Malam semakin larut, tapi Rudolf belum bisa menajamkan mata dia masih duduk di kursi teras sambil memandangi cahaya bulan yang sudah mulai pindah posisi.
Cuaca di malam minggu ini begitu sempurna, sangat cerah tanpa sentuhan mendung.
Tapi sayang, cerahnya cuaca tak secerah hati Rudolf.
Didi turut prihatin melihat nasib sang kaka.
Perlahan-lahan dia berjalan mengahmpiri Rudolf.
"Rud, udahan dong, jangan dipikirin," tukas Didi.
"Aduh ... gimana gue bisa tenang, Di! Coba elu jadi gue, gimana perasaan elu?"
"Ya perasaan gue nano-nano lah, Rud!" jawab Didi dengan santainya.
"Lu kata permen," gumam Rudolf.
"La terus mau bagaimna lagi sih, Rud! Semua sudah terjadi sekarang keputusan elu hanya ada dua pilihan," ujar Didi.
"Dua pilihan apaan?"
"Yang pertama elu harus lupain Mimin, atau elu pilih yang kedua, yaitu elu harus terima Mimin apa adanya, yah walau dia itu sebenarnya cowok!" ujar Didi.