Chereads / Crystal Pair / Chapter 8 - Cakra Jantung?

Chapter 8 - Cakra Jantung?

Christ masih tidak percaya kalau Liza betul-betul meninggalkannya. Yang Christ kira perempuan berambut amber itu hanya menggertak saja, nyatanya tidak. Liza keluar dan bahkan sudah sampai di lantai dasar hotel. Meninggalkan Christ seperti seorang pecundang yang habis ditolak cintanya.

Christ inginnya memerintah Jeremy untuk menyeret kembali perempuan itu ke kamar ini, supaya Christ bisa mencincang tubuhnya. Setidaknya kalau Christ tidak bisa mendeteksi dan mengambil energi jiwa perempuan itu, paling tidak dia bisa melampiaskan kekesalannya karena sudah dipermalukan seperti tadi.

Christ memang sangat bisa melakukan itu, tapi membunuh seorang perempuan yang tidak terdeteksi energi jiwanya itu rasanya percuma. Lagipula, Christ juga tidak ingin lebih jauh menjatuhkan harga dirinya lagi hanya untuk mengejar dan menangkap perempuan itu.

"Tuan Christone ..."

Suara Jeremy seketika membuyarkan kecamuk pikiran dan menyedot kembali kesadaran Christ.

"Ada apa??" tanya Christ ketus karena masih terbawa rasa kesal pada Liza.

"Saat kembali kemari, saya menemukan buku ini di depan pintu kamar Anda. Sepertinya buku ini milik perempuan berambut amber tadi."

Jeremy lantas menyodorkan buku catatan kecil berwarna merah muda itu kepada Christ.

Christ mengamati buku itu, membolak-balik isinya. Dari situ dia paham kalau ini adalah buku catatan jurnal laporan yang biasa dibawa oleh seorang anggota pers. Dan kebetulan juga di dalam sampul buku itu ada satu kartu tanda pengenal pers.

"Liza Meissa ..." Christ menggumamkan nama itu dengan senyum angkuh di wajahnya.

Lalu seringaian di bibir Christ pun muncul sesaat sebuah ide hinggap di kepalanya. Yang tentu saja itu berkaitan dengan Liza. Dia pasti hendak melakukan sesuatu dengan perempuan itu.

Saat Christ hendak menyimpan buku itu ke laci meja dekat ranjang, ia merasakan dengungan di telinga kiri dan kanannya. Itu pertanda ada makhluk dari dimensi astral ingin berkomunikasi dengan Christ.

Christ pun membuka mata batinnya untuk melihat siapa makhluk tersebut. Yang ternyata makhluk itu adalah kelelawar pembawa pesan dari dimensi astral dari kerajaan Jin.

"Raja Jin memanggil Tuan ke istananya. Diharap Anda segera datang." Begitulah suara bisikan dari sang kelelawar di telinga Christ.

"Baiklah. Aku akan segera kesana sebentar lagi. Terimakasih," jawab Christ melalui suara batinnya kepada kelelawar itu.

'Tumben sekali Raja Jin memanggilku? Memang sepenting itu sampai harus mengirim kelelawar?' batin Christ menggerutu kesal.

Urusan rencananya dengan Liza terpaksa harus Christ tunda. Dia pun segera mempersiapkan diri untuk pergi ke Istana Jin.

**

Sementara itu di tempat lain, Liza kini sudah berada di dalam mobil kantor bersama timnya melakukan perjalanan kembali ke kota Wina.

Beberapa waktu sebelumnya, ketika kejadian heboh para gangster pembuat ulah di hotel tempat teman-teman Liza menginap, polisi melakukan evakuasi kepada seluruh pengunjung hotel dan melakukan pengejaran terhadap para gangster itu. Termasuk teman-teman Liza.

Tanpa mengetahui suasana kekalutan di hotel itu, Liza yang sempat terpisah dari rombongan teman itu kembali menuju hotel tersebut dengan taksi.

Liza kemudian turun agak jauh dari lokasi hotel. Itu karena taksinya tidak bisa lewat, jalannya terhalang mobil-mobil polisi. Lalu Liza pun bertemu dengan rombongan timnya di depan hotel.

"Astaga Liza! Kupikir kau masih didalam! Syukurlah kau sudah keluar!" panik Mina. Mina mengira Liza keluar dari dalam hotel.

"Syukurlah! Kalau semua sudah lengkap, ayo kita segera pergi!" sahut salah satu anggota tim bernama Mike.

"Ki--ta mau pergi kemana?" tanya Liza yang masih linglung dengan keadaan heboh di sekitarnya.

Ken yang kebetulan mendengar pertanyaan Liza lantas menyahut, "Polisi menghimbau kita untuk segera keluar dari kota malam ini demi keamanan. Jadi sebaiknya kita melanjutkan perjalanan ke kota lain--"

"Apa tidak sebaiknya kita kembali dulu ke Wina? Kita baru saja mengalami hal buruk. Kita perlu mengamankan diri," saran Mike lagi.

Mina menoleh pada Mike seraya berkata, "Aku rasa kau benar. Ternyata kota ini masih berbahaya. Dan kalau kita masih ingin melakukan perjalanan ke kota lain, tidak menutup kemungkinan masih ada bahaya mengancam. Bisa jadi para penjahat masih tersebar dan bersembunyi."

Berat, namun Liza mengiyakan dengan satu anggukan kecil. Ada sebersit rasa tidak rela dari dalam hati Liza. Karena sebenarnya Liza masih penasaran untuk menggali info lagi di tempat ini. Tapi dia juga khawatir bertemu para penjahat itu lagi. Apalagi mereka juga mengincar perempuan berambut amber sepertinya.

Karena semua sepakat, mereka pun memutuskan untuk kembali ke Wina dan sementara waktu menghentikan peliputan keluar kota demi keamanan.

Sehari setelah peristiwa berbahaya tersebut, muncul pemberitaan bahwa pemerintah memutuskan untuk melakukan lockdown di beberapa kota penting, termasuk Wina. Seluruh masyarakat yang tinggal di kota-kota penting tersebut dihimbau agar tidak keluar kota sampai batas waktu yang tidak ditentukan, kecuali lalu lintas perdagangan. Itupun diawasi sangat ketat. Pemerintah tidak mau sampai kecolongan lagi seperti kejadian kemarin. Tentunya demi menghindari para penjahat masuk ke kota-kota tersebut.

Bahkan beberapa teman pers yang belum sempat pulang ke kota Wina pun, terpaksa harus menetap dan melindungi diri di dalam tempat tinggal sementara. Bersyukur rombongan Liza sudah sampai Wina sebelum lockdown.

Berada pada situasi seperti ini tentu saja cukup merugikan pekerjaan Liza sebagai seorang pencari berita. Yang biasanya dia selalu berkeliling kota untuk peliputan, kini terpaksa dia harus berdiam diri di tempat tinggalnya. Mengerjakan laporan peliputan secara online. Membosankan.

"Sial, pekerjaan malah menumpuk!" umpat Liza pelan sambil menggerakkan kesepuluh jemarinya di keyboard laptop di hadapannya itu.

Lalu, saat Liza ingin menyicil laporan peliputan sejarah abad pertengahan di Innsbruck, barulah dia menyadari kalau buku jurnalnya hilang. Berkali-kali Liza membongkar tas ranselnya, namun tetap juga tidak ketemu.

"Gawat ... Kemana buku itu?" panik Liza.

Di dalam ransel itu hanya ada dua buku tentang penyihir itu. Gawat juga. Kalau buku jurnalnya sampai tidak ketemu, apa yang mau ditulis Liza? Tidak mungkin Liza menulis tentang penyihir, kan? Malah jadi bahan lelucon yang ada!

Alih-alih panik karena buku jurnalnya hilang, atensi Liza malah lebih tertarik untuk memperhatikan dua buku penyihir itu lagi. Sekedar iseng membolak-balik halaman buku secara acak, karena dia masih sedikit penasaran dengan isi kedua buku itu. Terutama buku tentang gerakan dan mantra sihir.

Sampai di halaman yang bertuliskan judul "Cakra", Liza langsung menghentikan pergerakan tangannya. Istilah asing itu entah mengapa sangat menarik perhatian Liza.

"Pusat energi dalam tubuh manusia atau yang dikenal dengan sebutan cakra," gumam Liza membaca dengan wajah serius.

Disitu halaman itu dijelaskan, ada tujuh titik pusat energi yang tersebar di dalam tubuh manusia, dan masing-masing memiliki warna yang berbeda. Di mulai dari kepala, dahi, tenggorokan, jantung, perut, kemaluan, dan dekat tulang ekor. Dan tentu saja setiap tujuh cakra tersebut memiliki fungsinya sendiri.

Saat tahu kalau ada cakra di area jantung, Liza langsung memburu halaman yang menjelaskan apa maksud cakra jantung itu. Barangkali cakra itu ada hubungannya dengan kekuatan penglihatan matanya yang mampu melihat kristal aneh di area dada manusia. Liza penasaran apa fungsi cakra jantung itu.

"Energi cinta dan penyembuhan? Apa maksudnya?"

Hanya ada dua fungsi itu yang tertulis disana. Tidak ada penjelasan apapun selain itu. Sungguh, ini semakin membuat rasa penasaran Liza membengkak.

Cinta? Penyembuhan? Apa kristal cahaya yang dilihat Liza itu benar-benar berfungsi untuk kedua hal itu? Liza yang masih awam tentunya masih bingung dengan ini.

Ting!

Ditengah kebingungannya itu, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi email dari laptop Liza.

"Baiklah ..." Liza memejamkan matanya seraya menutup buku itu. "Aku bisa mencari info lagi nanti. Pekerjaanku lebih penting."

Liza menghembuskan napasnya dalam-dalam. Merapikan dua buku itu dan menyimpannya di rak buku dekat meja kerja.

Sebenarnya Liza masih parno membuka email baru, takut ada pekerjaan baru lagi dari kantor. Padahal laporannya saja belum selesai. Jadi Liza memilih untuk mengabaikan email itu dulu karena lebih memprioritaskan laporannya.

Ting! Ting! Ting!

Namun bukannya berhenti, notifikasi email terus membombardir telinganya. Dicek siapa pengirim spam itu, ternyata Mina yang mengirim email serupa sebanyak sepuluh kali.

Tidak mampu bertahan mengabaikan pesan teman baiknya itu, Liza pun menyerah. Khawatir juga kalau email itu lebih penting, jadi Liza pun membuka salah satunya.

"Baiklah baik ... Kita lihat apa yang kau kirim, Mina ..." gumam Liza seraya memutar bola matanya malas.

Betapa terkejutnya Liza saat tahu kalau email yang dikirimkan teman baiknya itu sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaan. Melainkan ...

"Kenapa Mina mendaftarkan aku ke biro jodoh?? Yang benar saja!!"

Email itu ternyata adalah tiket online sebagai bukti pendaftaran di biro jodoh. Juga disertai lampiran daftar pria dengan nama inisial yang bakal kandidat Liza. Astaga!

Berani bersumpah, seingat Liza dia tidak pernah meminta tolong kepada Mina untuk memasukkannya ke biro jodoh. Tapi teman baik Liza itu malah mendaftarkannya tanpa ijin.

Liza tahu niat Mina baik, agar Liza bisa cepat move on dari mantannya dan segera mendapatkan pasangan hidup. Tapi kalau boleh jujur, Liza sungguh tidak menyukai pencarian jodoh dengan cara seperti ini. Apalagi ini lewat biro jodoh yang sistemnya online.

Menolak pendaftaran ini juga tentunya akan menyakiti semua orang, terutama bagi para pria kandidat. Liza juga tidak enak hati ingin menolak niat baik Mina. Apa yang harus dia lakukan?

**

To be continued.