"Nyai ... kenapa engkau malah mendukung Gusti Prabu ... dan tidak mendukung suamimu ...?" ujar Rakryan Budiono yang terlihat tidak suka dengan jawaban dari istrinya itu.
"Kakang Budiono ... memangnya apa yang Kakang mau ...? Aku kan tidak tau," balas Nyai Budiono balik bertanya.
"Kamu itu lho Nyai! Mbok jadi istri itu yang tanggap dengan kemauan suami! Jangan malah menentang kemauan suami!" sergah Budiono nampak merasa jengkel dengan sikap istrinya itu.
"Lha iya saya mesti gimana Kakang Budiono ...?" lanjut tanya Nyai Budiono.
"Saya itu paling tidak suka kalau ada kesewenang-wenangan yang terjadi ... apalagi itu yang melakukan Gusti Prabu sendiri, yang semestinya sebagai seorang Raja beliau harus bisa menjadi contoh bagi rakyatnya," ujar Rakryan Budiono.
"Maaf Kakang Budiono bukannya aku bermaksud untuk membuat hati Kakang jadi kesal, sama sekali tidak. Tapi memang aku belum bisa mengerti dengan apa yang Kakang maksud kesewenang-wenangan. Siapa yang Kakang maksud telah berbuat sewenang-wenang?" tanya Nyai Budiono.
"Ya siapa lagi?! Ya Gusti Prabu Damantara to!" sahut Rakryan Budiono dengan bersungut-sungut.
"Coba Nyai pikir. Apakah dengan mengangkat Bagadkara menjadi wakil Patih Kerajaan itu bukan tindakan sewenang-wenang? Padahal dia tidak berhasil seratus persen memenuhi sayembara itu? Dan lagi menjadi seorang Patih Kerajaan itu tidak semudah itu! Perlu pengabdian yang lama, sebagaimana yang telah Kakang Badrika lakukan dulu! Lha ini Hanya berhasil menyembuhkan penyakit saja kok langsung diangkat jadi Patih Kerajaan! Itu sungguh tidak mencerminkan sikap seorang Raja, tapi lebih mirip sikap Berandalan yang sewenang-wenang!" papar Budiono dengan memukulkan telapak tangannya di atas meja.
"Broks!"
"Dan asal Nyai tahu! Selama Kerajaan Mulya Jaya ini berdiri belum pernah ada jabatan sebagai wakil Maha Patih, sama sekali belum pernah ada!" lanjut Budiono mengutarakan kekecewaannya.
Mendengar penjelasan dari suaminya itu nampak Nyai Budiono mencoba untuk mengutarakan pandangannya.
"Tapi kan Bagaskara cuma jadi wakil Patih to Kakang? Tidak jadi Patih utama?"
"Alah itu cuma kedok Gusti Prabu Damantara saja. Saya sudah tahu kalau Prabu Damantara memang bermaksud untuk menjadikan Bagaskara menjadi Patih Kerajaan, karena Kakang Badrika memang sudah tua. Tapi awas! Aku, Rakryan Budiono tidak akan pernah membiarkan itu terjadi! Karena yang selayaknya jadi Patih Kerajaan itu aku! Bahkan suatu saat akulah yang berhak untuk menduduki tahta Kerajaan ini."
Mendengar penjelasan dari suaminya itu Nyai Budiono memilih untuk tidak mengomentarinya lagi, karena dia sudah faham betul dengan watak suaminya itu, yang sangat keras dan gak mau diingatkan meskipun dia salah. Lalu melihat istrinya cuma diam Rakryan Budiono pun memanggilnya.
"Nyai ...!" seru Budiono dengan suara keras.
"Iya Kakang ... ada apa?" sahut Nyai Budiono terlihat sedikit kaget mendengar panggilan suaminya itu.
"Ada apa, ada apa! Apa pendapatmu dengan sikapku ini?" tanya Budiono.
"Ya kalau memang menurut Kakang Gusti Prabu itu salah, lalu Kakang mau berbuat apa?"
"Saya akan menggagalkan acara pengangkatan Bagaskara sebagai seorang wakil Patih Kerajaan," timpal Budiono.
"Caranya gimana Kakang?" sahut istrinya bertanya.
"Terlebih dahulu saya harus mencari dukungan ke beberapa punggawa Kerajaan. Akan aku temui mereka dan akan aku terangkan pada mereka supaya tidak mematuhi dan menggugat keputusan Gusti Prabu Damantara," ujar Rakryan Budiono.
"Yah, aku sangat yakin, bahwasannya masih banyak punggawa Kerajaan yang memiliki nalar waras dan tidak mau mengikuti keputusan curang Gusti Prabu ini," lanjut papar Rakryan Budiono yang nampak sangat yakin dengan rencana langkahnya itu.
Sore harinya seperti tidak ingin menyia-nyiakan waktu Rakryan Budiono pun mulai mengunjungi ke beberapa punggawa Kerajaan yang dirasa masih bisa dia pengaruhi. Bahkan tidak cukup punggawa yang tinggal di lingkungan istana saja, Dipasena pun juga mendatangi para pejabat daerah-daerah setingkat Bekel dan Kuwu.
Tidak kurang dari tujuh hari Rakryan Budiono melakukan safari politiknya untuk mencari dukungan. Dan dihari kedelapannya ini dia bermaksud untuk menemui Pangeran Adanu sebagai orang terakhir yang dia rasa bisa untuk diajak bergabung dengan komplotan para penentang Raja Damantara yang notabene adalah ayah kandungnya sendiri.
"Nyai ..." seru Rakryan Budiono memanggil istrinya.
"Iya Kakang, ada apa?" balas istrinya.
"Saya hari ini mau menemui Pangeran Adanu."
"Menemui Pangeran Adanu? Untuk apa Kakang?" tanya Nyai Budiono.
"Saya akan mempengaruhi dia untuk juga ikut menolak keputusan Ayahnya dalam mengangkat Bagaskara menjadi wakil Patih Kerajaan," tutur Budiono.
"Apa pentingnya Kakang sehingga engkau perlu mengajak Pangeran Adanu untuk mendukung rencanamu?"
"Lho kamu ini gimana to Nyai? Ya justru ini yang paling penting untuk saya pengaruhi, karena dialah satu-satunya Putra Mahkota Kerajaan yang digadang-gadang Prabu Damantara menjadi penerusnya kelak. Dan Nyai juga sudah tahu kalau Pangeran Adanu sangatlah rapuh untuk bisa menduduki tahta Kerajaan," tutur Budiono dengan mulut sedikit tersenyum.
"Ah ...! Pokoknya kamu tenang saja Nyai, aku sangat yakin dengan rencana ku ini, pokoknya Nyai tinggal mendukung dan mendoakannya saja. Ingat Nyai aku berjanji kalau suatu saat engkau akan menjadi Permaisuri dari Raja Budiono Hahaha ..." ujar Budiono yang semakin larut dalam ambisinya itu.
Seusai berkata demikian Rakryan Budiono langsung beranjak keluar rumah, dengan menaiki kudanya dia terlihat menuju ke Alun-alun Kerajaan, karena Budiono tahu bahwa hari ini di sana sedang terjadi persiapan untuk pesta tahun baru saka dan sekaligus perayaan atas kesembuhan Prabu Damantara.
Budiono juga tahu bahwa Pangeran Adanu sudah pasti ada di sana. Dan memang benar tidak lama kemudian Rakryan Budiono pun sampai di alun-alun dan mendapati sang Pangeran sedang duduk dengan ditemani beberapa Prajurit pengawal dan dua Dayang yang cantik-cantik.
"Oh benar ternyata, itu Pangeran Adanu ada di sana. Yah sebaiknya langsung saja aku temui."
Budiono pun segera mengarahkan laju kudanya ke arah Pangeran Adanh. Dan begitu sampai, Budiono pun segera menambatkan kudanya dan kemudian langsung menghampiri Pangeran Adanu.
"Hey, kau rupanya Paman Budiono? Ada apa engkau kemari?" tanya Pangeran Adanu sambil membenahi posisi duduknya.
"Nanda Pangeran Adanu ... sebelumnya Paman minta maaf kalau kedatangan Paman mengganggu istirahat Nanda Pangeran ...?"
"Ya, ada Paman? Langsung saja katakan maksud kedatangan Paman?"
"Gini Nanda Pangeran ... besok itu selain pesta Kerajaan juga akan diadakan pengangkatan Senopati Bagaskara untuk menjadi wakil Patih Kerajaan. Apakah Nanda Pangeran sudah mengetahuinya?" tanya Rakryan Budiono memulai melancarkan aksinya.
"Tidak tahu, saya tidak tahu masalah itu, karena itu tidak penting bagiku, karena bagiku yang penting itu adalah bersenang-senang dengan minuman dan ditemani oleh wanita-wanita cantik seperti mereka ini," ujar Pangeran Adanu sambil mencubit dagu kedua Dayang yang duduk mengapitnya itu.
"Hehehe ... memang benar apa yang Nanda Pangeran katakan, tapi tidak kah Nanda Pangeran ingin melanggengkan kesenangan Nanda Pangeran ini selamanya? Bisa terus bersenang-senang sepanjang masa tanpa ada gangguan dan ancaman?" ujar Budiono melancarkan jurus fitnah pembukanya.
"Apa maksud Paman Budiono menanyakan hal itu? Bukankah selama ini aku sudah bisa mendapatkannya?" tanya Pangeran Adanu.
"Memang benar Nanda Pangeran."
"Lalu kenapa Paman bilang akan ada ancaman dan gangguan? Memang siapa yang berani mengancam dan menggangguku?!"
"Senopati Bagaskara Nanda Pangeran, dialah yang menjadi ancaman bagi Nanda Pangeran Adanu di Kerajaan ini."
"Senopati Bagaskara? Memang kenapa dia berani mengancamku? Bukankah dia selama ini mengabdi dengan baik di Kerajaan ini?" tanya Pangeran Adanu mencoba menyangkal tuduhan dari Paman Budiono.
Bersambung ...