"Lalu?" tanya Kai. Nada yang ia gunakan terdengar sinis dan malas, seakan tak ada sama sekali niatan untuk bertanya.
Manajer tersebut bernama Wonho. Lantas menoleh dengan cepat, tetapi kedua tangan masih setia mengemudikan mobil. "Lalu?!" Bola mata membulat, tak percaya dengan respon sederhana yang Kai berikan.
Dia beralih kembali menatap ke depan, tak ingin terjadi kecelakaan. "Tentu saja aku kaget! Aku bahkan merasa sangat sakit hati. Lebih sakit daripada saat berita kencanmu dan Helena terekspos!"
Oh, ya. Kini Kai kembali mengingat tahun-tahun lalu—saat berita kencannya kembali terpublikasikan. Saat itu ia benar-benar tidak tahu kenapa manajernya bertingkah aneh. Wonho seperti menjauhi Kai, dan berbicara apa adanya. Intinya, sangat berbeda. Namun, sekarang, pria itu tahu.
Wonho adalah penggemar berat Helena. Pantas saja waktu itu wajahnya selalu terlihat murung. Kai benar-benar ikut bersedih jika mengingat nasib manajernya.
"Tapi! Untunglah artikel itu tidak benar!" Wonho menghela cukup panjang. Ia menatap ke arah jalanan dengan tajam, seakan melampiaskan rasa gregetannya. Mencengkeram kemudi mobil, dan melanjutkan. "Ternyata bayi yang digendong Helena adalah anak dancernya. Ah ... beruntung sekali YX Entertainment menindak kesalahpahaman ini dengan cepat. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku bahwa artikel itu nyata." Wonho kembali menghela, kali ini terasa begitu rileks. Cengkraman pada kemudi pun berangsur-angsur kendur, seakan semua masalah sudah hilang.
Di samping, Kai hanya dapat menatap keabsurd–an manajernya tanpa mau ikut campur. Ia sungguh mengapresiasi drama dari Wonho tadi, sangat membuat orang yang melihatnya terharu!
Kai bertepuk tangan pelan, "Aku kagum dengan jiwamu yang membara, Hyung."
Ya. Jarang-jarang ada seorang penggemar seperti Wonho. Sudah dipastikan pria itu begitu menyukai Helena sampai ke dalam lubuk hati. Kai jadi ingin membantu manajernya untuk kembali menemui Helena. Pasti pria itu akan senang.
Seperti tiga tahun lalu. Saat Kai dan Helena bertemu di bandara. Masih dengan formasi lengkap, alias bersama keempat member lainnya. Kai bertemu dengan Helena yang saat itu masih sangat rookie atau artis wanita pendatang baru.
Kai juga masih ingat bagaimana Wonho menatap Helena dengan kagum. Apalagi saat ia juga dinotice oleh Helena, untuk berjabat tangan. Bagaimana bisa Kai lupa? Saat itu Wonho begitu senang, hingga dirinya terus melamun.
Waw. Kai akui, efek Helena begitu besar. Tak heran wanita itu dinobatkan sebagai solois wanita terbaik di dunia.
Tunggu. Dari perkataan Wonho tadi, Kai jadi mengetahui bahwa berita yang ia baca ternyata benar-benar salah. Setidaknya, wanita itu tidak akan mendapatkan skandal besar. Jadi, Kai tidak perlu khawatir—seperti dulu.
Ngomong-ngomong, jadwal Kai untuk akhir-akhir ini sangat padat.
***
Hari terus berganti, dan semua orang terus bergerak untuk beraktivitas. Begitu pula dengan seorang wanita yang tengah menggunakan gaun berwarna biru malam, dengan beberapa pernak-pernik perak yang menarik indra penglihatan. Rambut hitam panjangnya terurai, dengan jepitan sederhana di sisi samping kiri rambutnya.
"Sepertinya, kau yang akan jadi tokoh utama malam ini, Helen." Seorang pria dengan pakaian sederhana yang digunakan terlihat menghampiri Helena. Ia tampan, meski hanya dengan celana jeans dan kaos hitam lengan panjang. Namun, harga semua yang pria itu gunakan tak ada yang tahu. Bisa saja, dengan pakaian yang begitu sederhana tersebut, menyimpan harga jutaan dollar.
"Hentikan omong kosongmu itu." Kini Helena membalas. Tak ada nada rendah atau tinggi, semua terkesan biasa-biasa saja.
Wanita itu tidak suka ketika dikatakan sebagai 'tokoh utama'. Apalagi, saat sebenarnya tokoh utama dalam acara bukanlah dia. Ia tidak suka menyakiti perasaan orang lain.
"Oh, oke–"
"Kukira kau tak akan datang!" Suara nyaring David tersebut memotong perkataan Ryan. Dia merangkul Helena layaknya seseorang yang sudah akrab, sambil memperlihatkan senyum humble–nya.
Salah satu tangan Helena melepaskan rangkulan yang David berikan, dia benar-benar tidak suka dengan pria tanpa sopan santun. Meski sahabat sekolah menengahnya sekalipun.
"Bagaimana aku tidak datang ketika saudara kembarmu terus mendesakku?" Helena kembali betanya. Mengingat kembali bagaimana Diva—kembaran David terus meneleponnya, meminta agar datang di acara makan malam. Apalagi saat wanita yang tingkahnya seperti anak kecil—meski berusia dua puluh tiga tahun tersebut, mengganggu seluruh jadwal-jadwal penting Helena.
Mau tidak mau, solois yang namanya terus melejit itu harus mengosongkan jadwal, dan terbang ke Amerika Serikat. Ia berharap bahwa Diva menghargai perjuangannya—yang memohon mati-matian pada Baek Hyeon agar mengizinkan adanya libur. Sungguh, padahal jadwal Helena saat ini sedang padat-padatnya. Atau bahkan, sangat padat. Banyak sekali hal-hal penting yang harus wanita itu urus. Namun, demi Diva, tak apa. Untuk kali ini saja, ia rela menabung jadwal dan menyelesaikannya begitu kembali ke Korea Selatan.
"Oh, ayolah, Helen. Diva mendesakmu karena ini benar-benar penting!" David mencoba meyakinkan Helena—yang usianya lebih muda tujuh bulan darinya. Atau, ia meyakinkan karena terlalu sayang dengan sang kembaran.
"Makan malam adalah acara penting?" Helena bertanya, semata-mata untuk memojokkan David pada pertanyaan yang telah ia buat sendiri.
"Tentu! Ini perkumpulan alumni sekolah kita. Kau menanggapnya tak penting?"
"Mungkin seperti itu." Ryan berusaha untuk menyela. Ia sedikit merasa sebal ketika dua orang di depannya malah asyik bertengkar, saat ada dirinya seorang yang memperhatikan.
"Tunggu. Memang, siapa saja yang akan datang ke acara makan malam ini? Diva belum memberitahuku." Helena menatap ke arah Ryan, yang lebih pandai ketika diajak berbicara. Berbeda dengan David—yang entahlah. Pria itu terlalu aktif, sama seperti kembarannya.
"Yang aku tahu, tidak banyak. Karena aku bukan orang tanpa kerjaan yang mencatat seluruh tamu acara," jawab Ryan.
Oh, Helena tahu. Pria itu pasti sama dengannya. Meninggalkan pekerjaan demi datang ke acara ini. Ya, meski lebih mendingan, karena Ryan tinggal di Amerika Serikat—yang artinya tidak perlu memerlukan banyak waktu untuk penerbangan.
"Kau memang bukan pencatat tamu acara," sinis David.
"Aaaa! Aku sangat senang kalian datang!"
Helena menghela napas panjang. Dari suaranya, ia sudah tahu. Bahkan baru beberapa jam lalu dirinya mengobrol dengan pemilik suara tersebut lewat telepon.
Wanita berambut pirang, dengan gaya ikal. Dikuncir dua sebagian, di kanan dan kiri. Meninggalkan rambut bergelombang di belakang, yang dibiarkan terurai. Ia mengenakan celana soft jeans abu-abu, dengan baju pendek sederhana dengan renda merah muda.
Dia, tokoh utama acara makan malam ini—yang sebenarnya, telah datang. Membawa keceriaan sesuai sifatnya. Diva, nama panggilan yang sering orang-orang terdekatnya berikan.
Wanita itu lantas menghambur memeluk Helena dengan erat. Tidak peduli bahwa yang dipeluk kesusahan bernapas, atau merasa tidak nyaman.
"L–lepas, Diva ...."