Dave merenggangkan dasinya yang terasa mencekik. Dia melepaskan otot tangan dan lehernya yang terasa kaku
Pertemuan hari ini berjalan sukses. Dia bisa mendapatkan beberapa investor untuk membantu perhotelan besar di pusat kota. Itu salah satu mimpinya. Dan tinggal sedikit lagi akan menjadi nyata.
Meski perjuangan dan pengorbanannya tidak bisa dikatakan mudah. Dave lumayan menikmati semua prosesnya.
"Coffee?"
Dave menoleh. Dia menemukan Bella yang datang dengan dua cangkir kopi di tangannya.
"Thanks."
Bella tersenyum. Dia duduk di sebelah lelaki itu yang fokus dengan seduhannya.
"Bagaimana? Puas untuk hari ini?"
"Sangat puas." Tanpa ditanya, sebenarnya semua sudah tercetak jelas dari raut wajahnya. Dave tak berhenti tersenyum setelah berhasil mendapatkan kontrak kerjasama.
"Aku juga senang jika kamu senang," balas Bella dengan senyum penuh artinya.
Dave menoleh. Membalas senyuman itu dengan lembut.
"Aku beruntung punya sahabat seperti kamu."
Senyum Bella luntur. Wajahnya menjadi kaku mendengar penuturan lelaki itu. Bella menoleh, menatap Dave yang setia menatapnya
"Sejak dulu kita selalu bersahabat. Apa kamu tidak bosan?"
"Tidak!" Dave menjawab cepat, kemudian sedikit mengernyit. "Apa maksud pertanyaan kamu?"
Bella menggeleng, senyum tipis terukir di bibirnya. "Tidak ada. Aku hanya penasaran saja."
"Tentang?"
"Apa pernah, sekali saja kamu bosan dengan hubungan kita. Maksud aku, persahabatan ini. Yah, mungkin seperti orang bilang. Persahabatan jadi cinta, maybe." Bella mengedikkan bahu pelan. Dia membuang muka ke depan, enggan menatap Dave yang tak menangkap maksud ucapannya. Dadanya berdebar tak menentu setiap berdekatan dengan Dave.
Lelaki itu malah tergelak dengan kencang. Sama sekali tak menyadari senyum kecut Bella di sebelahnya.
"Kamu terlalu termakan novel picisan."
"Yah, mungkin. Tidak ada persahabatan murni di antara lelaki dan wanita. Aku percaya itu," jawab Bella tenang.
"Aku tidak percaya. Buktinya kita bisa bersahabat."
Bella kembali menoleh. Dia memandang Dave dengan lekat, penuh arti.
Meski mereka berpisah begitu lama, ternyata perasaannya tak berubah sama sekali.
Bella tahu siapa pemilik hatinya. Dan dia tahu, sampai kapanpun lelaki di depannya ini tak bisa menatapnya.
Dia tersenyum kecut. Bertanya-tanya dalam hati apa kurang dirinya.
Bella tumbuh menjadi wanita dewasa. Berparas cantik dan anggun. Tidak ada yang bisa menampik pesonanya, kecuali Dave
Lelaki yang sejak dulu menjadi cinta pertama bagi Bella. Lelaki yang membuat Bella berusaha menjadi yang terbaik.
Namun seberapa keras Bella berusaha, Dave masih menatapnya sama. Hanya persahabatan yang ada di antara mereka.
Pernah Bella berusaha mencari pelarian dengan hati yang lain. Namun hanya kegagalan yang didapatnya. Lagi-lagi, Bella kembali pada Dave.
Bella tersenyum tipis. Dari pengalaman, dia belajar untuk berjuang. Dia tidak akan melepaskan Dave semudah itu.
Itulah sebabnya dia kembali ke sini. Kembali di dekat lelaki itu dan merebut hatinya. Meski ada sedikit perubahan pada rencananya.
"Bagaimana hubungan kamu dengan Ara?" tanya Bella tiba-tiba. Dia butuh pengalihan dari rasa sesaknya.
"Sejauh ini baik."
"Sudah lama kalian bersama, ya?"
Dave mengangguk. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Dadanya selalu menghangat setiap mendengar nama Ara.
"Kamu tampak mencintai dia?" komentar Bella dengan senyum tipis. Menyembunyikan hatinya yang teriris.
"Sangat. Aku tidak bisa membayangkan wanita lain selain Aurora. Hanya dia," jawab Dave mantap. Tidak ada keraguan pada setiap kalimatnya.
Perasaannya, hatinya semua memang berpusat pada Ara. Jika ditanya seberapa besar cintanya pada Ara, maka Dave dengan lantang akan menjawab.
***
"Sebesar hidupku," jawab Ara mantap.
Athes yang mendengarnya tersenyum tipis. Sementara Laura bertepuk tangan, girang sendiri.
"Kalian memang pasangan the best lah," komentar Laura.
Ara menggeleng. "Tidak juga. Kami bukan pasangan terbaik. Kadang kami juga berselisih seperti pasangan lainnya. Tapi seberapa sering kami berselisih, tetap akan berbaikan saat itu juga."
"Bagaimana bisa?"
"Tinggal ingat saja masa susah. Di masa susah, hanya Dave yang ada di samping Ara. Begitupun sebaliknya. Ingat juga, untuk sampai di titik ini tidak mudah. Ara melihat sendiri bagaimana perjuangan Dave sebelumnya."
Laura menatapnya takjub. "Ternyata Ara sudah dewasa."
Ara mencebikkan bibirnya. "Sejak dulu sudah dewasa."
Athes yang sejak tadi menyimak, mengulurkan tangannya dan berakhir mengusap kepala Ara dengan lembut, dengan tatapan sayang.
Ara balas menatapnya. Perempuan itu tersenyum mendapat perlakuan tersebut.
Sementara Laura mengatupkan bibirnya dalam. Dia bisa melihat arti tatapan Athes yang terasa berbeda. Bukan seperti tatapan untuk sahabat. Melainkan ...
Laura menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia tidak bisa menebak seenaknya. Masalah hati adalah suatu kerahasiaan yang rumit untuk ditebak dan dijelaskan.
Laura hanya bisa menjadi penonton. Karena di sini dia bukan tokoh utama.
***
Dave mengernyit heran. Pasalnya sudah tiga kali dia berusaha menghubungi Ara, tidak ada satupun panggilannya yang diangkat.
Dia mulai resah. Takut terjadi sesuatu pada sang kekasih.
Dengan pemikiran itu, Dave segera meraih kunci mobilnya dan bergegas pergi. Persetan dengan pekerjaan yang masih menumpuk, beberapa hari ini dia sudah sangat merindukan sang kekasih
"Loh, Dave. Mau ke mana?"
Di depan pintu, Bella sudah menghadang Dave dengan tatapan penasaran.
"Sorry, Bel. Kamu tolong handel semua persiapan kali ini. Aku harus pergi," ujar Dave dengan tergesa.
Tanpa menunggu jawaban Bella, Dave mempercepat langkah kakinya.
Dave seakan tak ingin mengulur waktu lebih lama lagi. Mengendarai mobil Buggati dengan kecepatan di atas rata-rata, bahkan beberapa kali menerobos lalu lintas. Hingga lima belas menit kemudian, Dave sampai di parkiran kampus.
Kebetulan juga ada Ara dan Athes yang tampak jalan beriringan.
Dave melangkah lebar. Tatapannya yang tajam terus mengamati kedekatan dua orang tersebut.
Bagaimana Ara yang tertawa dan tampak senang bersama lelaki lain, membuat sudut hatinya tak suka. Dave tidak suka berbagi apa pun miliknya.
"Ara?" seru Dave setelah beberapa langkah di depan Ara.
Ara terlonjak kaget. Dia menatap Dave dengan matanya yang membola, lengkap dengan mulut sedikit menganga.
"Dave?" Lirihnya seakan tak mempercayai kehadiran lelaki itu.
Dave mengulas senyum. Dia semakin mendekat, dan saat tiba di depan Ara, segera menarik Ara ke dalam pelukannya. Memeluk Ara erat dengan ekor mata melirik Athes yang membuang muka.
Dave seakan menegaskan kepemilikan Ara sesungguhnya. Dia tersenyum tipis disela pelukannya.
"Kok kamu ke sini?" tanya Ara, merenggangkan pelukannya dengan kepala mendongak menatap sang kekasih.
Dave mengelus surai hitam milik Ara. Memberikan tatapan lembut yang membuat Ara luluh.
"Aku kangen." Hanya dua kata sederhana dan berhasil membuat Ara mengembangkan senyumnya.
Ara kembali memeluk Dave dengan erat. Mencium aroma maskulin dari tubuh sang kekasih. Seakan dengan pelukan, semua kekesalan dan kecewanya luntur tak tersisa.
Ara tidak ingin mengungkit masalah kemarin. Dia tidak ingin menghancurkan satu momen yang jarang mereka rasakan karena kesibukan masing-masing.
"Ekhem." Athes berdehem keras. Berusaha menyadarkan dua sejoli tentang keberadaannya.
"Pengganggu," gumam Dave tak suka
Beda hal dengan Ara yang langsung melepaskan pelukannya. Dia berdiri kikuk di samping Dave dengan tatapan tak enak pada Athes. Ara sadar hampir melupakan sahabatnya itu.
"Sorry," ujarnya meminta maaf.
Athes mengangguk, bola matanya memutar sekali. "Ya ya ya. Sudah biasa."
Athes membenarkan tas punggungnya. Dia menatap Ara dan berlama-lama menatap Dave. Tatapan kali ini lebih datar, seakan Athes tak menyembunyikan kekesalannya.
"Jangan buat Ara kecewa terus menerus. Jika tidak bisa menjaga dengan benar, lepaskan. Itu lebih mudah," bisiknya, tepat di samping telinga Dave.
Dave mengepalkan cengkraman tangannya. Dia menatap Athes penuh permusuhan. Andai tidak ada Ara, mungkin baku hantam sudah terjadi sejak tadi.
Athes hanya memberikan senyum miring. Dia kembali menatap Ara yang menatapnya bingung.
"Aku balik. Ingat besok langsung ke rumah sakit."
Ara mengangguk dengan senyum yang mengembang. Namun hanya beberapa detik, tangan dan mulutnya sudah ditutup tangan besar Dave.
"Jangan menatap lelaki lain," kata Dave dengan nada berat.
Athes berdecih. Tanpa membuang waktu lagi, dia melangkah pergi. Tangannya yang berada dalam saku mengepal. Menahan segala perasaan tak nyaman yang bersarang di hatinya setiap melihat kedekatan dua orang itu.
Athes tahu ini tidak benar. Namun mau menolak pun, rasanya tak bisa. Perasaannya mengalir tanpa diminta.
Dave membawa Ara ke dalam mobilnya. Sedangkan mobil Ara dititipkan pada anak buah yang sudah Dave suruh.
Dia berencana menghabiskan waktu bersama Ara sampai nanti sore. Setelahnya dia akan mengajak Ara ke pesta perusahaan nanti malam
"Sejak kapan bawa mobil?" tanya Dave di sela mengemudinya.
"Beberapa hari yang lalu."
"Kenapa bawa mobil sendiri? Kamu kan bisa nelpon aku."
Ara melipat bibirnya ke dalam. Dia menoleh dan menatap Dave dengan tatapan yang sulit diartikan.
Sadar akan tatapan Ara, Dave pun meliriknya dengan sebelah alis yang terangkat ke atas.
"Kenapa?" tanya Dave yang merasa Ara tengah memikirkan sesuatu.
Ara tersenyum tipis, menggeleng sebagai jawabannya. "Ara hanya ingin mencoba mobil dari Kak Aron. Itu saja," bohongnya.
"Baiklah. Tapi lebih baik kamu hubungi aku kalo mau ke mana-mana. Biar aku yang antar," balas Dave dengan senyum tipisnya
Ara kembali memandang ke depan. Tatapannya fokus pada objek apa pun yang ditangkap matanya.
"Memangnya kamu tidak sibuk? Bukannya beberapa hari ini kamu juga susah dihubungi." Ara melontarkan apa yang dipikirkannya, sedikit menyindir lelaki itu.
Di lampu merah, Dave menyempatkan memandang Ara dengan lekat. Dia menggenggam tangan Ara dan membawanya ke depan bibir untuk dicium berkali-kali.
"Sorry. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Kemarin aku harus bekerja keras untuk mendapatkan kerja sama ini. Sekarang aku udah mendapatkan kontrak itu, dan nanti malam akan ada pesta perayaan sekaligus peresmian kontrak. Kamu datang, ya?" bujuk Dave dengan tatapan lekat pada sang kekasih
Ara tak bergeming. Dia belum membuka mulut untuk menjawab ajakan Dave
Sampai lampu lalu lintas kembali hijau, Ara belum memberikan kepastian.
Dave yang duduk di sampingnya, sesekali mencuri pandang. Merasa Ara lebih banyak diam dan tertutup dari biasanya.
Apalagi Dave baru menyadari tatapan Ara sedikit berbeda padanya.
Banyak pertanyaan yang memenuhi pikirannya. Dave menerka-nerka apa kesalahan yang mungkin diperbuatnya secara tak sengaja.
Hingga tiba di mansion keluarga Petrov, Dave tak langsung membuka pintu. Dia juga sengaja menguncinya agar Ara tak keluar. Masalah ini harus diselesaikan dengan segera
"Ara?" panggil Dave dengan suara beratnya.
"Hmm."
"Ada apa?"
"Maksud kamu?" Ara balik melempar pertanyaan.
Dave mengusap wajahnya kasar. Dia menatap Ara dengan frustasi.
"Kamu banyak diam." Dave mengambil tangan Ara kembali, menggenggamnya dengan erat. "apa aku ada salah? Kasih tahu kalo aku ada salah," pintanya.
Ara memberikan senyum yang tak sampai ke mata. Dia melepaskan genggaman tangan Dave. Sebagai gantinya, dia mengelus pipi sang kekasih dengan lembut.
"Kalo kamu merasa tidak berbuat salah, yaudah. Jangan terlalu banyak berpikir. Kamu fokus saja dengan pekerjaan kamu. Itu prioritas kamu."
"Kamu juga prioritas aku," bantah Dave dengan cepat. Dia mengernyit dalam, tak suka dengan kalimat yang Ara lontarkan.
"Iya, maaf," ucap Ara mengalah. "Ara mau masuk dulu, ya. Sudah capek."
"Kamu yakin gak mau jalan-jalan dulu?" tanya Dave yang sebenarnya sangat telat sekali. Mereka sudah berada di pelantaran Mansion Petrov. Tidak mungkin dia putar balik dan pergi membawa Ara jalan-jalan sesuai keinginannya. Itu hanya akan menimbulkan kecurigaan dari keluarga Ara, apalagi keempat kakaknya.
"Next time. Nanti malam kan kamu mau ngajak aku ke pestamu."
Kali ini Dave tersenyum. Dia mengangguk setuju. "Benar. Nanti malam aku akan jemput kamu dan kita berangkat bersama."
"Oke."
Dave memeluk Ara beberapa saat sebelum perempuan itu turun dari mobilnya.
Dave memandang punggung sang kekasih dengan tatapan yang sulit diartikan. Entahlah. Dave merasa mereka berjarak beberapa waktu ini.
To be continued.