Chereads / GIVE ME LOVE / Chapter 19 - Sarapan pagi bersama

Chapter 19 - Sarapan pagi bersama

"Seburuk apapun perlakuan mu padaku, aku akan tetap menyayangi mu." - Bianca Arsa Wijaya.

^_^

Nadia sudah bangun sejak pukul 05:30, ia tengah sibuk menyiapkan makanan untuk Bianca. Sementara adiknya itu masih belum keluar dari kamarnya. Mungkin masih terlelap dalam mimpi nya, seperti biasanya.

"Semoga Bianca suka dengan masakan ku hari ini," ucap Nadia dengan senyuman manis di wajahnya.

Tak berselang lama, Bianca keluar dari kamarnya. Gadis itu masih memakai piyama berwarna pink kesayangannya. Nadia yang melihat sang adik baru keluar dari kamarnya semakin mengembangkan senyuman manis di kedua sudut bibirnya.

"Kamu sudah bangun?" tanya Nadia tanpa memudarkan senyum di wajahnya.

Bianca tak merespon pertanyaan Nadia. Gadis itu berjalan ke dapur dan membuka kulkas, kemudian meminum air putih dari botolnya. Bianca bahkan tidak melirik kakaknya itu sedikitpun.

"Bianca, ayo sarapan..." ajak Nadia dengan lirih.

"Sarapan lah dulu. Aku belum lapar," sahut Bianca.

Mendengar sahutan dari Bianca seperti itu, senyum Nadia memudar seketika. Awalnya ia berpikir kalau adiknya itu sudah kembali seperti dulu yang ia kenal, yang sayang padanya, perhatian dan selalu membela nya jika di marahi oleh ibu tirinya itu.

Bianca mendengus pelan melihat Nadia yang duduk termenung di meja makan. Sepertinya kakaknya itu kecewa dengan sahutan darinya yang menolak untuk sarapan bersama. Sebenarnya memang benar kalau Nadia sangat ingin makan bersama dengan adiknya itu, sebab hari ini kedua orangtuanya tidak ada di rumah jadi Nadia berharap bisa lebih dekat dengan sang adik.

Tetapi Bianca tetaplah Bianca, si gadis yang terlihat dingin dan egois padahal kenyataannya memiliki sifat sangat lembut dan baik hati hanya pada kakaknya.

"Baiklah, aku akan makan," ucap gadis cantik itu tiba-tiba.

Nadia mendongak menatap Bianca. Senyuman nya mengembang lagi. Rasanya benar-benar sangat membahagiakan ketika Bianca mengatakan itu dan semuanya terdengar sangat jelas, itu artinya Nadia tidak sedang bermimpi jika adiknya mau makan sarapan bersama.

"Jangan terlalu senang, aku hanya ingin makan karena sepertinya masakan mu tampak lezat. Ck," ketus Bianca.

Meski Bianca berkata seperti itu, namun Nadia sama sekali tidak mempermasalahkan nya. Nadia justru senang melihat Bianca mau sarapan bersama dengan nya kali ini.

Gadis cantik itu langsung menyiapkan makanan di atas piring untuk sang adik, dan Bianca pun menerimanya dengan senang hati tanpa berkomentar sedikitpun seperti biasanya ketika ia sarapan bersama dengan orangtuanya.

Perlahan Bianca mulai memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya pelan. "Kamu tidak ke sekolah?" tanya Bianca di sela-sela kunyahannya.

Nadia menggeleng. "Tidak, aku mau menemani mu," sahutnya dengan tenang.

"Tapikan hari ini ada ujian kimia. Kamu berani sekali membolos," ucap Bianca sedikit heran.

Bianca tau kalau kakaknya itu bukan tipe murid yang dengan mudah tidak masuk sekolah, terlebih lagi jika ada jadwal penting atau ujian seperti hari ini.

"Hanya satu hari. Harusnya tidak masalah bukan?" Nadia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal .

"Ck, terserah kamu saja," sahut Bianca sambil merotasikan kedua bola matanya dengan malas.

Nadia tersenyum canggung. Tidak tau Bianca ini sedang senang atau marah sebab Bianca selalu menunjukkan ekspresi dan respon dengan wajah yang sama setiap kali berbicara dengan dirinya. Jika boleh jujur, sebenarnya Nadia sangat merindukan bagaimana sosok sang adik yang dulu selalu mengajak dirinya untuk bercanda tawa setiap saat.

Kini semuanya telah berubah semenjak ibu kandungnya juga meninggalkan dirinya. Nadia selalu merasa kesepian dan selalu merasa bahwa dirinya menyayangi adiknya itu secara sepihak, padahal ia masih ingat dengan jelas bahwa adiknya itu adalah orang kedua yang berkata akan menyayangi dan menemaninya sampai kapanpun setelah sang ibu.

"Kita harus ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Nadia memecah keheningan di ruang makan itu.

Mendengar pertanyaan dari kakaknya itu, Bianca langsung menghentikan aktivitas makannya. Gadis itu menatap wajah Nadia dengan tatapan matanya yang tajam.

"Aku harus datang. Aku tidak akan membiarkan bajingan itu lolos begitu saja. Memangnya siapa dia berani melecehkan ku seperti itu. Jika di perbolehkan, aku bahkan ingin membunuhnya sekarang juga," oceh Bianca panjang lebar.

"Uuhh... Galaknya ," goda Nadia.

Bianca mempoutkan bibirnya lucu.

"Jangan menggoda ku. Aku serius," sahut Bianca.

"Tidak-tidak. Aku senang, kamu benar-benar tidak apa-apa. Kamu tau? Aku sangat khawatir padamu Bianca," tutur Nadia.

Bianca menghela nafas. "Kenapa?" tanya gadis itu kemudian.

"Apanya yang kenapa?" Nadia tentu saja heran kenapa adiknya tiba-tiba melontarkan pertanyaan seperti itu.

"Kenapa kamu mengkhawatirkan aku? Memangnya kamu perduli padaku?" Bianca merotasikan kedua bola matanya enggan menatap Nadia.

"Tentu saja aku harus mengkhawatirkan mu. Kamu adikku satu-satunya, kamu satu-satunya yang berharga di hidup ku," jawab Nadia yang memang benar-benar tulus dari dalam lubuk hatinya.

"Ck, jangan terlalu berlebihan. Aku tidak suka," ketus Bianca.

"Aku tidak berlebihan, Aca. Ini adalah kewajiban ku, melindungi mu," tutur Nadia.

"Baiklah-baiklah, terimakasih sudah menolong ku tadi malam," gadis itu melipat kedua tangannya di dada sambil memandang kakaknya dengan tatapan seperti biasanya, yaitu tatapan seperti meremehkan.

Nadia tersenyum tipis, dan menganggukkan kepalanya. Seharusnya Bianca tidak perlu berterimakasih kepadanya, begitu justru yang ia pikirkan saat ini.

"Apa kamu terluka?"

Pertanyaan Bianca sukses membuat Nadia terkejut, sekaligus tidak menyangka. Bahkan gadis cantik itu langsung membulatkan matanya sempurna sebab ia kurang percaya adiknya bertanya bagaimana keadaannya.

"T-tidak. Aku baik-baik saja, sama sekali tidak terluka sedikitpun," sahut Nadia senang.

"Baguslah. Kalau begitu kamu tidak memiliki alasan untuk bermalas-malasan bukan?" ucap Bianca dengan sinis.

Nadia menghela nafas berat. "Apa aku pernah seperti itu?" tanyanya dengan tatapan sendu.

"Entahlah. Mana ku tau," jawab Bianca santai.

Bianca berdiri dari duduknya. "Aku sudah selesai. Aku akan mandi, kamu juga harus bersiap untuk ke kantor polisi. Lebih cepat lebih baik," lanjut Bianca dan beranjak pergi dari ruang makan.

"Sedingin apapun perlakuan mu padaku, aku tetap menyayangi mu, Aca." gumam Nadia.

~~

Sementara Bianca,

"Maaf..." batinnya.

***

Nadia dan Bianca duduk di ruang tunggu kantor polisi. Mereka sama takutnya, tetapi Nadia berusaha untuk tetap tenang dan juga memberi semangat untuk Bianca.

Selain mereka, tentu saja ada Mark dan Lucas sebagai saksi kejadian tadi malam.

"Apa tidak ada wali untuk kalian berdua?" tanya Mark pada Nadia dan Bianca.

Kedua gadis itu hanya menggeleng. Membuat Mark mendengus pelan. Sedikit merepotkan, tetapi sepertinya ia bisa membantu mereka.

"Lalu bagaimana kelanjutannya? Jika tidak ada yang mewakili kalian, bagaimana bisa ini di proses?"

"Aku tidak tau. Apa tidak ada cara lain?" tanya Nadia.

"Sepertinya ada. Kamu kakaknya bukan?"

Nadia mengangguk.

"Gunakan hak mu sebagai kakaknya untuk menuntut. Tapi, Dilan dan geng-nya tidak akan di penjara," jelas Mark.

Bianca langsung berdiri terkejut. "Kenapa? Dia sudah melecehkan aku. Tidak masuk akal jika dia tidak di penjara," protes Bianca.

"Bianca, tenanglah dulu. Semuanya bisa di jelaskan baik-baik," pinta Nadia.

"Mereka masih di bawah umur, dan aku sudah tau beberapa informasi kalau Dilan dan teman-temannya itu juga anak dari orang terpandang di kota ini. Jadi, sepertinya uang akan menolong mereka meski mereka masuk ke dalam penjara," jelas Mark panjang lebar.

Sekarang Bianca dan Nadia tidak bisa melakukan apapun selain pasrah. Dan benar yang di katakan oleh Mark. Dilan dan geng-nya itu hanya di beri teguran dan juga bebas dengan syarat uang jaminan. Sungguh menyebalkan dan tidak adil bagi Bianca.

Jika boleh, maka Bianca pasti sudah mencabik-cabik habis Dilan dan kedua temannya yang sudah melecehkan dirinya itu.