Ara mengemudikan mobil Lykan Hypersport pemberian Aron dengan santai. Dia memang belum begitu mahir, tapi cukup aman membawanya hingga ke kampus.
Xander sempat melarangnya membawa mobil sendiri. Namun tetap kalah dengan Ara yang terus merengek manja. Ara sudah bertekad belajar mandiri untuk ke depannya. Dia tidak ingin terus menerus meminta bantuan Dave. Bahkan setelah apa yang dilihatnya kemarin.
Sejak kejadian kemarin, Ara memang tidak menghubungi Dave. Bahkan Ara tidak yakin di mana letak ponselnya saat ini.
Dia kecewa. Memang benar kata orang, kecewa lebih bahaya ketimbang marah.
Ara bisa marah sehari, dan esoknya kembali ceria. Namun untuk kecewa, Ara tidak yakin kapan akan mereda.
Melihat lelaki yang ditunggunya sedang bersama perempuan lain, jelas membuatnya kecewa sekaligus marah.
Ya, Ara kemarin tidak sengaja memergoki Dave dan Bella di resto. Dia tahu siapa Bella. Sejak awal, Ara sangat iri pada perempuan anggun dan tampak berkelas seperti Bella
Ara jelas bukan apa-apa. Tidak bisa menandingi perempuan yang merangkap sebagai sahabat kecil Dave.
Ara berusaha menekan rasa cemburunya. Namun cemburu memang tidak mengenal tempat. Dia bisa datang pada siapa saja.
Ara memutuskan menenangkan pikirannya sesaat. Mencari letak sabar dan kembali berdamai dengan keadaan. Dia yakin Dave memiliki alasan kuat tentang ingkarnya kemarin.
Tiba di kampus, Ara disambut kawan dekatnya dengan hangat. Jangan lupakan Athes yang datang dengan gaya santainya.
Lelaki itu menggunakan kaos Polo dan setelan santai. Kedua tangannya masuk ke dalam saku dengan tatapan datar ke sekitar. Dia bahkan tidak menghiraukan beberapa orang yang mencuri pandang ke arahnya.
Seperti itulah Athes. Cukup mempesona bagi semua orang. Setidaknya Ara hanya melihat Athes yang sering menjailinya. Dia tidak memandang Athes 'wow' seperti yang lain.
"Tumben bawa mobil?" sapa Laura dengan pandangan penuh pada mobilnya.
Ara mengedikkan bahu pelan. Tidak bisa menjawab jujur pertanyaan Laura.
Namun Athes dan sifat julidnya langsung menyambar santai, "Karena besok mobilnya akan dijual. Jadi sekarang dipakai dulu."
Ara mendelik. "Ngaco!"
"Siapa yang ngaco? Itu kan fakta." Athes mencibir dengan kilat jail.
Laura tertawa pelan, selalu terhibur dengan guyonan Athes dan Ara. "Sudah. Kita segera urus berkasnya. Aku sudah tidak sabar mulai praktek kerja," pekik Laura dengan antusias tinggi
Ara dan Athes sama-sama meringis pelan. Mereka jelas paham dengan antusias berlebihan Laura.
Kawan satunya itu punya mimpi yang sangat romantis. Dia berangan-angan mendapatkan kisah picisan di tempat magang nanti. Setidaknya bisa berkenalan dengan dokter senior di rumah sakit.
Ara melirik Athes yang juga memberikan tatapan yang sama. Mereka terkikik geli mengetahui pikiran mereka yang sejalan.
"Ayo!" ajak Laura yang langsung menggandeng Ara dan Athes di kedua tangannya.
Saat Laura mendapatkan giliran masuk, Ara dan Athes berdiam di lobi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sepertinya berkepentingan sama.
"Ara, kamu baik-baik saja?" tanya Athes dengan sekali melirik Ara di sampingnya.
Ara menghentikan acara membacanya. Dia memandang Athes dengan raut bingung.
"Kemarin."
"Kenapa?" tanya Ara bodoh.
Athes gemas. Dia menyentil kening perempuan itu dengan pelan.
"Bodoh!"
"Athes!" pekik Ara nyaring.
"Sutttt!" Beberapa orang langsung menegurnya.
Ara meringis. Dia meminta maaf dan kembali menatap Athes dengan delikan kesal.
Lelaki itu terkekeh pelan. Athes berdehem dan kembali menormalkan ekspresi wajahnya
"Dave dan wanita itu. Kamu tidak apa-apa?" tanya Athes dengan kalimat yang jelas.
Ara membuka mulutnya lebar. Dia tidak menyangka Athes juga melihat hal yang sama dengannya. Dia kira Athes tidak akan peduli dengan masalah itu.
"Ara baik," jawab Ara cepat, terkesan nada datar di dalamnya.
Athes jelas menolak jawaban itu. "Ara, aku tanya hati kamu. Apa dia baik?"
Ara langsung terdiam. Dia memang baik, tapi tidak dengan hatinya.
"Tidak," jawabnya singkat, memilih jujur.
Athes menarik napas panjang. Dia menatap Ara dengan lekat.
"Kenapa kamu masih mempertahankan hubungan kalian?"
"Yak! Bukan karena masalah kemarin, lantas kami harus putus!" Pekik Ara tak terima. Tangannya bersidekap di depan dada dengan tatapan lurus pada Athes.
"Hubungan tidak sesepele itu untuk berakhir. Bukan tombol on off yang bisa diputus kapan saja. Kami punya komitmen dan gak bisa diakhiri semudah itu," jelas Ara dengan sekali tarikan napas.
Athes mendengarkan. Dia mengangguk pelan, seakan paham dengan jalan pikiran Ara.
"Maaf. Aku gak maksud."
Athes hanya terlalu terbawa suasana. Dia terlalu kesal melihat Dave dengan perempuan lain. Sedangkan Ara menunggu sampai lumutan.
Ara memberikan senyum tulusnya. "Tidak apa-apa. Ara mengerti. Athes kan jomblo, mana tahu tentang hubungan kekasih," ejeknya yang diakhiri dengan memelet lidahnya sendiri.
Athes mendelik. Dia memberikan ancang-ancang seakan ingin menjitak yang membuat Ara bergerak mundur.
"Jangan, ish!" pekik Ara melindungi keningnya.
Athes mengulum senyum. Dia menurunkan tangannya dan kembali duduk tenang.
"Jadi apa rencana kamu?" tanyanya saat Ara kembali duduk di sampingnya.
"Ara mau ke kantor Dave nanti. Sepertinya Ara harus segera menyelesaikan masalah agar tidak berlarut."
"Good girl." Athes mengusap rambut Ara dengan sayang. Terselip nada bangga dari kalimatnya.
Hatinya memang tidak pernah salah mengangumi seseorang.
***
Seperti rencananya, Ara mendatangi kantor setelah urusannya di kampus selesai.
Dia memang tidak pernah menginjakkan kakinya kemari. Namun kali ini dia nekad. Anggap saja Ara ingin memberi kejutan.
"Apa Dave ada?" tanya Ara pada seroang resepsionis.
Resepsionis bernama Diana itu tampak tersenyum sebelum memeriksa komputernya.
"Maaf, Nona. Tuan Dave baru saja keluar."
"Oh." Ara mendesah kecewa.
"Terima kasih."
Saat dia akan berbalik pergi, telinganya tak sengaja menangkap obrolan beberapa karyawan di sana.
"Sepertinya Tuan Dave pergi berkencan."
"Bukan. Dia benar-benar meeting di luar."
"Ah, bisa saja. Apalagi berdua dengan Nona Bella. Mereka kan sangat dekat. Sekalian kencan dong."
Ara bergegas pergi. Dia menolak mendengarkan percakapan lebih jauh lagi.
Tiba di samping mobilnya, Ara berhenti. Dia memegang dadanya yang berdenyut nyeri.
Kali ini Ara sangat kenal dekat dengan yang namanya cemburu. Seperti ini. Sesakit ini.
Niat ingin memberi kejutan, malah dia yang terkejut sendiri. Ara tidak paham sejauh mana hubungan Dave dan Bella selama ini.
To be continued.