saja baru dirinya akan merasa tenang. Bianca sangat berarti bagi Nadia, maka dari itu Nadia selalu mengutamakan Bianca lebih dahulu di bandingkan dirinya sendiri.
Meski Bianca mendapatkan perlakuan berbeda dari kedua orang tuanya, tetapi Nadia tidak pernah merasa iri sedikitpun pada adiknya itu. Entah apa yang di pikirkan oleh Nadia, tetapi yang jelas itu semua tidak menjadi alasan untuk Nadia membenci Bianca.
Gadis cantik itu hanya berpikir bahwa mungkin memang belum saatnya ia mendapat cinta atau kasih sayang dari kedua orang tuanya sendiri, namun ia selalu berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia pasti juga akan mendapatkan kasih sayang yang sama seperti apa yang selama ini Bianca dapatkan. Entah kapan itu waktunya, tetapi yang jelas Nadia yakin waktu yang lama itu akan datang.
"Kamu benar-benar tidak apa-apa kan? Kalau ada yang sakit kasih tau aku ya, jangan diam aja nanti kalau makin parah bahaya," tutur Nadia sambil tersenyum memandang Bianca yang saat ini sudah berbaring di atas ranjang kamarnya.
"Iya, udah baik-baik aja kok. Mau tidur sekarang," sahut Bianca acuh dan segera membalikkan badannya enggan menatap sang kakak.
Nadia yang melihat itu hanya bisa menghela nafas berat dan tersenyum kecut, ia tau kalau memang sifat adiknya itu seperti ini. Tidak heran jika Bianca kembali bersikap dingin lagi kepadanya, sebab gadis itu adalah tipe orang yang selalu melupakan kejadian yang telah berlalu.
"Aku keluar dulu ya, kamu istirahat yang cukup," pamit Nadia dengan lirih.
Tidak ada sahutan apapun dari Bianca, gadis itu berpura pura memejamkan matanya agar sang kakak mengira bahwa dirinya sudah terlelap seperti biasanya. Sementara Nadia mengulurkan tangannya mengusap lembut puncak kepala adiknya itu.
"Seburuk apapun perlakuan kamu ke aku, aku akan tetap menyayangimu Bianca!" ucap Nadia dengan tulus.
Beberapa saat kemudian, Nadia keluar dari kamar Bianca dan menghampiri Rafa yang duduk sendirian di ruang tamu. Menyadari bahwa Nadia sudah keluar dari kamarnya, Bianca langsung berbalik badan menatap pintu yang sudah tertutup kembali.
"Aku juga menyayangi mu kakak," gumam Bianca sambil meneteskan air matanya.
*** ***
Nadia menghampiri Rafa yang masih duduk santai di ruang tamu, gadis itu tersenyum tipis agar suasana tidak canggung.
"Bagaimana Bianca?" tanya Rafa sambil beranjak dari duduknya ketika menyadari bahwa Nadia sedang berjalan menghampiri dirinya.
"Sudah lebih baik, sepertinya dia sudah tertidur..." jawab Nadia jujur.
"Ah, syukurlah kalau begitu," ucap Rafa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Nadia tersenyum dan ikut mengangguk. Sementara Rafa mulai canggung, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal .
"Emm, aku pulang ya. Sudah sangat larut," ucap Rafa.
"Iya," sahut Nadia singkat.
Kedua remaja itu kemudian berjalan menuju luar rumah, keduanya masih saling diam dan keadaan saat ini benar benar terasa sangat canggung. Hingga akhirnya Nadia berusaha untuk kembali membuka pembicaraan.
"Eumm, bagaimana dengan urusan di kantor polisi?" tanya Nadia sambil terus berjalan mengantar Rafa ke depan rumah.
Kini mereka berdua masih ada di teras rumah.
"Sudah di urus Kak Mark, mungkin besok kamu dan Bianca harus ke kantor polisi memberikan kesaksian dan juga keputusan untuk menindaklanjuti laporan itu," jelas Rafa.
Nadia mengangguk paham. Ia sedikit merasa lega karena ada yang menangani kasus ini, dan yang jelas ia tidak akan memaafkan Dilan dan kedua temannya itu dengan mudah. Bianca sangat berarti bagi Nadia, maka dari itu ia tidak akan melepaskan remaja berandalan itu begitu saja nantinya.
Remaja cantik itu terdiam tidak mengatakan apapun.
"Kenapa bisa seperti itu?" tanya Rafa yang masih belum mengetahui apa penyebab gadis itu dan adiknya hampir di perkosa oleh Dilan dan kedua temannya.
Nadia mendongak menatap wajah Rafa.
"Apanya?" tanya Nadia balik karena ia tak paham dengan pertanyaan Rafa.
"Kenapa bisa kamu hampir di perkosa Dilan?" Rafa memperjelas pertanyaannya.
Gadis itu terdiam sejenak, mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskan nya perlahan. Ia perlu menenangkan dirinya sebelum memulai bercerita.
"Aku hanya menyelematkan Bianca, tapi aku tidak tau kalau Dilan akan berbuat senekat itu juga padaku," lirih Nadia.
"Apa dia menyentuh mu?" tanya Rafa sedikit posesif.
Nadia diam, ia tak paham dengan arti menyentuh yang Rafa tanyakan padanya.
"Maksud ku menyentuh lebih dari dia mencengkeram kedua tangan mu," lanjut Rafa.
Nadia menggeleng. "Tidak, t-tapi dia hampir mencium bibir ku," jawab Nadia polos.
Tangan Rafa tiba-tiba meraih tubuh Nadia, kemudian memeluknya erat. Rasa sesaknya yang sedari tadi seakan lepas begitu saja mendengar pernyataan jelas dari mulut gadis itu. Bagaimanapun juga Rafa tidak akan rela jika Nadia di sentuh oleh laki-laki lain.
"Jangan pergi sendirian lagi, ya. Aku takut kamu kenapa-kenapa," bisik Rafa penuh kasih sayang.
Nadia hanya terdiam membisu, jantung nya berdetak tidak normal. Mungkin Rafa dapat merasakan detak jantung nya saat ini. Ini adalah pertama kalinya bagi Nadia di peluk oleh orang asing selain keluarganya... Dulu?
Beberapa saat kemudian, Rafa melepaskan pelukannya. Lalu tangannya meraih kedua pipi Nadia dan mengelusnya lembut. Sepasang manik hitam legam itu menatap manik cantik berkilau milik Nadia.
Cupp...
Rafa mencium bibir Nadia sekilas. Membuat Nadia terkejut bukan main, dan sepertinya ia akan pingsan di tempat.
"Maaf, aku tidak ingin orang lain mencium mu. Aku tidak rela," ucap Rafa.
Nadia mendorong tubuh Rafa sedikit menjauh. Ia merasa sudah di rendahkan begitu saja sebab remaja laki-laki itu mencium bibirnya tanpa permisi.
"M-memangnya siapa kamu mengatakan itu padaku?" sahut Nadia gugup.
"Aku? Aku orang yang perduli padamu, orang yang akan selalu ada di samping mu. Nadia, a-aku--"
"Pulanglah!" potong Nadia dengan cepat.
Rafa hampir mengungkapkan perasaan nya pada Nadia. Tapi, sepertinya ini bukan saat yang tepat. Sepertinya Nadia juga tau apa yang akan di ucapkan oleh Rafa, maka dari itu ia berusaha untuk menghentikannya supaya Rafa tidak terlanjur mengatakannya.
"Biarkan aku melanjutkan perkataan ku dulu," pinta Rafa.
"Ini sudah malam, Rafa. Aku lelah, aku butuh istirahat. Apa kamu paham?" sahut Nadia pelan.
Rafa menghela nafas berat. "Baiklah,"
Akhirnya Rafa menyerah dan ia berpikir bahwa memang bukan hari ini saatnya untuk dirinya mengungkapkan semuanya.
"Hati-hati di jalan. Sekali lagi, terimakasih..." Nadia membungkuk kan badannya dan segera masuk ke dalam rumah.
Gadis cantik itu benar-benar terburu-buru masuk ke dalam rumah dan segera menutup dan mengunci pintu rumahnya dengan rapat. Sementara Rafa menatap pintu rumah Nadia yang sudah tertutup dengan rapat itu dengan tatapan sendu.
"Mungkin belum saatnya," gumam Rafa sambil tersenyum kecut.
Setelah itu, Rafa segera pergi meninggalkan rumah Nadia untuk pulang ke rumahnya karena hari benar-benar sudah semakin larut.
*** ***
Di kamar, Nadia duduk di atas tempat tidurnya. Gadis itu mengelus dada nya dan tangan kirinya memegang bibirnya yang tadi di cium sekilas oleh Rafandra.
"Jantung ku... Ahh, itu ciuman pertama ku... Rafandra... Kamu keterlaluan..." ucap Nadia kesal.
Saking kesalnya, gadis itu kemudian membanting tubuhnya di atas kasur dan menutup wajahnya dengan bantal.
Sepertinya malam ini ia tidak akan bisa tidurrr dengan nyenyak :)