"Kamu serius nggak mau aku anter?" tawar Athes, entah sudah keberapa kalinya.
Ara tetap memberikan gelengan pelan. Dia melirik ponselnya yang tak ada tanda-tanda pesan masuk. Helaan napas panjang dikeluarkannya.
"Kekasihmu sepertinya sibuk," cibir Athes.
"Dia pasti banyak kerjaan," timpal Ara berusaha berpikir positif. Dia tahu Dave adalah pimpinan perusahaan besar. Lelaki itu memiliki tanggung jawab besar di bawah kuasanya. Maka dari itu, Ara berusaha menjadi kekasih yang pengertian. Dia tidak sedikitpun menuntut Dave selalu ada untuknya.
Namun hari ini, lelaki itu sudah berjanji akan menjemputnya pulang. Bahkan Ara tidak membawa mobilnya agar bisa pulang bersama sang kekasih. Nyatanya, dua jam menunggu membuat kakinya kesemutan. Hatinya juga kesal, meski berusaha ditekan sedalam mungkin.
Hanya Athes yang sejak tadi setia menemaninya di parkiran. Lelaki yang harusnya sudah pulang itu memilih duduk bersama Ara, meski sesekali sifat jailnya muncul.
"Terlalu sibuk sampai melupakan janjinya."
Ara kali ini mendongak. Memberikan pelototan kesal pada Athes yang cerewet. "Lebih baik kamu pulang. Kamu rusuh sekali dari tadi."
Athes tersenyum mengejek. "Jika aku pulang, kamu mau sama siapa di sini? Kamu mau diganggu orang asing? Atau diculik dan dijual di club murahan?" Athes sengaja menakuti Ara yang tampak pucat pasi.
"Kamu jangan ngaco!"
Athes mengedikkan bahunya pelan. Dia membenarkan letak tas punggung. Beranjak dari duduknya dan ancang-ancang untuk pergi.
"Eh, kamu mau ke mana?" Ara mencekal lengan Athes yang tampak akan pergi.
Athes menoleh. Menatap Ara dengan alis yang terangkat sebelah. "Pulang."
"Kok pulang?" Ara memasang wajah protes. Semakin mengeratkan pegangan pada lengan pria itu.
"Kamu menyuruh aku pulang, kan? Jadi aku pulang," jawabnya santai.
Ara mengigit bibirnya dalam. Dia gugup dan takut. Gugup melihat wajah Athes yang tampak serius akan meninggalkannya. Takut bila harus sendirian dengan suasana parkiran yang sepi.
"Jangan pulang," cicitnya kemudian.
Athes mengulum senyum. Berusaha menampakkan wajah pura-pura berpikir yang semakin membuat Ara gelisah.
"Ara takut sendirian. Nanti jika Ara diculik bagaimana?"
Athes menahan tawa. Ternyata Ara terpengaruh dengan ucapannya tadi. "Tadi kamu yang menyuruhku pergi."
"Tidak jadi. Ara mau Athes di sini," jawab Ara cepat. Dia menepuk sisi kosong di sebelahnya, memberi kode agar Athes kembali duduk.
Athes pura-pura menghela napas panjang. Seakan keberatan menuruti keinginan Ara. Meski nyatanya dia tidak akan membiarkan Ara sendirian di sini. Mana tega Athes meninggalkan Ara.
"Terima kasih," ujar Ara tulus. Kedua bibirnya tertarik dengan sangat lebar hingga hampir menenggelamkan matanya.
Athes berdehem pelan melihat hal tersebut. Dia membuang wajah, enggan mengakui diri yang terpesona melihat senyum indah milik Ara.
"Lebih baik kamu hubungi Dave lagi. Mungkin dia lupa," sarannya, hanya memberikan lirikan sekilas.
Ara mengangguk semangat. Dia kembali meraih ponselnya dan menekan angka 1.
Panggilan terhubung. Namun tidak ada tanda-tanda panggilan akan diangkat.
Ara mencoba sekali lagi. Namun berakhir di kotak suara. Ponsel lelaki itu sepertinya mati.
Ara lemas. Dia menurunkan ponselnya dengan wajah murung.
Ara menatap Athes yang sejak tadi mengamatinya
"Bagaimana?" tanya Athes pura-pura tidak mengerti.
"Sepertinya Dave sibuk." Ara memaksakan senyum. Meski sorot matanya berkata beda.
Athes menarik napas panjang. Dia menepuk kepala Ara pelan. "Kamu jangan terlalu baik. Kalo kamu mau marah, tidak ada yang melarang. Kamu berhak marah jika ada yang ingkar."
"Tapi Dave—"
"Dia salah. Harusnya dia kasih kabar jika memang sibuk," sela Athes sebelum Ara menyelesaikan kalimatnya.
Ara menunduk. Dia mengangguk pelan. Hatinya memang marah saat ini. Meski dia berusaha memahami Dave, tak ayal sikap Dave yang seperti ini membuatnya kecewa.
Benar kata Athes, harusnya Dave mengabarinya jika memang tidak bisa menjemput. Bukan membiarkan Ara menunggu dua jam dalam ketidakpastian.
"Ayo pulang!" ajak Athes yang ternyata sudah berdiri di depannya.
Ara mendongak, menatap Wajah Athes dari bawah. Dia mengigit bibirnya dalam, agak ragu menyanggupi ajakan lelaki itu.
Bagaimana jika Dave datang? Itu pikirnya.
Namun sepertinya Athes menyadari keresahan Ara. Ekspresi Ara terlalu mudah dibaca, seperti buku yang terbuka lebar.
"Jangan menunggu sesuatu yang tidak pasti. Atau kamu hanya akan lelah sendiri. Tidak baik terlalu seperti ini."
"Memangnya kamu mau menunggu berapa lama lagi? Kamu tidak takut dicari kakakmu?"
Ara menimang. Benar juga kata Athes. Pasti kakak-kakaknya akan cemas bila dia tak segera pulang. Akhirnya Ara memberikan anggukan.
Athes tersenyum. Dia memberanikan diri mengulurkan tangannya, memberi tanda agar Ara menerima ulurannya.
"Supaya kamu tidak tersesat," jelas Athes saat Ara ragu-ragu.
Ara berdecak. Namun tak menolak saat tangannya digenggam hangat. Dia mengikuti langkah Athes yang membawanya pergi dari sana.
Ara menatap genggaman tangannya dan punggung Athes bergantian. Ada senyum tipis yang merekah tanpa diperintah. Dia merasa beruntung memiliki Athes sebagai temannya.
Sementara di lain tempat.
***
Le Bernadin Resto, NYC.
Isabella kembali mematikan panggilan yang berasal dari ponsel milik Dave. Dia menatap layar dengan intens. Beruntung pemilik ponsel sedang menyapa seseorang di luar sana.
Sekali lagi panggilan masuk. Bella menolak panggilan, menghapus dari panggilan masuk, dan mematikan ponsel Dave. Ada senyum miring yang tersungging di bibirnya.
Suara langkah yang mendekat, membuat Bella mengembalikan ponsel itu ke tempat semula.
Dia berbalik dan menyambut kedatangan Dave dengan senyum manis. Seakan tidak melakukan kesalahan apa pun.
"Maaf, ya. Tadi aku ketemu temen kuliah. Tidak enak rasanya jika tidak menghampiri," ujar Dave dengan wajah sesal.
Bella menggelengkan kepala dengan senyum setia di bibirnya. "Tidak masalah. Aku paham."
Dave membalas senyuman tersebut. Dia kembali duduk dan melirik ponselnya yang tampak anteng.
"Tidak ada panggilan sama sekali?"
"Tidak ada. Sejak tadi ponselmu mati," jawab Bella sambil mengedikkan bahunya pelan.
Dave termenung sesaat, seperti tengah memikirkan sesuatu yang terasa mengganjal. Dia seperti melupakan sesuatu, tapi tidak tahu secara pasti. Namun melihat keadaan ponselnya, Dave berusaha kembali tenang.
Jika memang dia melupakan sesuatu, pasti ponselnya sudah berdering sejak tadi. Pasti Bella juga akan memberi tahunya.
Diam-diam Bella tersenyum melihatnya. Dia kembali menikmati makanannya, sesekali mengajak Dave berbincang hangat.
Mereka terlalu larut dalam perbincangan, sesekali tertawa bersama. Melupakan waktu, tak menyadari sepasang mata yang menatapnya kecewa.
"Sorry, kita lanjut jalan?"
Orang itu menoleh, memaksa senyum dan memberi anggukkan.
To be continued ....